Selasa, 20 Agustus 2013

Ketuhanan Dalam Agama Buddha

Dalam memahami mengulas mengenai konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha. Suatu pertanyaan yang sering timbul, yaitu : Apa dalam Agama Buddha mengenal Ketuhanan ?” Pertanyaan tersebut timbul, tidaklah mengherankan. Dalam mengulas mengenai Ketuhanan, ada Beberapa kendala dalam pemahaman lebih lanjut tentang Ketuhanan, antara lain :
Penyebutan kata “Ketuhanan” tersebut tidak populer dan tidak dipakai sama sekali dalam pembabaran agama Buddha, seolah-olah tidak memiliki ajaran tersebut ; Belum adanya pemahaman yang memadai dan jarang dibicarakan ; Kekacauan konseptual dalam lingkungan multi religius, umat Buddha tidak dapat menjauhkan diri dari berinteraksi secara aktif dengan umat agama lain. Di mana umat non Buddhis dengan mudah menyebut dan memonopoli kata ”Ketuhanan” di segala tempat dan segala waktu tanpa memperdulikan implikasinya dan ; tidak memiliki akses informasi yang langsung yang lengkap, leluasa dan otoritatif terhadap ajaran dokrinal agamanya dan secara tergesa-gesa ikut-ikutan meminjam konsep agama lain.

Agama Buddha menekankan Pragmatis, yaitu : Mengutamakan tindakan-tindakan cepat dan tepat yang lebih diperlukan di dalam menyelamatkan hidup seseorang yang tengah gawat dan bukan hal-hal lainnya yang kurang praktis, berbelit-belit, bertele-tele dan kurang penting. Buddha tidak pernah menghabiskan waktu untuk perkara-perkara spekulatif tentang alam semesta karena hal ini kecil nilainya bagi pengembangan spiritual menuju Kebahagiaan Sejati.

Hal ini dapat kita lihat pada kisah, orang yang tertembak anak panah beracun, yang menolak untuk mencabutnya sebelum dia tahu siapa yang memanahnya, kenapa panah itu ditembakkan, dari mana anak panah itu ditembakkan. Pada saat semua pertanyaannya terjawab, dia sudah akan mati lebih dahulu. (Cula-Malunkyovada Sutta, Majjhima Nikaya 63)

Sutra tersebut mengajarkan kita memiliki pemahaman yang rasional, efektif, efisien, cerdas dan bijaksana dalam kehidupan spiritual umat manusia agar tindakan cepat dan tepat segera diutamakan, tanpa membuang-buang waktu lagi

Dalam mengulas konsep tersebut kita tidak dapat melepaskan 4 (empat) rumusan Kebenaran, yaitu :
1.    Ada awal - Ada akhir
Kebenaran ini menjelaskan ada awal dalam proses pembentukan, pembuatan dan kejadian. Seperti Pembuatan meja. Ada proses pengerjaan kayu-kayu dibentuk, dihubungkan dan difinishing sehingga terbentuk meja kayu dengan empat pondasinya atau bentuk desain lainnya. Ada Akhir dalam hal ini ada kehancuran, kelapukan. Jadi, dengan berjalannya proses waktu, meja tersebut dapat rusak, hancur atau diolah lagi dalam bentuk lainnya. Seperti meja tersebut dimakan rayap, dijadikan kayu bakar atau dijadikan pondasi. Maka pada saat bentuk berubah kita mengatakan akhir keberadaan dari apa yang kita namakan meja tersebut.

2.    Ada Awal - Tanpa Akhir
Kebenaran jenis ini, seperti Bilangan asli yang selalu diawali dengan angka 1 dan angka selanjutnya tanpa batas. Kita tidak dapat mengakhiri pada angka tertentu. Meskipun penghitungannya angka tersebut sudah sedemikian besar.

3.    Tanpa awal - Ada akhir
Kebenaran jenis ini, contohnya adalah keberadaan kehidupan manusia. Apabila kita telusuri awal keberadaan manusia kita tidak akan menemukan suatu jawaban yang pasti. Pada saat kita menarik kebelakang. Orang pasti memiliki ayah dan ibu. Ayah dan Ibu pun memiliki ayah dan ibunya lagi. Terus kita tarik baik dari sisi ibu maupun dari sisi ayah kita tidak akan menemukan titik yang tepat. Meskipun dalam agama tertentu. Ada keberadaan awal manusia. 

Dalam hal ini karena keterbatasan dalam mencari awal permulaan maka dikatakan tanpa awal untuk mempermudah pemahaman lebih lanjut. Apabila kita memaksakan diri untuk menemukan jawabannya maka kita akan terjebak dalam spekulasi pandangan. Hal ini tentu akan banyak menghabiskan waktu dan tenaga. Sementara kehidupan kita adalah terbatas. Cepat atau lambat akan meninggalkan dunia ini.

Pengertian ada akhir, berati orang tersebut telah mencapai pencerahan sehingga tidak dilahirkan kembali.

Jadi, Sama sekali tidak ada alasan untuk menganggap bahwa segala sesuatu atau dunia ini harus memiliki suatu permulaan. Gagasan bahwa segala sesuatu harus memiliki permulaan benar-benar karena miskinnya pikiran kita."

4.    Tanpa awal - Tanpa akhir
Kebenaran jenis ini dapat kita lihat dalam Udana Nikaya :
 “Ketahuilah Para Bhikkhu, Ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Wahai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.

Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.

Kebenaran terakhir ini, seperti Nibbana yang memungkinkan kita untuk mencapai pembebasan.

Buddha telah mencapai Pencerahan Sempurna, dengan demikian Buddha menghayati dan memahami Ketuhanan dengan sempurna pula. Buddha bersabda: “Ada Yang Tidak Terlahir, Yang Tidak Terjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak (Udana VIII:3).

Yang Mutlak = Asamkhata-Dhamma = Yang Tak Terkondisi. Dengan adanya Yang Tak Terkondisi (Asamkhata), maka manusia yang terkondisi (Samkhata) dapat mencapai kebebasan mutlak dari samsara.

Dengan adanya hukum Dharma, unsur IMANEN dari Ketuhanan YME tidak lenyap sama sekali, namun ajaran Buddha menekankan unsur TRANSENDEN dari Ketuhanan YME. Semua yang transenden adalah TIDAK TERKONSEPKAN, harus dipahami secara INTUITIF melalui PENCERAHAN, bukan melalui konsep.

Tak terelakkan, ketika kita bicara tentang konsep Ketuhanan, diperlukanlah: SEBUTAN. Salah satu sebutan: Adi-Buddha. Sebutan lain: Advaya, Diwarupa, Mahavairocana (kitab-kitab Buddhis bahasa Kawi), Vajradhara (Tibet: Kargyu & Gelug), Samantabhadra (Tibet: Nyingma), Adinatha (Nepal). Daftar ini tidak lengkap dan masih bisa diperpanjang lagi sesuai dengan kebutuhan

Ajaran-ajaran mengenai Adi Buddha telah lama dianut oleh leluhur-leluhur kita di tanah Jawa yang menganut aliran Buddha esoterik yang mendirikan candi borobudur serta candi-candi Buddhis lainnya.

Adi-Buddha = Realitas Tertinggi 
Adi-Buddha = Kebenaran Mutlak.
Adi-Buddha = Ketuhanan Yang Maha Esa
Adi-Buddha = Dharmakaya

Dharmakaya: tubuh Dharma yang absolut, kekal, meliputi segalanya, tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, ada dengan sendirinya, bebas dari pasangan yang berlawanan, bebas dari pertalian sebab-akibat.

Adi-Buddha bukan suatu personifikasi.
Adi-Buddha bukan sosok yang punya inti-ego (ego-conscious).
Adi-Buddha bukan Tuhan antropomorfik (menyerupai manusia).
Adi-Buddha bukan Tuhan antropopatis (berperasaan = manusia).

Apakah pengetahuan kita mengenai Adi-Buddha dapat menyelamatkan kita dari samsara?
Tentu saja TIDAK.

Mengapa ?” Karena pengetahuan kita mengenai Adi-Buddha bersifat intelektual semata; bukan pengalaman intuitif langsung.  Selain itu karena kita masih harus berlatih sila dan semadi untuk mewujudkan kebijaksanaan. Tanpa melakukan ketiga hal ini, kita tidak akan terbebas dari Samsara.

Pandangan C. Wowor mengenai konsep Ketuhanan, beliau mengatakan bahwa Ketuhanan yang Maha Esa dalam agama Buddha, menurut ajaran dalam Tipitaka adalah Nibbana. Menurutnya Maha Brahma bukanlah Tuhan dalam versi Buddhis. Sebagaimana kutipan beliau dalam Bramajala Sutta, disebutkan sebagai berikut :
“Demikianlah pada suatu waktu yang lampau ketika berakhirnya suatu masa yang lama sekali, bumi ini mulai berevolusi dalam pembentukan. Ketika hal ini terjadi alam Brahma kelihatan dan masih kosong.

Ada makhluk dari alam dewa Abhassara yang masa hidupnya atau pahala karma baiknya untuk hidup di alam itu telah habis. Ia meninggal dari alam Abhassara dan  terlahir kembali di alam Brahma

Di sini ia hidup ditunjang oleh kekuatan pikirannya diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya dan melayang-layang di angkasa, hidup diliputi kemegahan, ia hidup demikian dalam masa yang lama sekali. Karena terlalu lama ia hidup di situ. Maka dalam dirinya muncullah rasa ketidakpuasan, juga muncul suatu keinginan, “O, Semoga ada makhluk lain yang datang dan hidup bersama saya di sini !”

Pada saat itu ada makhlukn lain yang disebabkan oleh masa usianya atau pahala karma baiknya  telah habis, mereka meninggalkan alam Abhassara dan terlahir kembali di alam Brahma sebagai pengikutnya, tetapi banyak hal sama dengan dia.

Para Bhikkhu, berdasarkan hal itu, maka makhluk pertama yang terlahir di alam Brahma berpendapat, “Saya Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi Semua Makhluk, Asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Semua makhluk adalah ciptaanku. Mengapa Demikian !” Baru saja saya berpikir, semoga mereka datang, dan berdasarkan pada keinginanku itumaka makhluk-makhluk itu muncul.

Makhluk-makhluk itu pun berpikir, “Dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi Semua Makhluk, Asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Kita semua adalah ciptaannya. Mengapa ?” Sebab, setahu kita, dialah yang lebih dahulu berada disini, sedangkan kita muncul sesudahnya.

“Para bhikkhu dalam hal ini makhluk yang pertama yang berada di situmemiliki usia yang lebih panjang, lebih mulia, lebih berkuasa daripada makhluk-makhluk yang datang sesudahnya. 
Para bhikkhu, selanjutnya ada beberapa makhluk yang meninggal di alam tersebut dan terlahir kembali di bumi. Setelah berada di bumi ia meninggalkan kehidupan berumah tangga dan menjadi pertapa. Karena hidup sebagai pertapa, maka dengan bersemangat, tekad, waspada dan menjadi tenang dan memiliki kemampuan mengingat kembali satu kehidupan lampau, tetapi tak lebih dari itu. 

Mereka berkata Dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi Semua Makhluk, Asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Diala yang menciptakan kami, ia akan tetap kekal selamanya, tetapi kami yang diciptakannya dan datang ke sini adalah tidak kekal, berubah, dan memiliki usia yang terbatas.

Apabila kita cermati dengan seksama, Maha Brahma yang merupakan makhluk alam Abhassara yang terlahir di alam Brahma. Pada masa awal memiliki tubuh yang bercahaya dan memiliki kemampuan untuk melayang-layang. Munculnya makhluk alam Brahma lainnya adalah karena habisnya masa kehidupan mereka di alam Abhassara. Jadi, bukan karena hasil dari ciptaan Maha Brahma.

Setelah menolak Maha Brahma sebagai pencipta, dia menawarkan rumusan lain yang diambil dari Tipitaka yang menurutnya lebih tepat disebut Ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Buddha. Beliau mengutip Sutta Pitaka, Udana Nikaya VIII : 3 : “Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam, yang artinya : “Suatu yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan dan Mutlak.”

Pandangan Upasaka Succako, dalam bukunya Konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha, beliau menyebutkan : Nibbana adalah cita-cita tertinggi. Nibbana merupakan suatu keadaan ketika kita terbebaskan secara sempurna dari belenggu lahir-mati dan tanha ? Nirvana adalah kebalikan Samsara. Nibbana harus ditafsirkan sebagai berakhirnya segala manisfestasi dari tanha. Nibbana adalah akibat dari proses pembersihan hati dan pikiran secara total dan bukan sebaliknya sebab dari terjadinya proses itu ?

Dalam Anguttara Nikaya, Buddha menjelaskan ada 3 (tiga) pandangan yang berbeda yang dianut masyarakat luas pada masa kehidupannya. Salah satu dianataranya adalah pandangan bahwa baik penderitaan maupun kebahagiaan kedua-duanya berasal semata-mata dari Pencipta (Issaranimmanahetu). Menurut pandangan ini kita tidak lebih dari hasil karya Pencipta dan sebagai konsekuensinya, seluruh nasib dan takdir kita bergantung mutlak pada kehendaknya yang absolut. Dalam pandangan ini manusia tidak memiliki sedikit kebebasan lagi untuk menentukan nasib dan takdirnya sendiri.

Terhadap pandangan ini, Sakyamuni Buddha bersabda, “Jadi, karena diciptakan oleh Pencipta yang maha tinggi, maka manusia akan menjadi pembunuh, pencuri, penjahat, pembohong, pemfitnah, penghina, pembual, pencemburu, pendendam dan orang yang keras kepala. Oleh karena bagi mereka yang berpandangan bahwa segala sesuatu adalah ciptaan pencipta, maka mereka tidak akan lagi mempunyai keinginan, ikhtiar ataupun untuk menghindar dari perbuatan lain. (Majjhima Nikaya II, Sutta no. 101).

Jika ada suatu makhluk yang merancang kehidupan dunia, kemuliaan dan kesengsaraan, tindakan baik dan tindakan jahat – maka manusia tidak lain adalah alat dari kehendaknya dan tentu makhluk itu yang bertanggung jawab (Jataka VI : 208).

SANGHYANG ADI BUDDHA adalah asal usul dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, ia sendiri tanpa asal dan tanpa akhir, ada dengan sendirinya, tidak terhingga, Supreme dalam segala kondisi, conditionlesss, absolute, ada dimana-mana, esa tiada duanya, kekal abadi. Namun semua kata-kata indah dan besar itu tidak mampu melukiskan keadaannya yang sebenarnya dari Sanghyang Adi Buddha.

Apakah Adi Buddha tersebut ?
Adi Buddha tak dapat dikatakan sebagai zat Ilahi yang memiliki inti ego (ego conscious). Adi Buddha bukanlah Tuhan Antrofomorfik (menyerupai manusia) maupun Tuhan Antropopatis (memiliki perasaan dan emosi seperti manusia) yang membuat sebuah rencana dibenaknya, lalu berkeinginan untuk mewujudkannya dan dikemudian hari memutuskan untuk menilai baik tidaknya hasil karya itu – layaknya seorang arsitek yang memandangi gedung hasil ciptaannya sendiri untuk memuji atau mencela. 

Dalam Literatur Mahayana dapat kita jumpai konsep pemahaman mengenai Ketuhanan tersebut. Dalam kitab Sutra Vimalakirti Nirdesa, disebutkan Dharma tertinggi adalah tak terkatakan. 

Pendekatan pemahaman tersebut kita telusuri dalam Trikaya (tiga tubuh Kebuddhaa), yaitu : 
1.    Dharmakaya yang absolut 
Yang Mutlak ini bersifat kekal, meliputi segalanya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu bukan realitas personifikasi, esa, bebas dari pasangan yang berlawanan, ada dengan sendirinya, bebas dari pertalian sebab akibat. Tubuh Dharma ini disebut Tathagatagarbha. 

2.     Sambhogakaya
Tubuh rahmat atau tubuh cahaya sering dinyatakan perwujudan surgawi yang dapat dilihat oleh makhluk surga dan Boddhisatva. 

3.     Nirmana kaya 
Tubuh perubahan yang dapat dilihat oleh manusia dan dipakai untuk mengajarkan manusia. Buddha Gotama yang mengajarkan kita memakai tubuh ini 

Mengapa harus ada Adi Buddha
Adanya Adi Buddha merupakan penegasan yang penting, bahwa kehidupa ini bukanlah produk chaos, melainkan hasil dari tata kerja hierarchi spiritual yang menghendakinya. Dengan adanya Adi Buddha kehidupan ini menjadi berarti dan dapat dimungkinkan untuk mencapai pencerahan dan kebuddhaan.

Bagaimana dengan pengaturan hukum alam semesta ?”
Ajaran Buddha mengenai asal alam semesta. Selaras dengan ilmu pengetahuan. Dalam Aganna Sutta, Buddha menggambarkan: alam semesta berulang kali mengalami kehancuran dan tersusun kembali selama masa yang tak terhitung; bumi ini bukanlah satu-satunya planet; ada gugus-gugus yang lebih besar, tatasurya, galaksi, mahagalaksi, dst, tanpa batas.  kehidupan pertama terbentuk di atas permukaan  air, kehidupan berangsur-angsur berevolusi dari organisme yang sederhana menjadi makin kompleks. Segala proses ini tidak berawal, tidak berakhir, dan berlangsung alamiah. 

“Agama masa depan adalah agama kosmik. Melampaui Tuhan sebagai pribadi serta menghindari dogma dan teologi. Mencakup baik alamiah maupun spiritual, agama tersebut seharusnya didasarkan pada rasa keagamaan yang timbul dari pengalaman akan segala sesuatu yang alamiah dan spiritual, berupa kesatuan yang penuh arti. Ajaran Buddha menjawab gambaran ini. Jika ada agama yang akan memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan modern, itu adalah ajaran Buddha.” (Albert Einstein, 1939)

Sumber Pencantuman Ketuhanan
Konsep mengenai Adi Buddha dapat kita jumpai dalam 
1.    Kitab Namasangiti Karanda Vyuha.
2.    Svayambu Purana
3.    Maha Vairocanabhisambodhi Sutra
4.    Guhya Samaya Sutra
5.    Tattvasangraha Sutra dan 
6.    Paramadi Buddhodharta Sri Kalacakra Sutra. 

Di Indonesia, 
1.    Kitab Namasangiti versi Chandrakirti dari Sriwijaya dan 
2.    Sanghyang Kamahayanikan pada jaman Pemerintahan Mpu Sindok.

 

Tuhan tidak menciptakan sesuatu, tetapi menyatu dengan segala sesuatu, karena Ia bukanlah entitas yang berwujud melainkan sunyata (kosong), maka Ia dapat berada dimana saja, kapan saja, tanpa halangan. Oleh sebab itu, Ia ada dimana-mana

Menurut agama Buddha, teori penciptaan tidaklah masuk akal. Penciptaan haruslah diawali oleh sebuah keinginan atau hasrat, sedangkan keinginan atau hasrat itu hanya dimiliki oleh mahluk yang memiliki ego dan pikiran seperti yang dimiliki manusia. 

Adi Buddha tidaklah memiliki ego ataupun pikiran tersebut (karena ia semata-mata sunya atau kosong) dan oleh sebab itu, Ia tidak mungkin memikirkan, merencanakan, dan apalagi menciptakan.

 

Rabu, 10 Juli 2013

Kitab Dao De Jing (Lao Tzu)

Sumber: http://sasananuswantara.wordpress.com/2011/02/19/lao-tzu-tao-te-ching/



Pasal 1:

Tao yang dapat dibicarakan, bukanlah Tao yang abadi.
Nama yang dapat dilafalkan, bukanlah nama yang kekal.
Kekosongan adalah awal langit dan bumi;
Dialah ibu segala ciptaan.
Bebaskan segala keinginan dan nafsu, maka terbukalah misteri yang gaib itu,
Dengan keinginan dan nafsu, hanya terlihat manifestasinya.
Keduanya berasal dari sumber yang sama,
hanya namanya saja yang berbeda.
Merupakan misteri yang gaib,
Misteri dalam misteri,
Gerbang segala kegaiban.

Pasal 2:

Jika dunia mengenali cantik sebagai kecantikan, maka hal itu karena adanya keburukan.
Jika dunia telah mengenali baik sebagai kebaikan, maka hadirlah juga kejahatan.
Maka, ada dan tidak ada silih berganti.
Mudah dan sukar saling melengkapi.
Pendek dan panjang saling menimpali.
Tinggi dan rendah saling mengimbangi.
Nada dan suara harmonis serasi.
Depan dan belakang saling mengikuti.
Maka sang Budiman bertindak tanpa tindakan dan mengajar tanpa ucapan.
Membiarkan alam bekerja dengan sewajarnya,
menghidupi semua mahluk tanpa rasa memiliki.
Dia bekerja tanpa tergantung pada hasilnya,
Dia berhasil, tetapi tidak membanggakan jasanya,
Karena tidak merasa memiliki apa-apa,
dia tak pernah kehilangan apapun juga.

Pasal 3:

Dengan tidak memuliakan orang-orang pintar,akan mencegah kedengkian dan persaingan;
Dengan tidak menghargai barang barang berharga, akan mencegah timbulnya pencurian;
Dengan tidak memamerkan hal-hal yang mengundang nafsu serakah, akan mencegah orang dari kekalutan pikiran.
Maka sang Budiman memerintah rakyatnya dengan,
mengosongkan hati pikirannya,
mengenyangkan perutnya,
melemahkan ambisinya,
menguatkan tulangnya.
Membuat rakyat dalam keluguan dan tanpa nafsu serakah,
Membuat yang pandai tidak berani mengacau,
Bertindak tanpa tindakan,
Dengan demikian tidak ada yang tak teratur.

Pasal 4:

Tao bagaikan bejana kosong, terus dipakai dan tak pernah habis.
Agung dan dalam, dialah sumber segala ciptaan.
Dia tumpulkan ketajaman,
Menguraikan kesulitan;
Melembutkan gemerlapan,
Menyatukan dengan debu;
Samar, lembut, selalu hadir dimana-mana.
Aku tak tahu berasal dari mana dia,
Dia telah ada sebelum Tuhan.


Pasal 5:

Langit dan Bumi tak berbelas-kasih,
Perlakukan semua mahluk laksana anjing jerami;
Sang Budiman tak berbelas-kasih,
Perlakukan semua orang laksana anjing jerami.
Bukankah alam seperti pompa angin?
Kosong tapi bukannya tanpa daya,
Makin banyak digerakkan
makin banyak angin yang diproduksi,
Banyak omong hanya melelahkan,
Lebih baik temukan kebijakan diri dalam sanubari.

Pasal 6:

Semangat ‘lembah’ nan abadi,
Dialah ibu kegaiban,
Gerbang ibu kegaiban itulah akar langit dan bumi.
Samar, lembut, selalu hadir dimana-mana.
Gunakanlah, kau akan selalu dimudahkan.

Pasal 7:

Langit dan Bumi kekal abadi. Mengapa?
Sebab tak hidup untuk diri sendiri,
Maka dapat panjang umurnya.
Sang Budiman tak tonnjolkan diri sendiri, maka ia di muliakan.
Dia jauhkan egonya, dan menemukan kepenuhan.
Bukankah karena tak hidup untuk diri sendiri,
Maka ia mampu mencapai kesempurnaan?

Pasal 8:

Kebajikan tertinggi bagaikan air,
Memberi manfaat bagi semua mahluk tanpa pamrih,
Menempati tempat yang terendah,
Seperti itulah sifat yang dekat dengan Tao,
Dalam hal:
bertempat tinggal, cintailah lingkungan.
berperasaan, hayati sedalam kalbu,
memberi, landasi dengan kebaikan hati,
berbicara, tunjukkan ketulusan hati,
memerintah, berikan ketertiban dan ketentraman,
bekerja, kembangkan ketrampilan,
bertindak, pertimbangkan saat yang tepat,
Karena tanpa niat bersaing,
maka tak ada rasa salah dan sesal.

Pasal 9:

Terus memenuhi segala hasrat keinginan,
Tak sebijak jika anda berhenti pada saatnya.
Prakiraan yang rincipun,
Tak dapat digunakan sepanjang masa.
Ketika emas permata memenuhi rumahmu,
Kau tak akan mampu mengamankannya,
Ketika anda membanggakan harta dan kedudukan,
Anda menjemput sang malapetaka,
Ketika anda mencapai keberhasilan,
itulah saat untuk berhenti.
Inilah Jalan Alam Surgawi.

Pasal 10:

Menyatukan jiwa dalam kemanunggalan dengan yang Esa, dapatkah anda lakukan tanpa berpisah denganNya?
Dalam mengatur nafas anda, dapatkah anda melakukan selembut seorang bayi?
Dalam memurnikan pikiran anda, dapatkah melenyapkan segala noda batin?
Dalam menyintai rakyat dan memerintah negara, dapatkah anda bertindak dengan tanpa tindakan?
Dalam membuka dan menutup pintu hati, dapatkah anda melakukannya dengan penuh kelembutan?
Dalam memahami segala perkara, dapatkah anda bertindak dengan tanpa tindakan?
Melahirkan dan memelihara,
Menghidupi semua mahluk tanpa rasa memiliki,
Bekerja tanpa tergantung pada hasilnya,
Memimpin tanpa mendominasi,
Inilah kebijakan tertinggi.

Pasal 11:

Tiga puluh jari-jari kereta disatukan sebuah poros roda,
Namun kekosonganlah yang membuat kereta berguna.
Tanah liat dicetak dibuat bejana,
Namun kekosonganlah yang membuat bejana berguna.
Pintu, jendela ditatah melengkapi sebuah ruangan,
Namun kekosonganlah yang membuat ruangan berguna.
Maka:
Yang berwujud memberikan keuntungan,
Yang tidak berwujud memberikan kegunaan.

Pasal 12:

Lima warna membutakan mata;
Lima nada menulikan telinga;
Lima rasa merusak cita rasa;
Berbalapan dan berburu, liar angan pikiran dibuatnya;
Barang-barang berharga
sesatkan orang semata.
Karena itulah:
Sang Budiman cenderung bertindak dipandu nuraninya dan bukan penglihatannya.
Dia menerima yang ini dan menolak yang lainnya.

Pasal 13:

Berkah maupun kehinaan sama menakutkan.
Kemuliaan, seperti sang ‘diri’, akar segala derita.
Apa maksudnya berkah maupun kehinaan sama menakutkan?
Menerima berkah, muncul rasa takut.
Kehilangan berkah, juga menakutkan.
Inilah yang dimaksud dengan
berkah maupun kehinaan sama-sama menakutkan.
Apa maksudnyakemuliaan, seperti sang ‘diri’, akar segala derita?
Alasan mengapa saya menderita adalah karena adanya sang ‘diri’.
Jika ‘diri’ tidak ada, siapa yang rasakan derita?
Oleh sebab itu:
Siapa yang menghargai dunia seperti penghargaan terhadap diri sendiri, dapat dipercaya mengatur dunia.
Siapa yang berpericinta-kasih, dapat dipercaya melayani dunia.

Pasal 14:

Dilihat tak kelihatan, maya maka ia dikata.
Didengar tak kedengaran, tak terdengar maka ia dikata.
Diraih tak teraba, tak teraba maka ia dikata.
Tak terjabarkan lebih lanjut ketiganya,
Dan telah menyatu dalam kesatuan yang Esa.
Tak menyilaukan dalam ketinggiannya.
Tak redup dalam kerendahannya.
Dalam, abadi, sulit melukiskannya.
Kembali lagi kesifatnya yang tak berwujud.
Disebut bentuk tanpa bentuk,
citra tanpa wujud.
Inilah kegaiban maha agung.
Lihatlah dari depan, tak terlihat awalnya.
Ikutilah, tak nampak akhirnya.
Pahamilah masa lalu,
Untuk mengelola saat ini, pegang eratlah Tao jaman dulu,
Inilah intisari Tao.

Pasal 15:

Para guru suci jaman dahulu,
Lembut, bijak, dan agung,
Keagungannya sulit dijajaki ,
Kita hanya bisa mengumpamakan mereka:
Hati-hati, laksana sedang menyeberangi sungai dimusim salju.
Waspada, laksana sedang dikepung musuh dari segala penjuru.
Santun, laksana seorang tamu.
Mengalah, laksana es yang mencair,
Polos, laksana balok belum diukir,
Merendah, laksana hamparan lembah,
Kabur, laksana air keruh berlumpur.
Siapa dapat menenangkan kekeruhan dan lambat-laun mendapat kejernihan?
Siapa dapat ciptakan kedamaian abadi sampai mendapat kemajuan?
Tanpa sifat serakah menjalani Tao.
Tanpa sifat serakah, kau akan mengalami kejenuhan tetapi kau akan selalu dicerahkan.

Pasal 16:

Capailah kekosongan yang hakiki,
Pertahankan kedamaian abadi.
Menyatu dengan semua mahluk,
Kulihat kembalinya,
Segala mahluk dalam ragam jenisnya,
Masing-masing kembali ke asalnya.
Kembali ke asalnya berarti damai sejahtera,
Artinya kembali kepada takdir dewata,
Kembali kepada sang takdir berarti keabadian,
Mengetahui sang Abadi berarti pencerahan.
Tidak mengenal sang Abadi menyongsong petaka.
Mengenal sang Abadi bersemi sifat mengayomi.
Sifat mengayomi semaikan keadilan budi.
Keadilan budi mengantar ke kemuliaan raja,
Kemuliaan raja semaikan kemuliaan surga,
Kemuliaan surga menghantarkan kepada Tao.
Tao menuntun ke jalan keabadian,
Walau badan mati membusuk diri,
Tetapi Tao tetaplah abadi.

Pasal 17:

Para pemimpin terbaik, tak disadari rakyat keberadaannya;
Tingkatan dibawahnya, dicintai dan dipuja rakyatnya;
Dibawahnya, ditakuti rakyatnya;
Paling rendah, dicela rakyatnya;
Siapa yang kurang bisa dipercaya, tidak akan dipercaya.
Bertindaklah dari jauh dan hargai kata-katamu.
Bereskan pekerjaan, dan biarkan orang-orang berkata,”Kami lakukan sendiri semuanya!”

Pasal 18:

Ketika jalan suci diingkari,
Muncul moralitas dan kebaikan hati.
Ketika timbul pengetahuan dan kepintaran,
Mengikuti namanya kemunafikan.
Ketika enam hubungan keluarga tak lagi serasi,
Tumbuhlah kasih ayah bunda dan anak berbakti.
Ketika negara dalam kekacauan,
Segera bermunculan para pahlawan.

Pasal 19:

Kesampingkan kekudusan dan kearifan,
Rakyat ‘kan mendapat seratus kali lipat manfaat.
Kesampingkan kebaikan dan kebajikan,
Rakyat ‘kan kembali pada kasih ayah bunda dan anak berbakti.
Buanglah akal bulus dan pamrih,
Maka tak ada lagi penyamun dan pencuri.
Tak cukuplah ketiga hal ini,
Rakyat masih perlu berbekal diri:
Tunjukkan kesederhanaanmu, peluk sifat alamimu,
Kurangi rasa egomu, batasi nafsumu.

Pasal 20:

Enyahkanlah belajar maka tiada lagi kecemasan.
Berapa beda antara ya dan tidak?
Berapa beda antara baik dan buruk?
Takutlah apa yang orang lain takuti.
Semua itu semakin membesar dan membesar tanpa batas!
Gembiralah semua orang,
di musim semi diatas paseban, seakan kenduri pesta kurban.
Diri sendiri lemah membisu, bak jabang bayi senyumpun belum mampu.
Merana tanpa rumah untuk kembali.
Melimpah-ruahlah orang lain dikata,
Awak sendiri bagai kehilangan segala.
Bak sidungu dan sitolol diri ini.
Cerah berserilah orang lain, Kusut masailah diri sendiri.
Cermat telitilah orang lain,
tak berpengharapannya diri ini.
Seperti lautlah sepintas lalu,
Mengapung sepanjang waktu.
Tujuan dikandung semua orang,
Bodoh dan rendahlah diri sendiri seorang.
Memang diri ini beda dibilang,
Aku dipelihara Bunda alam.

Pasal 21:

Inti kebajikan terbesar, hanya dari Tao dia berasal.
Tao, kabur dan samarlah dia.
Dalam kabur dan samarnya, terkandung citra didalamnya.
Dalam kabur dan samarnya, terkandung zat didalamnya.
Dalam kelembutan dan kedalamannya, daya hidup dikandungnya.
Dalam kemurnian daya hidup ini,
berisi pokok kebenaran hakiki.
Dari dulu hingga kini,
namanya tetap abadi.
Dalam meneliti segala ciptaan terjadi,
dengan jalan apa aku dapat memahami?
Dengan jalan ini.

Pasal 22:

Yang merendah akan disempurnakan,
Yang mengaku bengkok akan diluruskan,
Yang mengaku kosong akan dipenuhi,
Yang mengaku aus akan diperbarui,
Miliki sedikit, kau akan dicukupkan,
Milik berlebih akan membingungkan,
Maka Sang Budiman berpegang pada yang Satu dan jadi teladan di dunia ini.
Berseri, karena tak tonjolkan diri.
Terkemuka, karena tak benarkan diri sendiri.
Diakui, karena tak banggakan jasa pribadi.
Langgenglah posisi, karena tak merasa diri sendiri penting berarti.
Dengan sikap non kompetisi, tak ada yang akan menyaingi.
Maka kata leluhur kita, “Merendahlah dan kau akan dicerahi.” Apakah hanya kata-kata kosong tanpa isi?
Mencapai kesempurnaan sejati, manakala kembali ke yang satu ini.

Pasal 23:

Tak banyak bicara itulah yang alami,
Angin topan tak terjadi sepanjang pagi,
Hujan lebat tak berlangsung sepanjang hari,
Siapa yang membuat hal itu terjadi?
Langit dan Bumi.
Jika Langit dan Bumi tak mampu membuat sesuatu abadi,
Manusia apalagi?
Siapa yang berpegang pada Tao menjadi satu dengan Tao,
Siapa berpegang pada Te menjadi satu dengan Te,
Siapa tinggalkan walau satu diantaranya kekalahanlah bagiannya.
Jika kau menyatu dengan Tao,
Tao menyambutmu dengan suka-cita.
Jika kau menyatu dengan Te,
Te menyambutmu dengan gembira.
Jika kau menyatu dengan si pecundang, para pecundang menyambutmu dengan girang.
Siapa kurang bisa dipercaya,
Tak akan dipercaya.

Pasal 24:

Yang berjingkat tak tegak berdiri;
Yang mengangkang tak dapat berjalan,
Yang tonjolkan diri tak berseri;
Yang benarkan diri sendiri tak dapat kemasyuran,
Yang membanggakan jasanya tak peroleh pengakuan.
Yang merasa diri sendiri penting tak’kan langgenglah posisi.
Kondisi tersebut, menurut Tao, laksana ‘berlebih makan dan tindakan’.
Dunia tak tak hargai hal itu.
Maka pengikut Tao hindari selalu.

Pasal 25:

Ada sesuatu yang terbentuk dari kekacauan,
Telah ada sebelum langit dan bumi,
Diam dalam ketenangan,
Tak berubah dan mandiri,
Terus beredar tanpa henti.
Ialah ibu segala benda,
Ku tak tahu apa namanya,
Tao kusebut dia,
Jika dipaksakan memberinya nama,
“Agung”, kunamakan dia.
Karena Agungnya seperti hanya melintas ia dikata,
Seperti melintas serasa jauh ia adanya,
Sejauh dikata, akhirnya kembali padanya.
Maka agunglah Tao,
Agunglah Langit dan Bumi,
dan agunglah juga manusia,
Di jagat raya ada empat yang agung,
manusia satu diantaranya.
Manusia dibentuk bumi,
Bumi dibentuk Langit,
Langit dibentuk Tao,
Tao dibentuk oleh sifatnya sendiri.

Pasal 26:

Berat adalah akar dari ringan,
Ketenangan tuan dari ketergesaan,
Maka Sang Budiman jika bepergian sepanjang hari, tak tinggalkan jauh kereta bagasi.
Meski dikelilingi pemandangan menarik hati,
Dia tetap jaga ketenangan diri,
Bagaimana jika seorang pemimpin terlalu lemah terhadap diri sendiri?
Jika lemah, hilang pokok yang terjadi,
Jika tergesa, hilang kekuasaan tak terhindari.

Pasal 27:

Pejalan yang baik tak tinggalkan jejak perjalanan,
Pembicara yang baik tak membuat kesalahan,
Penghitung yang baik tak perlukan sempoa,
Penutup pintu yang baik tak perlu palang dan grendel-kunci
dan yang ditutupnya tak dapat dibuka,
Pengikat yang baik tak perlukan tali dan yang diikatnya tak dapat dibuka,
Maka Sang Budiman selalu menolong orang dan tak seorangpun diabaikannya,
Selalu menolong sesama mahluk tanpa ada yang disia-siakannya,
‘Mengikuti jalan yang bijak’ inilah yang dikata,
Orang baik guru orang yang tidak baik,
Orang yang tidak baik merupakan bahan bagi orang baik,
Siapa yang tak menghargai gurunya,
Dan menyia-nyiakan bahannya,
Walau pandai, sesatlah dia.
Inilah rahasia maha utama.

Pasal 28:

Mengenali kejantanan,
Dan tetap kau jaga peran sifat lembut kewanitaan,
Kau ‘kan menjadi jeram dunia.
Dengan menjadi jeram dunia,
“Te” yang abadi tak akan pernah pergi,
Kau akan kembali kedalam kemurnian seorang bayi,
Jika kau kenali kemurnianmu,
Dan tetap waspada akan kelemahanmu,
Kau akan jadi teladan dunia.
Dengan menjadi teladan dunia,
“Te” yang abadi tak pernah sesatkanmu,
Kau akan kembali ke alam asali nan abadi,
Jika kau kenali kemuliaanmu,
Dan tetap waspada akan sifat aibmu,
Kau akan jadi lembah dunia.
Dengan menjadi lembah dunia,
“Te” yang abadi akan disempurnakan.
Dan kembali menjadi laksana balok kayu kau diumpamakan.
Balok kayu diolah sempurnakan menjadi alat-alat.
Yang menghantarkan Sang Budiman menjadi pejabat,
Maka memerintah yang baik tidak dengan memecah-belah rakyat.

Pasal 29:

Ada yang ingin menguasai dunia
dan mengendalikan sesuai keinginannya,
Saya kira tak’ kan berhasillah mereka.
Karena dunia adalah sesucinya bejana,
Tak tercipta untuk dibentuk manusia,
Ia yang membuat akan merusakkan,
Ia yang memiliki akan kehilangan,
Maka, inilah Hukum Alam yang abadi,
Beberapa memimpin, yang lain mengikuti,
Beberapa meniupkan panas, yang lain dingin,
Beberapa penuh, yang lain tak berisi.
Maka yang ekstrem, boros, dan berlebihan Sang Budiman hindari.

Pasal 30:

Mereka yang menggunakan Tao untuk membantu penguasa,
Janganlah menaklukkan dunia dengan kekuatan senjata,
Karena senjata akan memakan tuannya,
Ditempat pasukan ditempatkan,
Onak berduri akan dihasilkan,
Peperangan besar diikuti tahun-tahun penuh penderitaan.
Yang bijak, begitu berhasil, berhenti segera,
Dia tak berani gunakan kekuatan semata,
Dia berhasil tapi tak banggakan keberhasilannya,
Dia berhasil tapi tak banggakan pahalanya,
Dia berhasil tapi tak menyombongkan dirinya,
Dia berhasil tapi hanya karena tuntutan tugas semata,
Dia berhasil tanpa unjuk kebengisan dan kekuasaannya,
Ketika sesuatu mencapai puncaknya segera menurun sesudahnya,
Ini bukanlah Tao sesungguhnya,
yang bukan Tao cepat berakhir riwayatnya.

Pasal 31:

Betapa indahnya senjata, alat pembawa nasib buruk ia semata,
Semua mahluk membencinya,
Maka mereka yang memiliki Tao tidak menggunakannya,
Yang bijak, dalam keseharian, menghargai kiri sebagai tempat utama,
Saat perang, kanan tempatnya.
Senjata alat pembawa petaka, Bukan alat sang bijaksana.
Gunakan mereka jika pilihan lain tak ada,
Baiklah tetap tenang waspada.
Dalam kemenangan, janganlah gembira,
Karena gembira cermin kesukaan membantai sesama,
Jika gemar membunuh, takkan dicapai hidup yang penuh.
Dalam suasana bahagia, sisi kiri tempat utama.
Dalam suasana duka, sisi kanan tempatnya.
Dalam militer, wakil komandan disisi kiri posisinya,
Komandan tertinggi di sisi kanan tempatnya.
Mereka mengatur posisinya seakan menghadiri upacara bela sungkawa.
Ketika banyak orang binasa,
Haruslah mendalam orang berduka-nestapa,
Karena itu kemenangan dalam perang rayakanlah sebagai upacara duka cita.

Pasal 32:

Tao abadi dan tak bernama.
Meski nampak kecil dalam kesederhanaan alaminya,
Tak ada yang dapat memperhamba,
Jika para raja dan pangeran berpegang padanya,
Dunia akan tunduk dan setia.
Langit dan bumi berpadu,
Teteskan embun semanis madu,
Dan rakyat dalam kerukunan,
Walau tanpa petunjuk arahan.
Ketika sistem dibentuk, nama dan pangkat diciptakan.
Segera setelah nama dan kedudukan didapat,
Harus tahu kapan berhenti disaat yang tepat.
Dengan tahu kapan harus berhenti, kau akan selamat.
Keberadaan Tao didunia ini laksana aliran sungai bengawan menuju ke laut bahari.

Pasal 33:

Dikata pandai jika memahami orang lain,
Dikata bijak jika memahami diri sendiri.
Disebut berkuasa jika menaklukkan orang lain,
Disebut perkasa menaklukkan diri sendiri.
Tahu kapan merasa cukup sungguhlah kaya.
Yang gigih memiliki ketetapan hati,
Yang menjaga posisinya yang lama bertahan,
Mati dan tak dilupakan, sungguhlah hidup abadi.

Pasal 34:

Tao yang agung mengalir kemana-mana,
Baik disebelah kiri atau kanan ia ada.
Hidup semua benda tergantung padanya dan dia tak menolaknya.
Dia laksanakan tugasnya dengan tak mengejar nama.
Memelihara semua mahluk dengan tak bertindak sebagai tuannya.
Selalu tanpa keinginan, maka ia bisa dinamakan ‘Kecil’.
Semua ciptaan berpulang kepadanya, dan dia tak bertindak sebagai tuannya.
Ia bisa dinamakan ‘Besar’.
Karena tidak menonjolkan keagungannya,
maka ia menjadi besar dan agung yang sesungguhnya.

Pasal 35:

Berpegang kuatlah pada citra agung (dari Tao),
dan dunia akan mengikutimu,
Mengikutimu tanpa kesulitan,
aman dan damai.dalam kebahagiaan
Musik dan makanan lezat,
membuat pelalu-lalang berhenti untuk menikmati.
Ketika dengan mulut Tao diucapkan ,
tanpa rasa dan hampar ia dirasakan.
Carilah, ia tak terlihat,
Dengarlah, ia tak terdengar,
Gunakanlah, ia tak ada habisnya.

Pasal 36:

Tao yang kekal bertindak tanpa tindakan,
tetapi tak ada sesuatupun yang tak dikerjakan.
Jika para raja dan pangeran dapat berpegang padanya,
Semua benda akan bertransformasi dengan sendirinya.
Jika setelah tranformasi, timbul nafsu keinginan,
Dengan kesederhanaan alami tanpa nama akan kuatasinya .
Kesederhanaan alami tanpa nama berarti bebas nafsu keinginan.
Dengan bebas nafsu keinginan buahkan damai kesentosaan,
Maka ketertiban dan kedamaian langit bumi akan terwujudkan.

 

 

About

Pengikut