BAB
DELAPAN
PEMECAHAN DILEMA
Setelah
merenungkan semalaman mengenai diskusinya dengan Nagasena, sang raja membuat
delapan sumpah untuk dirinya sendiri: “Selama tujuh hari mendatang ini aku
tidak akan memutuskan masalah hukum apa pun juga, aku tidak akan memelihara
pikiran yang berisi nafsu keinginan, pikiran yang berisi kebencian atau pikiran
yang berisi pandangan keliru. Terhadap semua pelayan dan mereka yang bergantung
padaku aku akan bersikap rendah hati. Aku akan memperhatikan dengan seksama
setiap perilaku tubuh serta enam inderaku. Aku akan mengisi pikiranku dengan
cinta kasih bagi semua makhluk.”
Kemudian
Raja Milinda bermaksud berbicara kepada Nagasena seorang diri. Raja mengatakan,
“Ada delapan tempat yang harus dihindari oleh orang yang ingin berdiskusi
secara mendalam:
1. landasan pikiran yang tidak mantap di mana masalah yang didiskusikan menjadi
tercerai-berai, bertele-tele, kabur dan tidak ada hasilnya;
2. tempat yang tidak aman di mana pikiran menjadi terganggu oleh rasa takut
sehingga tidak dapat mencerap maknanya dengan jelas;
3. tempat yang berangin di mana suara menjadi tidak jelas;
4. tempat terpencil yang mungkin ada orang yang mencuri dengar;
5. tempat yang sakral di mana pokok pembicaraan mungkin menjadi terbelok ke
situasi sekitarnya yang khidmat;
6. jalanan di mana pembicaraan mungkin menjadi dangkal;
7. jembatan di mana pikiran mungkin menjadi tidak stabil dan goyah; dan
8. tempat mandi umum di mana pembicaraan akan menjadi omongan sehari-hari.
“Juga
ada delapan jenis orang, Nagasena, yang cenderung merusak suatu diskusi:
1. orang yang penuh nafsu,
2. orang yang pemarah,
3. orang yang diselimuti pandangan salah,
4. orang yang sombong,
5. orang yang iri hati,
6. orang yang malas,
7. orang yang hanya punya satu ide (fanatik buta), dan
8. orang tolol yang patut dikasihani.
Delapan
jenis ini adalah perusak perdebatan tingkat tinggi.
“Ada
delapan penyebab, Nagasena, yang menyebabkan berkembang dan matangnya
kebijaksanaan:
1. berlalunya waktu,
2. bertumbuhnya reputasi,
3. seringnya bertanya,
4. berhubungan dengan pembimbing spiritual,
5. penalaran di dalam diri sendiri,
6. diskusi,
7. berhubungan dengan orang-orang yang berbudi luhur, dan
berdiam di tempat yang sesuai.
8. Tidak ada keberatan tentang tempat di sini ini, jadi kita dapat berdiskusi.
Aku adalah murid teladan, aku dapat memegang rahasia dan pandangan terangku
telah masak.
“Inilah,
Nagasena, dua puluh lima tugas seorang guru terhadap muridnya yang baik:
1. Guru harus selalu melindungi muridnya,
2. memberitahukan apa yang harus dikembangkan,
3. memberitahukan apa yang harus dihindari,
4. memberitahukan apa yang harus ditekuni,
5. memberitahukan apa yang harus diabaikan.
6. Guru harus mengajar pentingnya tidur;
7. mengajar agar muridnya menjaga kesehatan,
8. mengajar tentang makanan apa yang harus dimakan atau dihindari,
9. mengajar agar tidak makan berlebihan,
10. membagi apa yang diperoleh di dalam mangkuknya.
11. Guru harus membesarkan hati muridnya yang lemah semangat, dan
12. menasihatinya tentang teman yang cocok,
13. menasihatinya tentang desa dan vihara mana yang patut dikunjungi.
14. Guru tidak boleh terseret di dalam canda atau percakapan tolol yang tak
keruan dengan muridnya.
15. Bila guru melihat kelemahan muridnya, dia harus sabar terhadapnya.
16. Guru harus rajin,
17. harus hidup sesuai dengan moralitas,
18. harus patut dihormati, dan
19. harus berhati lapang.
20. Guru harus memperlakukan muridnya bagaikan anak kandungnya,
21. berjuang untuk membuatnya maju,
22. menguatkannya dalam pengetahuan,
23. mencintainya dan tidak pernah meninggalkannya saat dibutuhkan,
24. tidak pernah melalaikan tugas apa pun, dan
25. membawa muridnya kembali ke jalan yang benar bila dia khilaf.”
“O,
baginda, untuk murid awam, ada sepuluh sifat ini:
1. Dia harus berbagi suka dan duka Sangha,
2. memegang Dhamma sebagai pembimbingnya,
3. bersukacita di dalam memberi sejauh dia mampu, dan
4. harus berjuang untuk mengembangkan agamanya jika mulai pudar.
5. Dia memiliki pandangan benar, dan
6. setelah terbebas dari kesenangan merayakan pesta,1
7. dia tidak mengejar guru yang lain sekalipun demi kehidupannya.
8. Dia terus mengamati pikiran, perkataan dan perbuatannya,
9. Dia bersukacita di dalam keselarasan, dan
tidak penuh prasangka.
10. Karena tidak munafik, dia berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha.
“Semua
sifat ini ada di dalam diri baginda. Karena itu, pantas dan sesuailah jika
baginda menginginkan agama tumbuh subur setelah melihat kemunduran agama Sang
Penakluk ini. Saya izinkan baginda bertanya sesuka Anda.”
1.
Tentang Penghormatan kepada Sang Buddha
“Yang Mulia Nagasena, para pemimpin sekte lain berkata, ‘Jika Sang Buddha
setuju akan penghormatan dan persembahan, itu berarti Beliau tidak sepenuhnya
terbebas dari dunia. Oleh karenanya, semua pelayanan yang dipersembahkan kepada
Beliau menjadi kosong dan tidak ada artinya.’ Uraikanlah kekusutan pandangan
yang salah ini, pecahkanlah dilema ini, dan berilah pandangan terang bagi siswa
Sang Buddha yang akan datang agar dapat membuktikan bahwa lawannya itu
berpandangan salah.”
“Sang Buddha, O baginda, telah sepenuhnya terbebas dan tidak lagi memiliki
kemelekatan, baik pada persembahan maupun pada penghormatan yang diberikan
kepada Beliau.”
“Nagasena, seorang anak boleh memuji ayahnya, atau seorang ayah boleh memuji
anaknya. Tetapi itu bukan dasar yang cukup kuat untuk membungkam orang-orang
yang mengkritiknya.”
“Sang Buddha sekarang telah mangkat dan tidak dapat dikatakan telah menerima
penghormatan dan persembahan yang diberikan kepada Beliau. Akan tetapi,
perbuatan baik yang dilakukan di dalam nama Sang Buddha masih berharga dan
membuahkan hasil yang besar. Bagaikan angin topan yang dahsyat dan kuat
bertiup, begitu juga Sang Buddha telah menyapu dunia dengan cinta kasihnya yang
amat melegakan, amat lembut dan amat murni. Bagaikan orang yang tersiksa oleh
panas dibuai oleh angin yang sejuk, demikian pula makhluk yang tersiksa oleh
panasnya nafsu keinginan, kebencian dan kebodohan batin telah ditenteramkan
oleh ajaran Sang Buddha yang mulia. O baginda yang mulia, meskipun Sang Buddha
telah mahaparinibbana, Beliau telah meninggalkan ajaran-Nya, siswa-Nya, dan
relik-Nya yang berharga, yang nilainya berasal dari kebajikan luhur,
konsentrasi, kebijaksanaan dan kebebasan Beliau. Makhluk yang masih terkena
penderitaan karena dumadi pun dapat memperoleh manfaat dari hal-hal ini,
seperti halnya orang yang mempunyai kipas masih dapat menikmati angin sepoi
meskipun angin tidak lagi bertiup. Dan hal ini telah dilihat sebelumnya oleh
Sang Buddha ketika Beliau berkata, ‘Mungkin Ananda, beberapa dari kalian akan
berpikir, ‘Ajaran dari Sang Guru telah berakhir; kita tidak lagi mempunyai
guru’, tetapi janganlah kalian beranggapan demikian. Dhamma yang telah dibabarkan
oleh-Ku dan aturan-aturan yang telah Kugariskan, biarlah mereka menjadi Guru
kalian setelah Aku pergi.’2
“Dan dengarlah alasan lainnya, O baginda. Apakah baginda pernah mendengar
tentang seorang raksasa bernama Nandaka yang berani memukul Bhante Sariputta,
dan kemudian tertelan bumi?”
“Ya, Yang Mulia, itu telah menjadi pengetahuan umum.”
“Tetapi apakah Bhante Sariputta yang menyebabkannya?”
“Bhante Sariputta tidak akan pernah menyetujui penderitaan apa pun dikenakan
pada makhluk hidup, karena beliau telah mencabut semua akar kemarahan.”
“Tetapi jika Sariputta tidak menyetujuinya, mengapa Nandaka ditelan bumi?”
“Itu karena kekuatan perbuatan jahatnya.”
“Berapa banyak, O baginda, orang yang ditelan bumi?”
“Ada lima, Yang Mulia. Ciñca wanita Brahmana,3 Suppabuddha orang Sakya,4
Devadatta,5 Nandaka sang raksasa,6 dan Nanda si Brahmana.7 Mereka itu semua
ditelan bumi.”
“Dan, kepada siapakah, O baginda, mereka telah berbuat salah?”
“Sang Buddha atau siswa-siswa Beliau.”
“Oleh karena itu, O baginda, suatu tindakan yang ditujukan kepada Sang
Tathagata, meskipun Beliau telah meninggal dunia, tetap ada nilainya dan
menghasilkan buah.”
“Dengan baik pertanyaan yang dalam ini telah dijawab olehmu, Nagasena. Anda
telah mengungkapkan apa yang tadinya tersembunyi. Anda telah menguraikan
kekusutannya, menebas belukar, meluruskan pandangan yang salah. Anda telah
membuat orang-orang yang picik menjadi kebingungan di dalam kegelapan. Anda
memang pemimpin terbesar dari segenap pemimpin aliran.”
2.
Kemahatahuan Sang Buddha
“Nagasena, apakah Sang Buddha mahatahu?”
“O ya, baginda, tetapi pandangan terang untuk pengetahuan tidak selalu ada
bersama Beliau. Itu tergantung pada perenungan.”
“Kalau begitu, Nagasena, Sang Buddha tidak mungkin mahatahu kalau
pengetahuannya diperoleh dari perenungan.”
“Saya akan menjelaskan lebih lanjut. Ada tujuh tingkat kekuatan mental. Yang
pertama, orang biasa yang penuh dengan nafsu keinginan, kebencian dan kebodohan
batin; mereka tidak terlatih di dalam tindakan, ucapan, dan pikiran; pemikiran
mereka berjalan dengan lambat dan sulit.
“Yang kedua, Pemasuk-Arus,8 yang telah mencapai pandangan benar, dan telah
mengerti ajaran Sang Guru dengan benar. Kekuatan pemikiran mereka berjalan
dengan cepat dan berfungsi dengan mudah, sejauh masih berhubungan dengan tiga
belenggu8 yang pertama. Tetapi di luar itu, kekuatan pemikiran mereka berfungsi
dengan lambat dan sulit.
“Yang ketiga, Yang-Kembali-Sekali-Lagi.8 Di dalam diri mereka, nafsu dan niat
jahat telah melemah. Kekuatan pemikiran mereka bekerja dengan cepat dan baik,
sejauh masih berhubungan dengan lima belenggu bagian bawah. Tetapi di luar itu
sulit dan lambat.
“Yang keempat, Yang-Tidak-Kembali-Lagi.8 Pada mereka, nafsu dan niat jahat
telah lenyap. Kekuatan pemikiran mereka berjalan dengan cepat dan baik sejauh
masih berhubungan dengan sepuluh belenggu. Tetapi di luar itu sulit dan lambat.
“Kelima, Arahat.8 Pada mereka, banjir hawa nafsu indera, keinginan untuk
kelahiran kembali, kepercayaan adanya diri, dan kebodohan batin telah lenyap.
Mereka telah menempuh kehidupan suci dan mencapai tujuan akhir. Kekuatan
pemikiran mereka bekerja dengan cepat, sejauh masih dalam lingkup yang dapat
dilakukan siswa. Tetapi di luar itu sulit dan lambat.9
“Keenam, Buddha Menyendiri (Pacceka Buddha),8 yang bergantung pada diri mereka
sendiri saja dan tidak memerlukan guru. Kekuatan pemikiran mereka berjalan
dengan cepat, sejauh masih berhubungan dengan lingkup mereka sendiri. Tetapi di
dalam lingkup yang khusus bagi Yang Mencapai Pencerahan Sempurna, pemikiran
mereka lambat dan sulit. Seperti halnya seseorang yang tak akan ragu
menyeberangi sungai kecil di tanahnya sendiri namun akan ragu menyeberangi
samudera luas.
“Dan yang terakhir, Buddha yang Mencapai Pencerahan Sempurna. Mereka memiliki
segala pengetahuan, memiliki sepuluh kekuatan,8 empat macam ketidaktakutan,9
dan delapan belas ciri seorang Buddha.9 Kekuatan pemikiran mereka bekerja cepat
tanpa ada hambatan di dalam pengetahuan apa pun. Seperti halnya sebatang anak
panah tajam yang dibidikkan dari busur yang kuat akan dengan mudah menembus
kain yang tipis, demikian pula pengetahuan mereka tidak ada batasnya dan jauh
melebihi enam tingkat lainnya. Karena pikiran mereka sangat jernih dan cerdas,
maka para Buddha itu dapat melakukan Mukjizat Kembar.10 Dari situ kita hanya dapat
membayangkan betapa jernih dan aktifnya kekuatan mereka. Dan melihat semua
keajaiban ini, tidak ada alasan lain yang dapat dikemukakan, kecuali karena
perenungan.”
“Meskipun demikian, Nagasena, perenungan dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui sesuatu hal yang masih belum jelas sebelum perenungan dimulai.”
“Seorang yang kaya tidak akan disebut miskin hanya karena tidak ada makanan
yang tersedia pada saat seorang kelana tanpa disangka-sangka datang ke
rumahnya; tidak juga sebuah pohon yang penuh buah dikatakan mandul hanya karena
tak ada buah yang jatuh di tanah. Demikian juga Sang Buddha benar-benar
mahatahu meskipun pengetahuannya diperoleh dari perenungan.”
3.
Pentahbisan Devadatta
“Jika Sang Buddha itu benar-benar mahatahu dan sekaligus penuh dengan welas
asih, mengapa Beliau mengizinkan Devadatta masuk Sangha? Karena dengan
menyebabkan perpecahan Sangha11 [yang hanya dapat dilakukan oleh bhikkhu]
Devadatta akhirnya masuk ke neraka selama kalpa itu.12 Jika Sang Buddha tidak
tahu apa yang akan dilakukan oleh Devadatta di kemudian hari, berarti Beliau
tidak mahatahu. Sebaliknya, jika Beliau tahu, berarti tidak penuh welas asih.”
“Sang Buddha benar-benar mahatahu dan sekaligus welas asih. Justru karena
Beliau telah melihat terlebih dahulu bahwa penderitaan Devadatta akan jadi
terbatas, maka Beliau mengizinkannya masuk Sangha. Seperti halnya seorang
penguasa -yang mempunyai wewenang untuk mengubah hukuman mati menjadi hukuman
potong tangan dan kaki- tidak bertanggung jawab atas penderitaan dan kesakitan yang
tetap harus dirasakan tawanan itu. Atau seperti halnya seorang tabib yang
pintar dapat mengurangi penyakit yang kritis menjadi lebih ringan dengan
memberikan obat yang keras. Demikian juga Sang Buddha mengurangi penderitaan
yang akan datang bagi Devadatta dengan mengizinkannya masuk Sangha. Setelah
menjalani pederitaan di neraka selama kalpa itu, Devadata kemudian akan bebas
dan menjadi Pacceka Buddha yang bernama Atthissara.”
“Sungguh besar anugerah yang diberikan kepada Devadatta oleh Sang Buddha, Nagasena.
Sang Tathagata menunjukkan jalan baginya ketika tersesat di rimba belantara.
Beliau memberikan tumpuan pijakan yang kokoh ketika Devadatta terjatuh ke
jurang. Tetapi alasan dan maksud dari semuanya itu hanya dapat ditunjukkan oleh
orang sebijaksana Anda!”
4.
Penyebab-penyebab Gempa Bumi
“Sang Buddha berkata, Nagasena, bahwa ada delapan penyebab gempa yang hebat.13
Tetapi kita dapatkan ada sembilan yang disebutkan di dalam teks. Ketika
Bodhisatta Vessantara memenuhi kesempurnaan kemurahan hatinya dengan memberikan
istri dan anaknya sebagai pelayan, pada saat itu bumi juga bergoncang. Bila
pernyataan pertama Sang Buddha itu benar, berarti yang kedua itu salah.”
“Kedua pernyataan itu benar, O baginda. Persembahan Vessantara itu tidak
disebutkan sebagai penyebab gempa hebat ke sembilan, karena hal itu merupakan
suatu kejadian yang amat sangat langka. Seperti halnya sebuah anak sungai
kering yang biasanya tidak berair tidak akan disebut sungai, tetapi pada
saat-saat hujan yang tak terduga ia menjadi sungai, demikian juga kebesaran
hati Vessantara adalah sesuatu yang khas dan luar biasa, dan karenanya
dibedakan dari delapan penyebab umum gempa hebat.”
“Pernahkah baginda mendengar di dalam sejarah agama kita, tentang suatu
tindakan pengabdian yang berbuah pada kehidupan sekarang ini juga?”
“Ya, Yang Mulia Nagasena, ada tujuh macam kasus semacam itu: Sumana, si pembuat
karangan bunga,14 Ekasataka sang Brahmana,15 dan Punna si pekerja ladang,16
Mallika sang ratu,17 ratu yang dikenal sebagai ibu dari Gopala,18 Suppiya
wanita yang penuh pengabdian,19 dan Punna si budak wanita.” 20
“Tetapi sudah pernahkah baginda mendengar bahwa tanah ini bergetar sekali atau
dua kali ketika suatu persembahan diberikan?”
“Belum, Yang Mulia, aku belum pernah mendengar hal seperti itu.”
“Demikian juga saya, O baginda, meskipun saya telah dengan sungguh-sungguh
belajar dan siap untuk belajar, kecuali pada saat persembahan luar biasa yang
dilakukan oleh Vessantara. Bukan hanya karena usaha yang biasa saja bumi besar
ini dapat bergetar, O baginda. Hanya ketika bumi terbebani oleh kekuatan
kebajikan, tidak kuat menahan kekuatan tindakan-tindakan bajik yang terbukti
sepenuhnya murni, maka barulah bumi yang luas ini bergoncang dan bergetar,
karena tak sanggup menahan beban kekuatan itu. Dan ketika Vessantara memberikan
persembahannya, O baginda, dia memberikan segala sesuatunya bukan demi tumimbal
lahir yang mulia, bukan demi kekayaan di masa mendatang, bukan demi mengharap
imbalan hadiah, dan bukan demi pujian atau keuntungan pribadi lainnya. Hanya
demi kebijaksanaan tertinggi maka dia memberikan semuanya itu.”
5.
Pernyataan Kebenaran
“Raja Sivi memberikan matanya kepada seorang yang memintanya dan kemudian dia
mempunyai mata baru yang muncul sebagai gantinya.21 Bagaimana hal ini mungkin?”
“Karena kekuatan kebenaranlah hal itu terjadi. Seperti halnya ahli kebatinan
yang mengucapkan kebenaran dapat membuat hujan turun, mengusir api atau
menetralkan racun.
“Ketika Asoka, penguasa yang luhur itu suatu hari berdiri di antara penduduk
kota Pataliputta, beliau berkata kepada menterinya: ‘Adakah orang yang dapat
membuat sungai Gangga ini mengalir balik arah dan melawan arus?’ Kemudian
seorang pelacur yang bernama Bindumati, yang ada di antara kerumunan itu,
mempertunjukkan suatu tindakan kebenaran. Pada saat itu juga sungai Gangga yang
besar itu bergemuruh dan bergelombang, membalik arah di depan mata semua orang.
Lalu Sang Raja yang terperangah mencari wanita yang menyebabkan hal itu terjadi
dan bertanya kepadanya ‘Tindakan kebenaran apa yang telah kau lakukan untuk
dapat melakukan hal ini?’ Wanita itu menjawab, ‘Siapa pun yang membayar saya,
tak peduli apakah dia seorang brahmana, ningrat, pedagang atau pelayan, saya
perlakukan mereka semua sama sederajat. Bebas dari kecenderungan saya melayani
mereka yang sudah membayar saya. Inilah dasar dari tindakan kebenaran22 yang
saya lakukan untuk dapat membalik aliran sungai Gangga.’
“Tidak ada kekuatan biasa yang dapat menyebabkan hal-hal semacam itu terjadi.
Kekuatan kebenaran itu sendirilah yang merupakan penyebabnya. Dan tidak ada
alasan untuk merealisasikan Empat Kesunyataan Mulia selain dari kekuatan
kebenaran itu sendiri.”
6.
Dilema Seputar Kehamilan 23
“Sang Buddha berkata bahwa kehamilan terjadi di rahim dengan adanya tiga
penyebab: persetubuhan yang dilakukan orang tua, kesuburan sang ibu, dan
seorang makhluk untuk dilahirkan.24 Tetapi Beliau juga berkata bahwa ketika
petapa Dukala menyentuh pusar seorang wanita petapa yang bernama Parika dengan
ibu jarinya, bayi Sama terkandung.25 Jika pernyataan yang pertama benar, maka
pernyataan yang kedua pasti salah.”
“Kedua pernyataan itu benar, O baginda, tetapi baginda jangan berpikir bahwa
ada pelanggaran di dalam kasus kedua. Sakka, raja para dewa, setelah melihat
terlebih dahulu bahwa para petapa yang luhur tersebut akan menjadi buta,
meminta mereka untuk mempunyai anak lelaki. Tetapi kedua petapa itu tidak mau
melakukan hubungan seksual sekalipun untuk menyelamatkan jiwa mereka sendiri.
Maka Sakka turut campur dengan menyuruh Dukala. Demikianlah Sama terkandung.”
7. Umur Agama
“Setelah pentahbisan para wanita, Sang Buddha berkata bahwa ajaran yang murni
itu hanya akan bertahan selama lima ratus tahun.26 Tetapi kepada Subaddha
Beliau berkata,
‘Selama para bhikkhu Sangha masih menjalani kehidupan suci yang sempurna maka
dunia ini tidak akan kekurangan Arahat.’ Pernyataan-pernyataan ini
bertentangan.”
“O, baginda, Sang Buddha memang membuat kedua pernyataan itu, tetapi keduanya
berbeda di dalam inti dan arti. Yang satu berhubungan dengan umur ajaran yang
murni, sedangkan satunya lagi berhubungan dengan praktek dari kehidupan agama.
Dan dua hal ini jelas sangat berbeda. Pada saat berkata tentang lima ratus
tahun itu Beliau memberikan batasan kepada agama. Akan tetapi ketika berbicara
kepada Subaddha Beliau menyatakan tentang apa yang terkandung di dalam agama.
Jika murid-murid Sang Buddha terus berusaha sekuat-kuatnya di dalam lima faktor
perjuangan,27 mempunyai keinginan murni untuk tiga latihan,28 menyempurnakan
diri mereka di dalam tindakan dan nilai-nilai yang luhur; maka Ajaran Sang
Penakluk yang mulia itu akan bertahan lama dan akan semakin kuat dan kokoh
dengan berjalannya waktu. Ajaran Sang Buddha, O, baginda, berakar pada praktek.
Prakteklah intinya, dan ajaran akan tetap bertahan selama praktek tidak kendur.
Suatu ajaran tetap bisa lenyap karena tiga hal:
1. mundurnya pencapaian pandangan terang menjadi hanya sekadar pemahaman
intelektual,
2. mundurnya praktek perilaku yang berhubungan dengan ajaran itu, dan
3. mundurnya bentuk luar ajaran itu.
Bila
pemahaman intelektual hilang, maka meskipun orang itu telah menjalani hidup
dengan benar, dia tidak mempunyai pengertian yang jelas tentang ajaran itu.
Dengan mundurnya praktek perilaku, penerapan aturan Vinaya akan hilang dan
hanya bentuk luar agama itu saja yang tertinggal. Bila bentuk luar itu lenyap
maka tradisi itu terputus dan tidak akan dapat berlanjut.
8.
Kemurnian Sang Buddha
“Jika Sang Tathagata telah menghancurkan semua yang tidak baik di dalam
diri-Nya saat mencapai kemahatahuan, mengapa Beliau terluka oleh pecahan batu
yang dilemparkan oleh Devadatta? Jika Beliau dapat terluka, maka Beliau tidak
dapat dikatakan telah terbebas dari segala kejahatan, karena tidak akan ada
perasaan tanpa adanya karma. Semua perasaan berakar pada karma dan hanya dengan
pengaruh karmalah perasaan timbul.”
“Tidak, baginda, tidak semua perasaan mempunyai akar pada karma. Ada delapan
penyebab timbulnya perasaan:
1. angin yang berlebihan;
2. cairan empedu yang berlebihan;
3. lendir yang berlebihan;
4. campuran dari tiga cairan tubuh;
5. variasi temperatur;
6. stress lingkungan;
7. pengaruh luar;
8. karma.
Siapa
pun yang berkata, ‘Hanya karma yang mengatur makhluk’, berarti dia tidak
mengikutsertakan tujuh penyebab lainnya. Dan pernyataannya itu salah.
“Bila unsur angin di dalam diri seseorang terganggu, gangguan itu dapat terjadi
karena salah satu dari sepuluh penyebab:
1. karena dingin;
2. karena panas;
3. karena lapar;
4. karena hawa;
5. karena terlalu banyak makan;
6. karena berdiri terlalu lama;
7. karena pengerahan tenaga yang berlebihan;
8. karena berlari;
9. karena pengobatan medis; atau
10. karena akibat dari karma.
Empedu
dapat terganggu karena tiga hal: karena dingin; karena panas; atau karena
makanan yang tidak tepat. Lendir dapat terganggu karena tiga hal: karena dingin;
karena panas; atau karena makan dan minum. Bila ketiga cairan yang terganggu
itu bercampur, terjadi rasa sakit tersendiri. Kemudian ada rasa sakit yang
timbul dari variasi temperatur, stress lingkungan, dan pengaruh-pengaruh luar.
Dan ada juga rasa sakit yang disebabkan oleh karma.
Jadi rasa sakit yang disebabkan oleh karma jauh lebih sedikit dibandingkan
dengan rasa sakit yang ditimbulkan oleh penyebab-penyebab lainnya. Orang yang
salah pandangan sudah keterlaluan bila mengatakan bahwa segala sesuatu yang
dialami itu terjadi sebagai buah dari karma. Tanpa pandangan terang dari
seorang Buddha, tidak ada yang dapat menentukan jangkauan dari jalannya karma.
Dan ketika kaki Sang Buddha terluka oleh pecahan batu, rasa sakitnya berasal
dari pengaruh luar. Tetapi meskipun Sang Buddha tidak pernah menderita rasa
sakit yang disebabkan oleh karma Beliau sendiri, atau karena stress lingkungan,
Beliau tetap menderita rasa sakit yang disebabkan oleh salah satu dari enam
penyebab rasa sakit yang lain.29 Dan, O baginda, seperti yang dikatakan oleh
Sang Buddha, “Sivaka, ada beberapa rasa sakit yang timbul di dunia ini, karena
humor yang menyakitkan. Dan engkau harus tahu apa humor itu karena hal itu
hanya merupakan pengetahuan biasa saja. Para petapa dan Brahmana yang berpendapat
dan menyatakan pandangan bahwa semua perasaan yang dialami itu disebabkan oleh
tindakan yang lalu, mereka sudah melewati batas kepastian dan pengetahuan, dan
karenanya Aku katakan bahwa mereka salah.”30
9.
Kesempurnaan Sang Buddha
“Jika Sang Tathagata telah mencapai segalanya di bawah pohon bodhi, mengapa
Beliau menghabiskan waktu tiga bulan lagi di dalam kesendirian?”31
“O, baginda, meditasi kesendirian mempunyai banyak manfaat. Semua Tathagata
mencapai kebuddhaan lewat cara itu dan kemudian mengajarkan hal itu demi
manfaat umat manusia. Ada dua puluh delapan manfaat praktek kesendirian:32
1. meditasi itu melindungi seseorang;
2. memperpanjang usia kehidupannya;
3. memberikan semangat;
4. mengikis kelemahannya;
5. menghilangkan segala reputasi yang buruk, dan
6. membawa kemasyhuran;
7. menghancurkan ketidakpuasan, dan
8. menumbuhkan kepuasan;
9. menghapuskan ketakutan, dan
10. memberikan keyakinan;
11. menghilangkan kemalasan, dan
12. memenuhinya dengan semangat;
13. mengusir nafsu,
14. mengusir niat jahat, dan
15. mengusir pandangan salah;
16. melemahkan kesombongan;
17. menghalau keraguan, dan
18. membuat pikiran terpusat;
19. melembutkan pikiran, dan
20. membuatnya ringan hati;
21. membuatnya serius;
22. membawa banyak keuntungan;
23. membuatnya patut dihormati;
24. memberikan sukacita;
25. mengisinya dengan kegembiraan;
26. menunjukkan kepadanya sifat sejati semua bentukan;
27. mengakhiri kelahiran kembali; dan
28. memberikan kepadanya semua buah dari kehidupan meninggalkan duniawi.
Karena
Sang Tathagata mengetahui berbagai keuntungan ini maka Beliau menjalankan
praktek kesendirian.
“Dan seluruhnya ada empat alasan mengapa Para Tathagata membaktikan diri pada
praktek kesendirian:
1. agar dapat berdiam di dalam ketenangan;
2. karena sifat kesendirian yang sama sekali tak tercela;
3. karena kesendirian merupakan jalan bagi semua yang luhur tanpa kecuali; dan
4. karena hal itu dipuji dan dimuliakan oleh semua Buddha.
Bukan
karena masih ada yang harus dicapai oleh Para Buddha itu, dan bukan pula karena
masih ada sesuatu yang perlu ditambahkan pada apa yang telah Mereka capai,
melainkan hanya karena manfaat-manfaat yang luar biasa itulah maka Para Buddha
mempraktekkan kesendirian.”
10.
Keseimbangan Sang Buddha
“Sang Buddha berkata bahwa jika diinginkan, Beliau dapat hidup sampai kalpa33
itu habis. Tetapi Beliau juga mengatakan akan meninggal tiga bulan kemudian.34
Bagaimana kedua pernyataan ini dapat benar semuanya?”
“Kalpa, O, baginda, dalam hal ini adalah jangka waktu lamanya kehidupan
seseorang. Dan apa yang dikatakan oleh Sang Buddha adalah untuk menunjukkan
hebatnya kekuatan kesaktian. Sang Buddha sudah terbebas sepenuhnya dari
keinginan akan bentuk kehidupan mendatang apa pun. Beliau bahkan mencelanya dan
berkata, ‘Aku tidak menemukan keindahan sama sekali di dalam bagian terkecil
pun dari kehidupan mendatang, sama halnya bahwa bagian terkecil dari kotoran
pun tetaplah berbau busuk.’35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar