Kamis, 01 Desember 2011

Nama Baik atau Nasib Buruk


Di masa lalu hiduplah seorang peramal yang sangat terkenal karena kepandaiannya membaca nasib orang. Dia mempunyai banyak pengikut dan penggemar. Muridnya pun banyak.
Suatu ketika ia memamerkan keahlian ilmu meramalnya di hadapan para pengikut dan para muridnya. Ia kumpulkan murid-muridnya. Ia menunjukkan kehebatan ilmu meramal yang dikuasainya.
Setelah meramal nasib beberapa orang yang hadir, seorang pengikutnya mengatakan, “Guru, bisakah Anda meramalkan nasib Anda sendiri?”.
Ternyata, guru itu belum pernah meramal nasibnya sendiri. Karena merasa tertantang, maka dengan ilmunya, ia meramalkan nasibnya sendiri dihadapan para pengikut dan para muridnya.
Sungguh mengejutkan, hasil dari ramalan itu ternyata menunjukkan bahwa ia akan meninggal hari itu juga, setelah matahari tebenam. Para pengikut dan muridnya gempar. Ia pun sangat bersedih, tetapi segera ia bisa menerima hal itu. Ia segera mengutus para murid untuk mempersiapkan upacara kematian dirinya malam itu.
Sore harinya, ia menunggu-nunggu saat kematiannya. Sampai malam hari, tidak terjadi apa-apa. Orang-orang sudah berkumpul untuk menunggui saat-saat terakhirnya. Guru itu mulai diliputi kebingungan. Ia mulai berpikir, “apakah ilmu meramalku meleset?”
Tepat tengah malam, guru itu diliputi perasaan malu, karena ilmu meramalnya yang selama ini di banggakan ternyata meleset. Dengan rasa malu ia membenturkan kepalanya di dinding dan meninggal dunia.

Cerita Buddha dan Seekor Kodok

Ini sebuah kisah Zen. Alkisahnya, ada seekor kodok yang baru saja pergi dari berjalan-jalan di daratan. Ketika kembali berenang di kolam, dia bertemu dengan seekor ikan mas yang telah mengenalnya. “Halo Tuan Kodok, Anda dari mana saja?”, “Oh, saya baru saja datang dari berjalan-jalan di daratan”,jawab Sang Kodok. “Daratan? Apa itu daratan? Saya belum pernah mendengar ada tempat yang bernama daratan”. “Daratan ialah tempat di mana Anda dapat berjalan-jalan diatasnya”, Sang Kodok mencoba menerangkan tentang daratan pada Si Ikan Mas. “Oh ya, dapat berjalan-jalan diatasnya? Saya tidak percaya bahwa Anda baru saja dari daratan. Menurut saya, tidak ada tempat yang disebut daratan”, Si Ikan Mas membantah dengan sengit. “Baiklah jika Anda tidak percaya, yang pasti saya tadi memang datang dari daratan”, balas Sang Kodok dengan sabar. “Tetapi, Tuan Kodok, coba katakan pada saya, apakah daratan itu dapat dibuat gelembung, jika saya bernafas didalamnya?” “Tidak”. “Apakah saya dapat menggerakkan sirip-sirip saya didalamnya?” “Tidak”. “Apakah tembus cahaya?” “Tidak”. “Apakah saya dapat bergerak mengikuti gelombang?” “Tidak, tentu saja”, jawab Sang Kodok dengan sabar. “Nah, Tuan Kodok, saya sudah menanyakan Anda tentang daratan, dan semua jawaban Anda adalah “Tidak”, dan itu berarti daratan itu tidak ada”, Si Ikan Mas menjawab dengan perasaan puas. “Baiklah, jika Anda berkesimpulan seperti itu. Yang jelas, saya tadi memang datang dari daratan dan daratan itu nyata adanya”,Sang Kodok menjawab sambil berlalu.


Si Ikan Mas, karena dia adalah seekor ikan yang hidupnya di air, maka dia tidak pernah mengetahui bahwa ada dunia lain selain dunia airnya. Kareena dia hanya mengenal dunia air, maka semua pertanyaan ynag diajukan tentang daratan, tetap berkaitan dengan dunia air. Sebaliknya Sang Kodok, dia dapat hidup di dua dunia, dunia air dan daratan. Karenanya, Sang Kodok mengerti bahwa ada dunia lain selain dunia air tempat para ikan hidup. Dia mengerti sepenuhnya dunia air, dia juga mengerti sepenuhnya daratan, karena dia sudah mengalami pengalaman empiris di dua dunia itu.

Demikian pula dengan Buddha. Buddha mengerti sepenuhnya alam duniawi beserta segala fenomenanya dan Nibbana sebagai pembebasan dari segala fenomena. Karena Beliau telah mengalami pengalaman empiris kehidupan duniawi dan pencapaian Nibbana. Kita adalah si ikan mas yang keras kepala. Sepanjang kita belum pernah mengalami pencapaian Nibbana, seberapa hebatnya Buddha menerangi tentang Nibbana, kita tak kan mengerti. Bukan berarti Buddha gagal mencerahi kita. Kebodohan kita sendirilah yang menghalangi pencerahan yang mestinya terjadi.

Mutiara pencerahan itu ada dalam diri kita. Buddha telah menunjukkan jalannya. Kini yang perlu kita lakukan hanyalah meneguhkan hati untuk menjalani jalan yang telah ditunjukkan tersebut. Mengalami sendiri pencapaian Nibbana dan mengerti apakah Nibbana itu dengan sepenuhnya. Dan menjadi orang yang menmenangi pertarungan yang sejati.

About

Pengikut