Dalam memahami
mengulas mengenai konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha. Suatu pertanyaan yang
sering timbul, yaitu : Apa dalam Agama Buddha mengenal Ketuhanan ?” Pertanyaan
tersebut timbul, tidaklah mengherankan. Dalam mengulas mengenai Ketuhanan, ada
Beberapa kendala dalam pemahaman lebih lanjut tentang Ketuhanan, antara lain :
Penyebutan kata “Ketuhanan” tersebut tidak populer dan tidak dipakai sama
sekali dalam pembabaran agama Buddha, seolah-olah tidak memiliki ajaran
tersebut ; Belum adanya pemahaman yang memadai dan jarang dibicarakan ;
Kekacauan konseptual dalam lingkungan multi religius, umat Buddha tidak dapat
menjauhkan diri dari berinteraksi secara aktif dengan umat agama lain. Di mana
umat non Buddhis dengan mudah menyebut dan memonopoli kata ”Ketuhanan” di
segala tempat dan segala waktu tanpa memperdulikan implikasinya dan ; tidak
memiliki akses informasi yang langsung yang lengkap, leluasa dan otoritatif
terhadap ajaran dokrinal agamanya dan secara tergesa-gesa ikut-ikutan meminjam
konsep agama lain.
Agama Buddha menekankan Pragmatis, yaitu : Mengutamakan tindakan-tindakan cepat
dan tepat yang lebih diperlukan di dalam menyelamatkan hidup seseorang yang
tengah gawat dan bukan hal-hal lainnya yang kurang praktis, berbelit-belit,
bertele-tele dan kurang penting. Buddha tidak pernah menghabiskan waktu untuk perkara-perkara
spekulatif tentang alam semesta karena hal ini kecil nilainya bagi pengembangan
spiritual menuju Kebahagiaan Sejati.
Hal ini dapat kita lihat pada kisah, orang yang tertembak anak panah beracun,
yang menolak untuk mencabutnya sebelum dia tahu siapa yang memanahnya, kenapa
panah itu ditembakkan, dari mana anak panah itu ditembakkan. Pada saat semua
pertanyaannya terjawab, dia sudah akan mati lebih dahulu. (Cula-Malunkyovada
Sutta, Majjhima Nikaya 63)
Sutra tersebut mengajarkan kita memiliki pemahaman yang rasional, efektif,
efisien, cerdas dan bijaksana dalam kehidupan spiritual umat manusia agar
tindakan cepat dan tepat segera diutamakan, tanpa membuang-buang waktu lagi
Dalam mengulas konsep tersebut kita tidak dapat melepaskan 4 (empat) rumusan
Kebenaran, yaitu :
1. Ada awal - Ada akhir
Kebenaran ini menjelaskan ada awal dalam proses pembentukan, pembuatan dan
kejadian. Seperti Pembuatan meja. Ada proses pengerjaan kayu-kayu dibentuk,
dihubungkan dan difinishing sehingga terbentuk meja kayu dengan empat
pondasinya atau bentuk desain lainnya. Ada Akhir dalam hal ini ada kehancuran,
kelapukan. Jadi, dengan berjalannya proses waktu, meja tersebut dapat rusak,
hancur atau diolah lagi dalam bentuk lainnya. Seperti meja tersebut dimakan
rayap, dijadikan kayu bakar atau dijadikan pondasi. Maka pada saat bentuk
berubah kita mengatakan akhir keberadaan dari apa yang kita namakan meja
tersebut.
2. Ada Awal - Tanpa Akhir
Kebenaran jenis ini, seperti Bilangan asli yang selalu diawali dengan angka 1 dan
angka selanjutnya tanpa batas. Kita tidak dapat mengakhiri pada angka tertentu.
Meskipun penghitungannya angka tersebut sudah sedemikian besar.
3. Tanpa awal - Ada akhir
Kebenaran jenis ini, contohnya adalah keberadaan kehidupan manusia. Apabila kita
telusuri awal keberadaan manusia kita tidak akan menemukan suatu jawaban yang
pasti. Pada saat kita menarik kebelakang. Orang pasti memiliki ayah dan ibu.
Ayah dan Ibu pun memiliki ayah dan ibunya lagi. Terus kita tarik baik dari sisi
ibu maupun dari sisi ayah kita tidak akan menemukan titik yang tepat. Meskipun
dalam agama tertentu. Ada keberadaan awal manusia.
Dalam hal ini karena keterbatasan dalam mencari awal permulaan maka dikatakan
tanpa awal untuk mempermudah pemahaman lebih lanjut. Apabila kita memaksakan
diri untuk menemukan jawabannya maka kita akan terjebak dalam spekulasi
pandangan. Hal ini tentu akan banyak menghabiskan waktu dan tenaga. Sementara
kehidupan kita adalah terbatas. Cepat atau lambat akan meninggalkan dunia ini.
Pengertian ada akhir, berati orang tersebut telah mencapai pencerahan sehingga
tidak dilahirkan kembali.
Jadi, Sama sekali tidak ada alasan untuk menganggap bahwa segala sesuatu atau
dunia ini harus memiliki suatu permulaan. Gagasan bahwa segala sesuatu harus
memiliki permulaan benar-benar karena miskinnya pikiran kita."
4. Tanpa awal - Tanpa akhir
Kebenaran jenis ini dapat kita lihat dalam Udana Nikaya :
“Ketahuilah Para Bhikkhu, Ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak
Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Wahai para Bhikkhu, apabila Tidak
ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang
Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan,
pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma,
Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari
kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Kebenaran terakhir ini, seperti Nibbana yang memungkinkan kita untuk mencapai
pembebasan.
Buddha telah mencapai Pencerahan Sempurna, dengan demikian Buddha menghayati
dan memahami Ketuhanan dengan sempurna pula. Buddha bersabda: “Ada Yang Tidak
Terlahir, Yang Tidak Terjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak (Udana VIII:3).
Yang Mutlak = Asamkhata-Dhamma = Yang Tak Terkondisi. Dengan adanya Yang Tak
Terkondisi (Asamkhata), maka manusia yang terkondisi (Samkhata) dapat mencapai
kebebasan mutlak dari samsara.
Dengan adanya hukum Dharma, unsur IMANEN dari Ketuhanan YME tidak lenyap sama
sekali, namun ajaran Buddha menekankan unsur TRANSENDEN dari Ketuhanan YME.
Semua yang transenden adalah TIDAK TERKONSEPKAN, harus dipahami secara INTUITIF
melalui PENCERAHAN, bukan melalui konsep.
Tak terelakkan, ketika kita bicara tentang konsep Ketuhanan, diperlukanlah:
SEBUTAN. Salah satu sebutan: Adi-Buddha. Sebutan lain: Advaya, Diwarupa,
Mahavairocana (kitab-kitab Buddhis bahasa Kawi), Vajradhara (Tibet: Kargyu
& Gelug), Samantabhadra (Tibet: Nyingma), Adinatha (Nepal). Daftar ini
tidak lengkap dan masih bisa diperpanjang lagi sesuai dengan kebutuhan
Ajaran-ajaran mengenai Adi Buddha telah lama dianut oleh leluhur-leluhur kita
di tanah Jawa yang menganut aliran Buddha esoterik yang mendirikan candi
borobudur serta candi-candi Buddhis lainnya.
Adi-Buddha = Realitas Tertinggi
Adi-Buddha = Kebenaran Mutlak.
Adi-Buddha = Ketuhanan Yang Maha Esa
Adi-Buddha = Dharmakaya
Dharmakaya: tubuh Dharma yang absolut, kekal, meliputi segalanya, tidak
terbatasi oleh ruang dan waktu, ada dengan sendirinya, bebas dari pasangan yang
berlawanan, bebas dari pertalian sebab-akibat.
Adi-Buddha bukan suatu personifikasi.
Adi-Buddha bukan sosok yang punya inti-ego (ego-conscious).
Adi-Buddha bukan Tuhan antropomorfik (menyerupai manusia).
Adi-Buddha bukan Tuhan antropopatis (berperasaan = manusia).
Apakah pengetahuan kita mengenai Adi-Buddha dapat menyelamatkan kita dari
samsara?
Tentu saja TIDAK.
Mengapa ?” Karena pengetahuan kita mengenai Adi-Buddha bersifat intelektual
semata; bukan pengalaman intuitif langsung. Selain itu karena kita masih
harus berlatih sila dan semadi untuk mewujudkan kebijaksanaan. Tanpa melakukan
ketiga hal ini, kita tidak akan terbebas dari Samsara.
Pandangan C. Wowor mengenai konsep Ketuhanan, beliau mengatakan bahwa Ketuhanan
yang Maha Esa dalam agama Buddha, menurut ajaran dalam Tipitaka adalah Nibbana.
Menurutnya Maha Brahma bukanlah Tuhan dalam versi Buddhis. Sebagaimana kutipan
beliau dalam Bramajala Sutta, disebutkan sebagai berikut :
“Demikianlah pada suatu waktu yang lampau ketika berakhirnya suatu masa yang
lama sekali, bumi ini mulai berevolusi dalam pembentukan. Ketika hal ini
terjadi alam Brahma kelihatan dan masih kosong.
Ada makhluk dari alam dewa Abhassara yang masa hidupnya atau pahala karma
baiknya untuk hidup di alam itu telah habis. Ia meninggal dari alam Abhassara
dan terlahir kembali di alam Brahma
Di sini ia hidup ditunjang oleh kekuatan pikirannya diliputi kegiuran, dengan
tubuh yang bercahaya dan melayang-layang di angkasa, hidup diliputi kemegahan,
ia hidup demikian dalam masa yang lama sekali. Karena terlalu lama ia hidup di
situ. Maka dalam dirinya muncullah rasa ketidakpuasan, juga muncul suatu
keinginan, “O, Semoga ada makhluk lain yang datang dan hidup bersama saya di
sini !”
Pada saat itu ada makhlukn lain yang disebabkan oleh masa usianya atau pahala
karma baiknya telah habis, mereka meninggalkan alam Abhassara dan
terlahir kembali di alam Brahma sebagai pengikutnya, tetapi banyak hal sama
dengan dia.
Para Bhikkhu, berdasarkan hal itu, maka makhluk pertama yang terlahir di alam
Brahma berpendapat, “Saya Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha
Tahu, Penguasa, tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat
bagi Semua Makhluk, Asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan
ada. Semua makhluk adalah ciptaanku. Mengapa Demikian !” Baru saja saya
berpikir, semoga mereka datang, dan berdasarkan pada keinginanku itumaka
makhluk-makhluk itu muncul.
Makhluk-makhluk itu pun berpikir, “Dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha
Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi,
Penentu tempat bagi Semua Makhluk, Asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah
ada dan yang akan ada. Kita semua adalah ciptaannya. Mengapa ?” Sebab, setahu
kita, dialah yang lebih dahulu berada disini, sedangkan kita muncul sesudahnya.
“Para bhikkhu dalam hal ini makhluk yang pertama yang berada di situmemiliki
usia yang lebih panjang, lebih mulia, lebih berkuasa daripada makhluk-makhluk
yang datang sesudahnya.
Para bhikkhu, selanjutnya ada beberapa makhluk yang meninggal di alam tersebut
dan terlahir kembali di bumi. Setelah berada di bumi ia meninggalkan kehidupan
berumah tangga dan menjadi pertapa. Karena hidup sebagai pertapa, maka dengan
bersemangat, tekad, waspada dan menjadi tenang dan memiliki kemampuan mengingat
kembali satu kehidupan lampau, tetapi tak lebih dari itu.
Mereka berkata Dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu,
Penguasa, tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi
Semua Makhluk, Asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada.
Diala yang menciptakan kami, ia akan tetap kekal selamanya, tetapi kami yang
diciptakannya dan datang ke sini adalah tidak kekal, berubah, dan memiliki usia
yang terbatas.
Apabila kita cermati dengan seksama, Maha Brahma yang merupakan makhluk alam
Abhassara yang terlahir di alam Brahma. Pada masa awal memiliki tubuh yang
bercahaya dan memiliki kemampuan untuk melayang-layang. Munculnya makhluk alam
Brahma lainnya adalah karena habisnya masa kehidupan mereka di alam Abhassara.
Jadi, bukan karena hasil dari ciptaan Maha Brahma.
Setelah menolak Maha Brahma sebagai pencipta, dia menawarkan rumusan lain yang
diambil dari Tipitaka yang menurutnya lebih tepat disebut Ketuhanan Yang Maha
Esa dalam agama Buddha. Beliau mengutip Sutta Pitaka, Udana Nikaya VIII : 3 :
“Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam, yang artinya : “Suatu yang tidak
dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan dan Mutlak.”
Pandangan Upasaka Succako, dalam bukunya Konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha,
beliau menyebutkan : Nibbana adalah cita-cita tertinggi. Nibbana merupakan
suatu keadaan ketika kita terbebaskan secara sempurna dari belenggu lahir-mati
dan tanha ? Nirvana adalah kebalikan Samsara. Nibbana harus ditafsirkan sebagai
berakhirnya segala manisfestasi dari tanha. Nibbana adalah akibat dari proses
pembersihan hati dan pikiran secara total dan bukan sebaliknya sebab dari
terjadinya proses itu ?
Dalam Anguttara Nikaya, Buddha menjelaskan ada 3 (tiga) pandangan yang berbeda
yang dianut masyarakat luas pada masa kehidupannya. Salah satu dianataranya
adalah pandangan bahwa baik penderitaan maupun kebahagiaan kedua-duanya berasal
semata-mata dari Pencipta (Issaranimmanahetu). Menurut pandangan ini kita tidak
lebih dari hasil karya Pencipta dan sebagai konsekuensinya, seluruh nasib dan
takdir kita bergantung mutlak pada kehendaknya yang absolut. Dalam pandangan
ini manusia tidak memiliki sedikit kebebasan lagi untuk menentukan nasib dan
takdirnya sendiri.
Terhadap pandangan ini, Sakyamuni Buddha bersabda, “Jadi, karena diciptakan
oleh Pencipta yang maha tinggi, maka manusia akan menjadi pembunuh, pencuri,
penjahat, pembohong, pemfitnah, penghina, pembual, pencemburu, pendendam dan
orang yang keras kepala. Oleh karena bagi mereka yang berpandangan bahwa segala
sesuatu adalah ciptaan pencipta, maka mereka tidak akan lagi mempunyai
keinginan, ikhtiar ataupun untuk menghindar dari perbuatan lain. (Majjhima
Nikaya II, Sutta no. 101).
Jika ada suatu makhluk yang merancang kehidupan dunia, kemuliaan dan
kesengsaraan, tindakan baik dan tindakan jahat – maka manusia tidak lain adalah
alat dari kehendaknya dan tentu makhluk itu yang bertanggung jawab (Jataka VI :
208).
SANGHYANG ADI BUDDHA adalah asal usul dari segala sesuatu yang ada di alam
semesta, ia sendiri tanpa asal dan tanpa akhir, ada dengan sendirinya, tidak
terhingga, Supreme dalam segala kondisi, conditionlesss, absolute, ada
dimana-mana, esa tiada duanya, kekal abadi. Namun semua kata-kata indah dan
besar itu tidak mampu melukiskan keadaannya yang sebenarnya dari Sanghyang Adi
Buddha.
Apakah Adi Buddha tersebut ?
Adi Buddha tak dapat dikatakan sebagai zat Ilahi yang memiliki inti ego (ego
conscious). Adi Buddha bukanlah Tuhan Antrofomorfik (menyerupai manusia) maupun
Tuhan Antropopatis (memiliki perasaan dan emosi seperti manusia) yang membuat
sebuah rencana dibenaknya, lalu berkeinginan untuk mewujudkannya dan dikemudian
hari memutuskan untuk menilai baik tidaknya hasil karya itu – layaknya seorang
arsitek yang memandangi gedung hasil ciptaannya sendiri untuk memuji atau
mencela.
Dalam Literatur Mahayana dapat kita jumpai konsep pemahaman mengenai Ketuhanan
tersebut. Dalam kitab Sutra Vimalakirti Nirdesa, disebutkan Dharma tertinggi
adalah tak terkatakan.
Pendekatan pemahaman tersebut kita telusuri dalam Trikaya (tiga tubuh
Kebuddhaa), yaitu :
1. Dharmakaya yang absolut
Yang Mutlak ini bersifat kekal, meliputi segalanya tidak dibatasi oleh ruang
dan waktu bukan realitas personifikasi, esa, bebas dari pasangan yang
berlawanan, ada dengan sendirinya, bebas dari pertalian sebab akibat. Tubuh
Dharma ini disebut Tathagatagarbha.
2. Sambhogakaya
Tubuh rahmat atau tubuh cahaya sering dinyatakan perwujudan surgawi yang dapat
dilihat oleh makhluk surga dan Boddhisatva.
3. Nirmana kaya
Tubuh perubahan yang dapat dilihat oleh manusia dan dipakai untuk mengajarkan
manusia. Buddha Gotama yang mengajarkan kita memakai tubuh ini
Mengapa harus ada Adi Buddha
Adanya Adi Buddha merupakan penegasan yang penting, bahwa kehidupa ini bukanlah
produk chaos, melainkan hasil dari tata kerja hierarchi spiritual yang
menghendakinya. Dengan adanya Adi Buddha kehidupan ini menjadi berarti dan
dapat dimungkinkan untuk mencapai pencerahan dan kebuddhaan.
Bagaimana dengan pengaturan hukum alam semesta ?”
Ajaran Buddha mengenai asal alam semesta. Selaras dengan ilmu pengetahuan.
Dalam Aganna Sutta, Buddha menggambarkan: alam semesta berulang kali mengalami
kehancuran dan tersusun kembali selama masa yang tak terhitung; bumi ini
bukanlah satu-satunya planet; ada gugus-gugus yang lebih besar, tatasurya,
galaksi, mahagalaksi, dst, tanpa batas. kehidupan pertama terbentuk di
atas permukaan air, kehidupan berangsur-angsur berevolusi dari organisme
yang sederhana menjadi makin kompleks. Segala proses ini tidak berawal, tidak
berakhir, dan berlangsung alamiah.
“Agama masa depan adalah agama kosmik. Melampaui Tuhan sebagai pribadi serta
menghindari dogma dan teologi. Mencakup baik alamiah maupun spiritual, agama tersebut
seharusnya didasarkan pada rasa keagamaan yang timbul dari pengalaman akan
segala sesuatu yang alamiah dan spiritual, berupa kesatuan yang penuh arti.
Ajaran Buddha menjawab gambaran ini. Jika ada agama yang akan memenuhi
kebutuhan ilmu pengetahuan modern, itu adalah ajaran Buddha.” (Albert Einstein,
1939)
Sumber Pencantuman Ketuhanan
Konsep mengenai Adi Buddha dapat kita jumpai dalam
1. Kitab Namasangiti Karanda Vyuha.
2. Svayambu Purana
3. Maha Vairocanabhisambodhi Sutra
4. Guhya Samaya Sutra
5. Tattvasangraha Sutra dan
6. Paramadi Buddhodharta Sri Kalacakra Sutra.
Di Indonesia,
1. Kitab Namasangiti versi Chandrakirti dari Sriwijaya dan
2. Sanghyang Kamahayanikan pada jaman Pemerintahan Mpu
Sindok.
Tuhan tidak menciptakan
sesuatu, tetapi menyatu dengan segala sesuatu, karena Ia bukanlah entitas yang
berwujud melainkan sunyata (kosong), maka Ia dapat berada dimana saja, kapan
saja, tanpa halangan. Oleh sebab itu, Ia ada dimana-mana
Menurut agama Buddha,
teori penciptaan tidaklah masuk akal. Penciptaan haruslah diawali oleh sebuah
keinginan atau hasrat, sedangkan keinginan atau hasrat itu hanya dimiliki oleh
mahluk yang memiliki ego dan pikiran seperti yang dimiliki manusia.
Adi Buddha tidaklah memiliki ego
ataupun pikiran tersebut (karena ia semata-mata sunya atau kosong) dan oleh
sebab itu, Ia tidak mungkin memikirkan, merencanakan, dan apalagi menciptakan.