Rabu, 10 Juli 2013

Kitab Dao De Jing (Lao Tzu)

Sumber: http://sasananuswantara.wordpress.com/2011/02/19/lao-tzu-tao-te-ching/



Pasal 1:

Tao yang dapat dibicarakan, bukanlah Tao yang abadi.
Nama yang dapat dilafalkan, bukanlah nama yang kekal.
Kekosongan adalah awal langit dan bumi;
Dialah ibu segala ciptaan.
Bebaskan segala keinginan dan nafsu, maka terbukalah misteri yang gaib itu,
Dengan keinginan dan nafsu, hanya terlihat manifestasinya.
Keduanya berasal dari sumber yang sama,
hanya namanya saja yang berbeda.
Merupakan misteri yang gaib,
Misteri dalam misteri,
Gerbang segala kegaiban.

Pasal 2:

Jika dunia mengenali cantik sebagai kecantikan, maka hal itu karena adanya keburukan.
Jika dunia telah mengenali baik sebagai kebaikan, maka hadirlah juga kejahatan.
Maka, ada dan tidak ada silih berganti.
Mudah dan sukar saling melengkapi.
Pendek dan panjang saling menimpali.
Tinggi dan rendah saling mengimbangi.
Nada dan suara harmonis serasi.
Depan dan belakang saling mengikuti.
Maka sang Budiman bertindak tanpa tindakan dan mengajar tanpa ucapan.
Membiarkan alam bekerja dengan sewajarnya,
menghidupi semua mahluk tanpa rasa memiliki.
Dia bekerja tanpa tergantung pada hasilnya,
Dia berhasil, tetapi tidak membanggakan jasanya,
Karena tidak merasa memiliki apa-apa,
dia tak pernah kehilangan apapun juga.

Pasal 3:

Dengan tidak memuliakan orang-orang pintar,akan mencegah kedengkian dan persaingan;
Dengan tidak menghargai barang barang berharga, akan mencegah timbulnya pencurian;
Dengan tidak memamerkan hal-hal yang mengundang nafsu serakah, akan mencegah orang dari kekalutan pikiran.
Maka sang Budiman memerintah rakyatnya dengan,
mengosongkan hati pikirannya,
mengenyangkan perutnya,
melemahkan ambisinya,
menguatkan tulangnya.
Membuat rakyat dalam keluguan dan tanpa nafsu serakah,
Membuat yang pandai tidak berani mengacau,
Bertindak tanpa tindakan,
Dengan demikian tidak ada yang tak teratur.

Pasal 4:

Tao bagaikan bejana kosong, terus dipakai dan tak pernah habis.
Agung dan dalam, dialah sumber segala ciptaan.
Dia tumpulkan ketajaman,
Menguraikan kesulitan;
Melembutkan gemerlapan,
Menyatukan dengan debu;
Samar, lembut, selalu hadir dimana-mana.
Aku tak tahu berasal dari mana dia,
Dia telah ada sebelum Tuhan.


Pasal 5:

Langit dan Bumi tak berbelas-kasih,
Perlakukan semua mahluk laksana anjing jerami;
Sang Budiman tak berbelas-kasih,
Perlakukan semua orang laksana anjing jerami.
Bukankah alam seperti pompa angin?
Kosong tapi bukannya tanpa daya,
Makin banyak digerakkan
makin banyak angin yang diproduksi,
Banyak omong hanya melelahkan,
Lebih baik temukan kebijakan diri dalam sanubari.

Pasal 6:

Semangat ‘lembah’ nan abadi,
Dialah ibu kegaiban,
Gerbang ibu kegaiban itulah akar langit dan bumi.
Samar, lembut, selalu hadir dimana-mana.
Gunakanlah, kau akan selalu dimudahkan.

Pasal 7:

Langit dan Bumi kekal abadi. Mengapa?
Sebab tak hidup untuk diri sendiri,
Maka dapat panjang umurnya.
Sang Budiman tak tonnjolkan diri sendiri, maka ia di muliakan.
Dia jauhkan egonya, dan menemukan kepenuhan.
Bukankah karena tak hidup untuk diri sendiri,
Maka ia mampu mencapai kesempurnaan?

Pasal 8:

Kebajikan tertinggi bagaikan air,
Memberi manfaat bagi semua mahluk tanpa pamrih,
Menempati tempat yang terendah,
Seperti itulah sifat yang dekat dengan Tao,
Dalam hal:
bertempat tinggal, cintailah lingkungan.
berperasaan, hayati sedalam kalbu,
memberi, landasi dengan kebaikan hati,
berbicara, tunjukkan ketulusan hati,
memerintah, berikan ketertiban dan ketentraman,
bekerja, kembangkan ketrampilan,
bertindak, pertimbangkan saat yang tepat,
Karena tanpa niat bersaing,
maka tak ada rasa salah dan sesal.

Pasal 9:

Terus memenuhi segala hasrat keinginan,
Tak sebijak jika anda berhenti pada saatnya.
Prakiraan yang rincipun,
Tak dapat digunakan sepanjang masa.
Ketika emas permata memenuhi rumahmu,
Kau tak akan mampu mengamankannya,
Ketika anda membanggakan harta dan kedudukan,
Anda menjemput sang malapetaka,
Ketika anda mencapai keberhasilan,
itulah saat untuk berhenti.
Inilah Jalan Alam Surgawi.

Pasal 10:

Menyatukan jiwa dalam kemanunggalan dengan yang Esa, dapatkah anda lakukan tanpa berpisah denganNya?
Dalam mengatur nafas anda, dapatkah anda melakukan selembut seorang bayi?
Dalam memurnikan pikiran anda, dapatkah melenyapkan segala noda batin?
Dalam menyintai rakyat dan memerintah negara, dapatkah anda bertindak dengan tanpa tindakan?
Dalam membuka dan menutup pintu hati, dapatkah anda melakukannya dengan penuh kelembutan?
Dalam memahami segala perkara, dapatkah anda bertindak dengan tanpa tindakan?
Melahirkan dan memelihara,
Menghidupi semua mahluk tanpa rasa memiliki,
Bekerja tanpa tergantung pada hasilnya,
Memimpin tanpa mendominasi,
Inilah kebijakan tertinggi.

Pasal 11:

Tiga puluh jari-jari kereta disatukan sebuah poros roda,
Namun kekosonganlah yang membuat kereta berguna.
Tanah liat dicetak dibuat bejana,
Namun kekosonganlah yang membuat bejana berguna.
Pintu, jendela ditatah melengkapi sebuah ruangan,
Namun kekosonganlah yang membuat ruangan berguna.
Maka:
Yang berwujud memberikan keuntungan,
Yang tidak berwujud memberikan kegunaan.

Pasal 12:

Lima warna membutakan mata;
Lima nada menulikan telinga;
Lima rasa merusak cita rasa;
Berbalapan dan berburu, liar angan pikiran dibuatnya;
Barang-barang berharga
sesatkan orang semata.
Karena itulah:
Sang Budiman cenderung bertindak dipandu nuraninya dan bukan penglihatannya.
Dia menerima yang ini dan menolak yang lainnya.

Pasal 13:

Berkah maupun kehinaan sama menakutkan.
Kemuliaan, seperti sang ‘diri’, akar segala derita.
Apa maksudnya berkah maupun kehinaan sama menakutkan?
Menerima berkah, muncul rasa takut.
Kehilangan berkah, juga menakutkan.
Inilah yang dimaksud dengan
berkah maupun kehinaan sama-sama menakutkan.
Apa maksudnyakemuliaan, seperti sang ‘diri’, akar segala derita?
Alasan mengapa saya menderita adalah karena adanya sang ‘diri’.
Jika ‘diri’ tidak ada, siapa yang rasakan derita?
Oleh sebab itu:
Siapa yang menghargai dunia seperti penghargaan terhadap diri sendiri, dapat dipercaya mengatur dunia.
Siapa yang berpericinta-kasih, dapat dipercaya melayani dunia.

Pasal 14:

Dilihat tak kelihatan, maya maka ia dikata.
Didengar tak kedengaran, tak terdengar maka ia dikata.
Diraih tak teraba, tak teraba maka ia dikata.
Tak terjabarkan lebih lanjut ketiganya,
Dan telah menyatu dalam kesatuan yang Esa.
Tak menyilaukan dalam ketinggiannya.
Tak redup dalam kerendahannya.
Dalam, abadi, sulit melukiskannya.
Kembali lagi kesifatnya yang tak berwujud.
Disebut bentuk tanpa bentuk,
citra tanpa wujud.
Inilah kegaiban maha agung.
Lihatlah dari depan, tak terlihat awalnya.
Ikutilah, tak nampak akhirnya.
Pahamilah masa lalu,
Untuk mengelola saat ini, pegang eratlah Tao jaman dulu,
Inilah intisari Tao.

Pasal 15:

Para guru suci jaman dahulu,
Lembut, bijak, dan agung,
Keagungannya sulit dijajaki ,
Kita hanya bisa mengumpamakan mereka:
Hati-hati, laksana sedang menyeberangi sungai dimusim salju.
Waspada, laksana sedang dikepung musuh dari segala penjuru.
Santun, laksana seorang tamu.
Mengalah, laksana es yang mencair,
Polos, laksana balok belum diukir,
Merendah, laksana hamparan lembah,
Kabur, laksana air keruh berlumpur.
Siapa dapat menenangkan kekeruhan dan lambat-laun mendapat kejernihan?
Siapa dapat ciptakan kedamaian abadi sampai mendapat kemajuan?
Tanpa sifat serakah menjalani Tao.
Tanpa sifat serakah, kau akan mengalami kejenuhan tetapi kau akan selalu dicerahkan.

Pasal 16:

Capailah kekosongan yang hakiki,
Pertahankan kedamaian abadi.
Menyatu dengan semua mahluk,
Kulihat kembalinya,
Segala mahluk dalam ragam jenisnya,
Masing-masing kembali ke asalnya.
Kembali ke asalnya berarti damai sejahtera,
Artinya kembali kepada takdir dewata,
Kembali kepada sang takdir berarti keabadian,
Mengetahui sang Abadi berarti pencerahan.
Tidak mengenal sang Abadi menyongsong petaka.
Mengenal sang Abadi bersemi sifat mengayomi.
Sifat mengayomi semaikan keadilan budi.
Keadilan budi mengantar ke kemuliaan raja,
Kemuliaan raja semaikan kemuliaan surga,
Kemuliaan surga menghantarkan kepada Tao.
Tao menuntun ke jalan keabadian,
Walau badan mati membusuk diri,
Tetapi Tao tetaplah abadi.

Pasal 17:

Para pemimpin terbaik, tak disadari rakyat keberadaannya;
Tingkatan dibawahnya, dicintai dan dipuja rakyatnya;
Dibawahnya, ditakuti rakyatnya;
Paling rendah, dicela rakyatnya;
Siapa yang kurang bisa dipercaya, tidak akan dipercaya.
Bertindaklah dari jauh dan hargai kata-katamu.
Bereskan pekerjaan, dan biarkan orang-orang berkata,”Kami lakukan sendiri semuanya!”

Pasal 18:

Ketika jalan suci diingkari,
Muncul moralitas dan kebaikan hati.
Ketika timbul pengetahuan dan kepintaran,
Mengikuti namanya kemunafikan.
Ketika enam hubungan keluarga tak lagi serasi,
Tumbuhlah kasih ayah bunda dan anak berbakti.
Ketika negara dalam kekacauan,
Segera bermunculan para pahlawan.

Pasal 19:

Kesampingkan kekudusan dan kearifan,
Rakyat ‘kan mendapat seratus kali lipat manfaat.
Kesampingkan kebaikan dan kebajikan,
Rakyat ‘kan kembali pada kasih ayah bunda dan anak berbakti.
Buanglah akal bulus dan pamrih,
Maka tak ada lagi penyamun dan pencuri.
Tak cukuplah ketiga hal ini,
Rakyat masih perlu berbekal diri:
Tunjukkan kesederhanaanmu, peluk sifat alamimu,
Kurangi rasa egomu, batasi nafsumu.

Pasal 20:

Enyahkanlah belajar maka tiada lagi kecemasan.
Berapa beda antara ya dan tidak?
Berapa beda antara baik dan buruk?
Takutlah apa yang orang lain takuti.
Semua itu semakin membesar dan membesar tanpa batas!
Gembiralah semua orang,
di musim semi diatas paseban, seakan kenduri pesta kurban.
Diri sendiri lemah membisu, bak jabang bayi senyumpun belum mampu.
Merana tanpa rumah untuk kembali.
Melimpah-ruahlah orang lain dikata,
Awak sendiri bagai kehilangan segala.
Bak sidungu dan sitolol diri ini.
Cerah berserilah orang lain, Kusut masailah diri sendiri.
Cermat telitilah orang lain,
tak berpengharapannya diri ini.
Seperti lautlah sepintas lalu,
Mengapung sepanjang waktu.
Tujuan dikandung semua orang,
Bodoh dan rendahlah diri sendiri seorang.
Memang diri ini beda dibilang,
Aku dipelihara Bunda alam.

Pasal 21:

Inti kebajikan terbesar, hanya dari Tao dia berasal.
Tao, kabur dan samarlah dia.
Dalam kabur dan samarnya, terkandung citra didalamnya.
Dalam kabur dan samarnya, terkandung zat didalamnya.
Dalam kelembutan dan kedalamannya, daya hidup dikandungnya.
Dalam kemurnian daya hidup ini,
berisi pokok kebenaran hakiki.
Dari dulu hingga kini,
namanya tetap abadi.
Dalam meneliti segala ciptaan terjadi,
dengan jalan apa aku dapat memahami?
Dengan jalan ini.

Pasal 22:

Yang merendah akan disempurnakan,
Yang mengaku bengkok akan diluruskan,
Yang mengaku kosong akan dipenuhi,
Yang mengaku aus akan diperbarui,
Miliki sedikit, kau akan dicukupkan,
Milik berlebih akan membingungkan,
Maka Sang Budiman berpegang pada yang Satu dan jadi teladan di dunia ini.
Berseri, karena tak tonjolkan diri.
Terkemuka, karena tak benarkan diri sendiri.
Diakui, karena tak banggakan jasa pribadi.
Langgenglah posisi, karena tak merasa diri sendiri penting berarti.
Dengan sikap non kompetisi, tak ada yang akan menyaingi.
Maka kata leluhur kita, “Merendahlah dan kau akan dicerahi.” Apakah hanya kata-kata kosong tanpa isi?
Mencapai kesempurnaan sejati, manakala kembali ke yang satu ini.

Pasal 23:

Tak banyak bicara itulah yang alami,
Angin topan tak terjadi sepanjang pagi,
Hujan lebat tak berlangsung sepanjang hari,
Siapa yang membuat hal itu terjadi?
Langit dan Bumi.
Jika Langit dan Bumi tak mampu membuat sesuatu abadi,
Manusia apalagi?
Siapa yang berpegang pada Tao menjadi satu dengan Tao,
Siapa berpegang pada Te menjadi satu dengan Te,
Siapa tinggalkan walau satu diantaranya kekalahanlah bagiannya.
Jika kau menyatu dengan Tao,
Tao menyambutmu dengan suka-cita.
Jika kau menyatu dengan Te,
Te menyambutmu dengan gembira.
Jika kau menyatu dengan si pecundang, para pecundang menyambutmu dengan girang.
Siapa kurang bisa dipercaya,
Tak akan dipercaya.

Pasal 24:

Yang berjingkat tak tegak berdiri;
Yang mengangkang tak dapat berjalan,
Yang tonjolkan diri tak berseri;
Yang benarkan diri sendiri tak dapat kemasyuran,
Yang membanggakan jasanya tak peroleh pengakuan.
Yang merasa diri sendiri penting tak’kan langgenglah posisi.
Kondisi tersebut, menurut Tao, laksana ‘berlebih makan dan tindakan’.
Dunia tak tak hargai hal itu.
Maka pengikut Tao hindari selalu.

Pasal 25:

Ada sesuatu yang terbentuk dari kekacauan,
Telah ada sebelum langit dan bumi,
Diam dalam ketenangan,
Tak berubah dan mandiri,
Terus beredar tanpa henti.
Ialah ibu segala benda,
Ku tak tahu apa namanya,
Tao kusebut dia,
Jika dipaksakan memberinya nama,
“Agung”, kunamakan dia.
Karena Agungnya seperti hanya melintas ia dikata,
Seperti melintas serasa jauh ia adanya,
Sejauh dikata, akhirnya kembali padanya.
Maka agunglah Tao,
Agunglah Langit dan Bumi,
dan agunglah juga manusia,
Di jagat raya ada empat yang agung,
manusia satu diantaranya.
Manusia dibentuk bumi,
Bumi dibentuk Langit,
Langit dibentuk Tao,
Tao dibentuk oleh sifatnya sendiri.

Pasal 26:

Berat adalah akar dari ringan,
Ketenangan tuan dari ketergesaan,
Maka Sang Budiman jika bepergian sepanjang hari, tak tinggalkan jauh kereta bagasi.
Meski dikelilingi pemandangan menarik hati,
Dia tetap jaga ketenangan diri,
Bagaimana jika seorang pemimpin terlalu lemah terhadap diri sendiri?
Jika lemah, hilang pokok yang terjadi,
Jika tergesa, hilang kekuasaan tak terhindari.

Pasal 27:

Pejalan yang baik tak tinggalkan jejak perjalanan,
Pembicara yang baik tak membuat kesalahan,
Penghitung yang baik tak perlukan sempoa,
Penutup pintu yang baik tak perlu palang dan grendel-kunci
dan yang ditutupnya tak dapat dibuka,
Pengikat yang baik tak perlukan tali dan yang diikatnya tak dapat dibuka,
Maka Sang Budiman selalu menolong orang dan tak seorangpun diabaikannya,
Selalu menolong sesama mahluk tanpa ada yang disia-siakannya,
‘Mengikuti jalan yang bijak’ inilah yang dikata,
Orang baik guru orang yang tidak baik,
Orang yang tidak baik merupakan bahan bagi orang baik,
Siapa yang tak menghargai gurunya,
Dan menyia-nyiakan bahannya,
Walau pandai, sesatlah dia.
Inilah rahasia maha utama.

Pasal 28:

Mengenali kejantanan,
Dan tetap kau jaga peran sifat lembut kewanitaan,
Kau ‘kan menjadi jeram dunia.
Dengan menjadi jeram dunia,
“Te” yang abadi tak akan pernah pergi,
Kau akan kembali kedalam kemurnian seorang bayi,
Jika kau kenali kemurnianmu,
Dan tetap waspada akan kelemahanmu,
Kau akan jadi teladan dunia.
Dengan menjadi teladan dunia,
“Te” yang abadi tak pernah sesatkanmu,
Kau akan kembali ke alam asali nan abadi,
Jika kau kenali kemuliaanmu,
Dan tetap waspada akan sifat aibmu,
Kau akan jadi lembah dunia.
Dengan menjadi lembah dunia,
“Te” yang abadi akan disempurnakan.
Dan kembali menjadi laksana balok kayu kau diumpamakan.
Balok kayu diolah sempurnakan menjadi alat-alat.
Yang menghantarkan Sang Budiman menjadi pejabat,
Maka memerintah yang baik tidak dengan memecah-belah rakyat.

Pasal 29:

Ada yang ingin menguasai dunia
dan mengendalikan sesuai keinginannya,
Saya kira tak’ kan berhasillah mereka.
Karena dunia adalah sesucinya bejana,
Tak tercipta untuk dibentuk manusia,
Ia yang membuat akan merusakkan,
Ia yang memiliki akan kehilangan,
Maka, inilah Hukum Alam yang abadi,
Beberapa memimpin, yang lain mengikuti,
Beberapa meniupkan panas, yang lain dingin,
Beberapa penuh, yang lain tak berisi.
Maka yang ekstrem, boros, dan berlebihan Sang Budiman hindari.

Pasal 30:

Mereka yang menggunakan Tao untuk membantu penguasa,
Janganlah menaklukkan dunia dengan kekuatan senjata,
Karena senjata akan memakan tuannya,
Ditempat pasukan ditempatkan,
Onak berduri akan dihasilkan,
Peperangan besar diikuti tahun-tahun penuh penderitaan.
Yang bijak, begitu berhasil, berhenti segera,
Dia tak berani gunakan kekuatan semata,
Dia berhasil tapi tak banggakan keberhasilannya,
Dia berhasil tapi tak banggakan pahalanya,
Dia berhasil tapi tak menyombongkan dirinya,
Dia berhasil tapi hanya karena tuntutan tugas semata,
Dia berhasil tanpa unjuk kebengisan dan kekuasaannya,
Ketika sesuatu mencapai puncaknya segera menurun sesudahnya,
Ini bukanlah Tao sesungguhnya,
yang bukan Tao cepat berakhir riwayatnya.

Pasal 31:

Betapa indahnya senjata, alat pembawa nasib buruk ia semata,
Semua mahluk membencinya,
Maka mereka yang memiliki Tao tidak menggunakannya,
Yang bijak, dalam keseharian, menghargai kiri sebagai tempat utama,
Saat perang, kanan tempatnya.
Senjata alat pembawa petaka, Bukan alat sang bijaksana.
Gunakan mereka jika pilihan lain tak ada,
Baiklah tetap tenang waspada.
Dalam kemenangan, janganlah gembira,
Karena gembira cermin kesukaan membantai sesama,
Jika gemar membunuh, takkan dicapai hidup yang penuh.
Dalam suasana bahagia, sisi kiri tempat utama.
Dalam suasana duka, sisi kanan tempatnya.
Dalam militer, wakil komandan disisi kiri posisinya,
Komandan tertinggi di sisi kanan tempatnya.
Mereka mengatur posisinya seakan menghadiri upacara bela sungkawa.
Ketika banyak orang binasa,
Haruslah mendalam orang berduka-nestapa,
Karena itu kemenangan dalam perang rayakanlah sebagai upacara duka cita.

Pasal 32:

Tao abadi dan tak bernama.
Meski nampak kecil dalam kesederhanaan alaminya,
Tak ada yang dapat memperhamba,
Jika para raja dan pangeran berpegang padanya,
Dunia akan tunduk dan setia.
Langit dan bumi berpadu,
Teteskan embun semanis madu,
Dan rakyat dalam kerukunan,
Walau tanpa petunjuk arahan.
Ketika sistem dibentuk, nama dan pangkat diciptakan.
Segera setelah nama dan kedudukan didapat,
Harus tahu kapan berhenti disaat yang tepat.
Dengan tahu kapan harus berhenti, kau akan selamat.
Keberadaan Tao didunia ini laksana aliran sungai bengawan menuju ke laut bahari.

Pasal 33:

Dikata pandai jika memahami orang lain,
Dikata bijak jika memahami diri sendiri.
Disebut berkuasa jika menaklukkan orang lain,
Disebut perkasa menaklukkan diri sendiri.
Tahu kapan merasa cukup sungguhlah kaya.
Yang gigih memiliki ketetapan hati,
Yang menjaga posisinya yang lama bertahan,
Mati dan tak dilupakan, sungguhlah hidup abadi.

Pasal 34:

Tao yang agung mengalir kemana-mana,
Baik disebelah kiri atau kanan ia ada.
Hidup semua benda tergantung padanya dan dia tak menolaknya.
Dia laksanakan tugasnya dengan tak mengejar nama.
Memelihara semua mahluk dengan tak bertindak sebagai tuannya.
Selalu tanpa keinginan, maka ia bisa dinamakan ‘Kecil’.
Semua ciptaan berpulang kepadanya, dan dia tak bertindak sebagai tuannya.
Ia bisa dinamakan ‘Besar’.
Karena tidak menonjolkan keagungannya,
maka ia menjadi besar dan agung yang sesungguhnya.

Pasal 35:

Berpegang kuatlah pada citra agung (dari Tao),
dan dunia akan mengikutimu,
Mengikutimu tanpa kesulitan,
aman dan damai.dalam kebahagiaan
Musik dan makanan lezat,
membuat pelalu-lalang berhenti untuk menikmati.
Ketika dengan mulut Tao diucapkan ,
tanpa rasa dan hampar ia dirasakan.
Carilah, ia tak terlihat,
Dengarlah, ia tak terdengar,
Gunakanlah, ia tak ada habisnya.

Pasal 36:

Tao yang kekal bertindak tanpa tindakan,
tetapi tak ada sesuatupun yang tak dikerjakan.
Jika para raja dan pangeran dapat berpegang padanya,
Semua benda akan bertransformasi dengan sendirinya.
Jika setelah tranformasi, timbul nafsu keinginan,
Dengan kesederhanaan alami tanpa nama akan kuatasinya .
Kesederhanaan alami tanpa nama berarti bebas nafsu keinginan.
Dengan bebas nafsu keinginan buahkan damai kesentosaan,
Maka ketertiban dan kedamaian langit bumi akan terwujudkan.

 

 

Antara Brahma dan Orang Tua

by Santacitto Novice

Mengapa orangtua harus dihormati layaknya seorang Brahma oleh anaknya? Karena seperti halnya seorang Brahma memiliki empat kwalitas batin yakni metta (cinta kasih), karuna (kasih sayang), mudita (simpati) dan upekkha (keseimbangan batin), demikian pula, orangtua telah merawat kita melalui empat kwalitas batin tersebut.

Metta - ketika seorang anak masih dalam kandungan, dengan pikiran cinta kasih, orangtua mengharapkan anaknya terlahir selamat tanpa cacat sedikit pun.

Karuna - ketika seorang anak masih bayi, dengan perasaan kasih sayang ingin menghilangkan penderitaan anaknya, orangtua bahkan akan bangun di tengah malam mendengar tangisan anaknya.

Mudita - ketika seorang anak berlari tertawa tersenyum gembira, orangtua tidak akan menaruh iri, namun akan turut bahagia dengan kegembiraan anaknya.

Upekkha - ketika seorang anak menikah dan harus pergi ke rumah lain untuk membina rumah-tangganya sendiri, meskipun di sana muncul kemelekatan yang besar, orangtua mengembangkan keseimbangan batin untuk tidak bersedih ketika ditinggal anak tercintanya.

(Kitab Komentar Anguttaranikāya, Vol. II, hal. 204).

About

Pengikut