“Yang Mulia Nagasena, apakah
sifat-sifat yang harus dimiliki seorang bhikkhu agar dapat mencapai tingkat
Arahat?”
1. Keledai
“Seperti halnya, O baginda, seekor keledai, tidak akan beristirahat lama di
mana pun ia berbaring; demikian juga seorang bhikkhu yang berniat mencapai
tingkat Arahat tidak akan beristirahat lama.”
2. Ayam
“Seperti halnya ayam bertengger pada saat yang tepat; demikian juga seorang
bhikkhu seharusnya segera melaksanakan tugas-tugasnya2 setelah
mengumpulkan dana makanan dan pergi ketempat yang sunyi untuk bermeditasi.
“Seperti halnya seekor ayam bangun pagi; demikian juga seorang bhikkhu
seharusnya bangun pagi.
“Seperti halnya seekor ayam terus-menerus mengais tanah mencari makan; demikian
juga seorang bhikkhu seharusnya terus-menerus merenungkan makanan yang
dimakannya dengan berpikir: ‘Saya makan bukan untuk kenikmatan dan bukan untuk
penampilan, melainkan hanya untuk menepis rasa sakit karena lapar dan agar saya
dapat menjalankan kehidupan suci. Dengan demikian saya akan mengakhiri
penderitaan’.
“Seperti halnya seekor ayam meskipun mempunyai mata namun buta di waktu malam;
demikian juga seorang bhikkhu seolah-olah buta ketika sedang bermeditasi, tidak
memperhatikan objek-objek indera yang mungkin akan mengganggu konsentrasinya.
“Dan seperti halnya seekor ayam meskipun diusir dengan tongkat dan batu tidak
meninggalkan tempatnya bertengger; demikian juga seorang bhikkhu tidak
meninggalkan kewaspadaannya, tidak peduli apakah dia sedang sibuk membuat
jubah, membangun, mengajar, mempelajari kitab suci, atau melakukan apa pun.
4. Harimau Kumbang Betina
“Seperti halnya seekor harimau kumbang betina hanya hamil sekali dan tidak akan
berpaling lagi pada yang jantan; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu.
Karena melihat penderitaan yang menjadi sifat kelahiran ulang, seorang bhikkhu
memutuskan untuk tidak memasuki kelahiran yang mana pun di masa mendatang.
Demikian ini telah dikatakan oleh Sang Buddha, O baginda, di dalam Dhaniya
Sutta di Sutta Nipata:
Setelah mematahkan belenggu-belenggu
seperti banteng, dan seperti gajah yang telah mematahkan tanaman-tanaman
menjalar, maka tidak akan ada lagi kelahiran bagiku. Jadi, curahkan hujan, O
awan, jika engkau mau!’3
7. Pohon Bambu
“Seperti halnya pohon bambu berayun ke mana angin bertiup; demikian juga
seharusnya seorang bhikkhu, fleksibel dan menyesuaikan diri pada ajaran.
10. Monyet
“Seperti halnya seekor monyet tinggal di pohon besar yang rindang dan tertutup
rapat oleh dahan-dahan; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya tinggal dengan
guru yang terpelajar, yang patut dihormati dan mampu membimbingnya.
12. Teratai
“Seperti halnya teratai tidak ternoda oleh air di mana ia dilahirkan dan
tumbuh; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tidak ternoda oleh dukungan,
persembahan dan penghormatan umatnya.
“Seperti halnya teratai terangkat di atas air; demikian juga seharusnya seorang
bhikkhu berada jauh di atas keduniawian.
“Dan seperti halnya teratai bergetar terkena hembusan angin sepoi; demikian
juga seharusnya seorang bhikkhu gemetar walaupun hanya berpikir ingin melakukan
kejahatan, karena melihat adanya bahaya di dalam kesalahan yang sekecil apa
pun.
20. Samudera
“Seperti halnya samudera melemparkan mayat ke pantai; demikian juga seorang
bhikkhu seharusnya menyingkirkan kekotoran batin dari pikirannya.
“Seperti halnya samudera meskipun menyimpan banyak kekayaan tidak akan
mengangkatnya ke atas; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya memiliki
permata pencapaian tetapi tidak memamerkannya.
“Seperti halnya samudera berhubungan dengan makhluk-makhluk yang besar;
demikian juga seharusnya seorang bhikkhu berhubungan dengan sesama siswa yang
hanya mempunyai sedikit keinginan, yang berbudi luhur, terpelajar dan
bijaksana.
“Seperti halnya samudera tidak pernah membanjiri pantainya; demikian juga
seharusnya seorang bhikkhu tidak pernah melanggar moralitas sekalipun demi
kehidupannya.
“Dan seperti halnya samudera tidak meluap meskipun semua sungai mengalir ke
dalamnya; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya tidak pernah bosan
mendengarkan ajaran dan instruksi Dhamma, Vinaya dan Abhidhamma.
21. Bumi
“Seperti halnya bumi besar ini tidak tergoyahkan oleh benda-benda -yang baik
maupun buruk- yang dilemparkan kepadanya; demikian juga seharusnya seorang
bhikkhu tetap tidak tergoyahkan bila dipuji atau dicaci, didukung atau
diabaikan.
“Seperti halnya bumi besar ini tidak berhias tetapi mempunyai aroma sendiri;
demikian juga seorang bhikkhu tidak berhias dengan wangi-wangian tetapi
memiliki keharuman moralitasnya.
“Seperti halnya bumi besar ini tidak kenal lelah walaupun ia menanggung banyak
hal; demikian juga seorang bhikkhu tidak kenal lelah memberikan petunjuk,
peringatan dan dorongan. “Dan seperti halnya bumi besar ini tidak mempunyai
rasa benci atau rasa suka; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tidak
mempunyai kedengkian atau kesukaan.
22. Air
“Seperti halnya air secara alami tetap tenang; demikian juga seorang bhikkhu
memiliki sifat tidak munafik, tidak suka berkeluh kesah, tidak berbicara dengan
maksud untuk memperoleh keuntungan, tidak berperilaku yang tercela, tetap
tenang tak terganggu dan murni secara alami.
“Seperti halnya air selalu menyegarkan; demikian juga seharusnya seorang
bhikkhu penuh kasih sayang, selalu mencari yang baik dan bermanfaat bagi
semuanya.
“Dan seperti halnya air tidak pernah mencelakakan siapa pun; demikian juga
seorang bhikkhu yang sungguh-sungguh berusaha, tidak pernah melakukan kesalahan
apa pun yang menyebabkan pertengkaran, atau perselisihan, atau kemarahan, atau
ketidakpuasan. Demikian ini telah dikatakan oleh Sang Buddha dalam Kanha
Jataka:
‘O Sakka, raja seluruh dunia, sebuah
pilihan kau nyatakan:
Tidak seharusnya ada makhluk yang dilukai untukku,
O Sakka, di mana pun, Tidak di tubuh tidak pula di pikiran:
ini, Sakka, adalah harapanku.’4
27. Bulan
“Seperti halnya bulan berubah semakin besar dari hari ke hari sampai purnama;
demikian juga seorang bhikkhu seharusnya meningkatkan sifat-sifatnya yang baik
dari hari ke hari.
30. Raja Semesta
“Seperti halnya raja semesta disenangi rakyatnya karena empat landasan
ketenaran [kemurahan hati, keramah-tamahan, keadilan dan sifatnya yang tidak memihak];
demikian juga seharusnya bhikkhu itu disenangi oleh para bhikkhu dan umat awam.
“Seperti halnya raja semesta tidak mengizinkan para perampok berdiam di
daerahnya; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya tidak mengizinkan pikiran
yang jahat, yang bernafsu atau yang kejam berdiam di dalam pikirannya.
“Dan seperti halnya raja semesta berkelana ke seluruh dunia memeriksa yang baik
dan jahat; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya memeriksa dirinya dengan
seksama sehubungan dengan buah-pikirnya, ucapannya, dan perbuatannya.
40. Gajah
“Seperti halnya seekor gajah memutar seluruh tubuh ketika memandang sekeliling;
demikian juga seorang bhikkhu seharusnya memutar tubuh ketika memandang
sekeliling, tidak memandang sekilas ke sana sini melainkan mengendalikan
pandangannya dengan baik.
“Seperti halnya seekor gajah mengangkat kakinya dan melangkah dengan hati-hati;
demikian juga seorang bhikkhu seharusnya selalu waspada dan sepenuhnya
menyadari gerak jalannya.
46. Bangau India
“Seperti halnya seekor bangau India memperingatkan orang-orang tentang nasib
mereka di masa mendatang dengan suaranya; demikian juga seorang bhikkhu
seharusnya memperingatkan orang-orang tentang nasib mereka di masa mendatang
dengan mengajarkan Dhamma.
47. Kelelawar
“Seperti halnya seekor kelelawar akan segera meninggalkan rumah orang yang
terkadang dimasukinya; demikian juga seorang bhikkhu akan segera meninggalkan
rumah orang yang memberinya dana makanan.
“Dan seperti halnya seekor kelelawar tidak merugikan bila mengunjungi rumah
seseorang; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tidak merugikan bila
mengunjungi rumah seseorang karena mudah dilayani dan memikirkan kesejahteraan
mereka.
48. Lintah
“Seperti halnya seekor lintah yang menghisap sepuas-puasnya sebelum melepas;
demikian juga seharusnya seorang bhikkhu kukuh memegang objek meditasinya dan
minum sepuas-puasnya nektar kebebasan yang lezat.
50. Ular Batu
“Seperti halnya seekor ular batu dapat bertahan hidup selama beberapa hari
tanpa makan; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya dapat terus bertahan
meskipun dia hanya menerima sedikit makanan. Demikian ini telah dikatakan oleh
Yang Mulia Sariputta:
‘Tak peduli makanan basah atau
kering yang dia makan, tidak pernah dia membiarkan dirinya kekenyangan. Petapa
yang baik meninggalkan keduniawian di dalam kekosongan, dan tetap makan
secukupnya saja. Jika dia hanya mendapat empat atau lima suap, biarlah dia
minum air, karena hal itu bukan masalah bagi orang yang pikirannya terpusat
untuk menuju ke tingkat Arahat.’5
60. Tukang Kayu
“Seperti halnya seorang tukang kayu membuang bagian kayu yang lunak dan hanya
menggunakan bagian kerasnya saja; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya
membuang pandangan-pandangan salah seperti misalnya keabadian, kenihilan, jiwa
adalah tubuh, jiwa adalah satu hal sedangkan tubuh adalah hal lain, semua
ajaran sama baiknya, yang tidak terkondisi adalah tidak mungkin, tindakan
manusia tidak ada gunanya, tidak ada kehidupan suci, ketika satu makhluk mati
maka lahirlah satu makhluk baru, ada hal-hal yang terkondisi secara abadi ada,
seseorang yang bertindak akan langsung mengalami buah perbuatannya, seseorang
bertindak namun orang lainlah yang akan menerima akibatnya, serta segala macam
pandangan salah lain mengenai akibat karma (niat) dan kiriya (perbuatan).
Setelah membuang berbagai jalan seperti itu, dia harus memahami ide tentang
kekosongan yang merupakan sifat sejati dari hal-hal yang terkondisi.6
61. Pot air
“Seperti halnya pot air yang penuh tidak menimbulkan suara; demikian juga
seharusnya seorang bhikkhu tidak banyak mulut meskipun banyak yang dia ketahui.
Demikian ini telah dikatakan oleh Sang Buddha:
‘Dengarkanlah suara air. Dengarkan
air yang mengalir melalui celah jurang dan bebatuan. Sungai yang kecillah yang
menimbulkan suara keras. Sungai yang besar mengalir tanpa suara.
Yang kosong bersuara sedangkan yang
penuh tenang. Ketololan seperti pot yang setengah berisi; orang bijaksana
bagaikan danau yang penuh air.’7
Pada akhir perdebatan antara bhikkhu
thera dan raja ini, bumi yang besar ini bergetar enam kali, kilat menyambar di
langit dan para dewa menaburkan bunga dari surga. Milinda dipenuhi oleh
sukacita di dalam hatinya dan semua kesombongan lenyap dari dalam dirinya. Dia
tidak lagi meragukan Tiga Permata dan tidak lagi keras kepala. Bagaikan seekor
ular kobra yang tidak lagi memiliki taring, raja kemudian berkata, “Luar biasa,
Yang Mulia Nagasena! Teka-teki, yang layaknya dipecahkan oleh seorang Buddha,
telah Yang Mulia pecahkan. Tidak ada seorang pun seperti Anda di antara
pengikut Sang Buddha, kecuali Yang Mulia Sariputta. Maafkanlah segala
kesalahanku, Nagasena. Semoga Yang Mulia sudi menerimaku sebagai pengikut,
sebagai orang yang telah menemukan perlindungan selama hidupnya.”
Dan raja Milinda, beserta para prajuritnya, menopang bhikkhu thera itu beserta
sejumlah besar pengikutnya. Raja membangun tempat tinggal yang diberi nama
Vihara Milinda. Kemudian dia menyerahkan tahta kerajaan kepada putranya.
Setelah meninggalkan kehidupan berumah tangga, Milinda mengembangkan pandangan
terang dan mencapai tingkat Arahat.