Selasa, 14 Mei 2013

Perumpamaan meditasi pernafasan

              - . - . - . - . - . - . - . - . - . - . -

Pemusatan pikiran yang tekun pada masuk dan keluarnya

nafas, bila dipupuk dan dikembangkan, adalah suatu

kedamaian dan suatu cara hidup yang menyenangkan.

 

Tidak hanya itu, juga akan menghalau pikiran-pikiran

jahat tak terlatih yang telah timbul dan membuatnya

hilang seketika.

 

Bagaikan, ketika bulan terakhir dari musim panas, debu dan

kotoran beterbangan, lalu hujan deras yang turun tiba-tiba

menenangkan dan menurunkannya ke bumi seketika.

              - . - . - . - . - . - . - . - . - . - . –

Sumber: Meditasi Pernafasan Anapanassati, oleh Kasapa Thera

Analogy of the House With East Window

The Buddha asks:
"If there is a house with windows facing the east, when the sun rises and sunlight enters by way of the window, where does it land?"

... The student answers:
"The sunlight will land on the west wall, Lord."

The Buddha asks:
"And if there is no west wall, where does the sunlight land?"

The student answers:
"The sunlight will land on the ground, Lord."

The Buddha asks:
"And if there is no ground, where does the sunlight land?"

The student answers:
"The sunlight will land on water, Lord."

The Buddha asks:
"And if there is no water, where does the sunlight land?"

The student answers:
"The sunlight does not land, Lord."

Finally, the Buddha sums up the analogy (paraphrased):

“In the same way, where there is no craving for the senses, then consciousness does not land there or grow.

Where consciousness does not land or grow, name-&-form (mind and matter) does not alight. Where name-&-form does not alight, there is no formation.

Where there is no formation, there is no production of renewed becoming. Where there is no production of renewed becoming, there is no future birth, aging, disease and death.

Then, this has no sorrow, affliction or despair.”

Lima Jari Tangan

LIMA JARI TANGAN

Lima jari tangan mengadakan pertemuan dengan tujuan memutuskan siapakah
sesungguhnya di antara mereka yang paling unggul.

Pertama-tama, jempol tangan dengan bangganya berkata: "Asalkan saya mengacungkan
jempol, berarti menandakan bahwa sayalah yang paling unggul!"

Jari telunjuk dengan gusarnya membantah dan berkata: "Setiap kali ingin makan, selalu
menggunakan telunjuk untuk mencolek dan mencicipinya. Tanpa dapat mencicipi makanan
dan makan, semuanya tidak bisa hidup. Oleh karena itu, sayalah yang paling unggul."

Jari tengah juga tidak mau kalah dan berkata: "Diantara kita, sudah pasti sayalah yang paling
tinggi dan panjang. Oleh karena itu, anda semua harus mendengarkan perintah saya!"

Jari manis dengan tenangnya berkata: "Setiap kali upacara pernikahan, cincin kawin selalu
dikenakan pada saya. Demikian pula segala macam cincin perhiasan yang bagus dan mahal
selalu dikenakan pada saya! Bagaimana anda dapat menyamakan diri dengan saya?"

Keempat jari masing-masing membanggakan diri, namun hanya jari kelingking yang berdiam
diri. Keempat jari tersebut kemudian dengan perasaan heran berkata: "Kenapa kamu berdiam
diri?"

Jari kelingking dengan rendah hatinya berkata: "Saya adalah yang paling kecil dan
paling akhir, bagaimana mungkin saya dapat menyamakan diri dengan anda sekalian?"

Pada waktu keempat jari merasa senang sekali mendengar ucapan tersebut, jari kelingking
melanjutkan: "Tetapi pada waktu memberikan salam dan hormat (anjali - bersikap hormat
dengan merangkapkan kedua tangan di dada) kepada Sang Buddha dan orang bijaksana
lainnya; sayalah yang paling depan dan dekat dengan mereka!"

Di dalam masyarakat kita sering menjumpai orang-orang yang menganggap dirinya paling
unggul. Orang yang benar-benar unggul bukanlah diukur dengan kedudukan, nama besar
dan lain sebagainya. Orang yang benar-benar unggul adalah orang yang dapat menghormati
orang lain dan dapat mengerti keadaan orang lain.

Bila seseorang dapat menerima dan memaklumi keadaan suatu keluarga, maka dialah yang
patut disebut sebagai kepala keluarga. Demikian pula bila seseorang dapat menerima
masyarakat, jagat raya, maka hatinya akan semakin lapang dan dapat bersatu dengan
kebenaran Dharma, dia adalah seorang pemimpin besar.

Di dunia ini, sesuatu yang terhormat dan agung haruslah tumbuh dari ketulusan hati!


Sumber : Buku I Zhe Lu Hwa Liang Yang Ching
Oleh : Maha Bhiksu Shing Yun
Penyadur : Tan Chau Ming

aritmatika

Berapakah jumlah 1+2+3+...+100?

Jawab:

1     +    2   +   3    +...+   98  +  99  + 100 = x

100 +  99  +  98   +...+    3   +  2    +    1   = x +

101 + 101 + 101 + ...+ 101 + 101 + 101 =2x

(101x100) = 2x

10.100 = 2x

x = 10.100/2 = 5.050

Milinda Panha--Bab 17 Perumpamaan

“Yang Mulia Nagasena, apakah sifat-sifat yang harus dimiliki seorang bhikkhu agar dapat mencapai tingkat Arahat?”

1. Keledai
“Seperti halnya, O baginda, seekor keledai, tidak akan beristirahat lama di mana pun ia berbaring; demikian juga seorang bhikkhu yang berniat mencapai tingkat Arahat tidak akan beristirahat lama.”

2. Ayam
“Seperti halnya ayam bertengger pada saat yang tepat; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya segera melaksanakan tugas-tugasnya2 setelah mengumpulkan dana makanan dan pergi ketempat yang sunyi untuk bermeditasi.
“Seperti halnya seekor ayam bangun pagi; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya bangun pagi.
“Seperti halnya seekor ayam terus-menerus mengais tanah mencari makan; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya terus-menerus merenungkan makanan yang dimakannya dengan berpikir: ‘Saya makan bukan untuk kenikmatan dan bukan untuk penampilan, melainkan hanya untuk menepis rasa sakit karena lapar dan agar saya dapat menjalankan kehidupan suci. Dengan demikian saya akan mengakhiri penderitaan’.
“Seperti halnya seekor ayam meskipun mempunyai mata namun buta di waktu malam; demikian juga seorang bhikkhu seolah-olah buta ketika sedang bermeditasi, tidak memperhatikan objek-objek indera yang mungkin akan mengganggu konsentrasinya.
“Dan seperti halnya seekor ayam meskipun diusir dengan tongkat dan batu tidak meninggalkan tempatnya bertengger; demikian juga seorang bhikkhu tidak meninggalkan kewaspadaannya, tidak peduli apakah dia sedang sibuk membuat jubah, membangun, mengajar, mempelajari kitab suci, atau melakukan apa pun.

4. Harimau Kumbang Betina
“Seperti halnya seekor harimau kumbang betina hanya hamil sekali dan tidak akan berpaling lagi pada yang jantan; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu. Karena melihat penderitaan yang menjadi sifat kelahiran ulang, seorang bhikkhu memutuskan untuk tidak memasuki kelahiran yang mana pun di masa mendatang. Demikian ini telah dikatakan oleh Sang Buddha, O baginda, di dalam Dhaniya Sutta di Sutta Nipata:

Setelah mematahkan belenggu-belenggu seperti banteng, dan seperti gajah yang telah mematahkan tanaman-tanaman menjalar, maka tidak akan ada lagi kelahiran bagiku. Jadi, curahkan hujan, O awan, jika engkau mau!’3

7. Pohon Bambu
“Seperti halnya pohon bambu berayun ke mana angin bertiup; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu, fleksibel dan menyesuaikan diri pada ajaran.

10. Monyet
“Seperti halnya seekor monyet tinggal di pohon besar yang rindang dan tertutup rapat oleh dahan-dahan; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya tinggal dengan guru yang terpelajar, yang patut dihormati dan mampu membimbingnya.

12. Teratai
“Seperti halnya teratai tidak ternoda oleh air di mana ia dilahirkan dan tumbuh; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tidak ternoda oleh dukungan, persembahan dan penghormatan umatnya.
“Seperti halnya teratai terangkat di atas air; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu berada jauh di atas keduniawian.
“Dan seperti halnya teratai bergetar terkena hembusan angin sepoi; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu gemetar walaupun hanya berpikir ingin melakukan kejahatan, karena melihat adanya bahaya di dalam kesalahan yang sekecil apa pun.

20. Samudera
“Seperti halnya samudera melemparkan mayat ke pantai; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya menyingkirkan kekotoran batin dari pikirannya.
“Seperti halnya samudera meskipun menyimpan banyak kekayaan tidak akan mengangkatnya ke atas; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya memiliki permata pencapaian tetapi tidak memamerkannya.
“Seperti halnya samudera berhubungan dengan makhluk-makhluk yang besar; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu berhubungan dengan sesama siswa yang hanya mempunyai sedikit keinginan, yang berbudi luhur, terpelajar dan bijaksana.
“Seperti halnya samudera tidak pernah membanjiri pantainya; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tidak pernah melanggar moralitas sekalipun demi kehidupannya.
“Dan seperti halnya samudera tidak meluap meskipun semua sungai mengalir ke dalamnya; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya tidak pernah bosan mendengarkan ajaran dan instruksi Dhamma, Vinaya dan Abhidhamma.

21. Bumi
“Seperti halnya bumi besar ini tidak tergoyahkan oleh benda-benda -yang baik maupun buruk- yang dilemparkan kepadanya; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tetap tidak tergoyahkan bila dipuji atau dicaci, didukung atau diabaikan.
“Seperti halnya bumi besar ini tidak berhias tetapi mempunyai aroma sendiri; demikian juga seorang bhikkhu tidak berhias dengan wangi-wangian tetapi memiliki keharuman moralitasnya.
“Seperti halnya bumi besar ini tidak kenal lelah walaupun ia menanggung banyak hal; demikian juga seorang bhikkhu tidak kenal lelah memberikan petunjuk, peringatan dan dorongan. “Dan seperti halnya bumi besar ini tidak mempunyai rasa benci atau rasa suka; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tidak mempunyai kedengkian atau kesukaan.

22. Air
“Seperti halnya air secara alami tetap tenang; demikian juga seorang bhikkhu memiliki sifat tidak munafik, tidak suka berkeluh kesah, tidak berbicara dengan maksud untuk memperoleh keuntungan, tidak berperilaku yang tercela, tetap tenang tak terganggu dan murni secara alami.
“Seperti halnya air selalu menyegarkan; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu penuh kasih sayang, selalu mencari yang baik dan bermanfaat bagi semuanya.
“Dan seperti halnya air tidak pernah mencelakakan siapa pun; demikian juga seorang bhikkhu yang sungguh-sungguh berusaha, tidak pernah melakukan kesalahan apa pun yang menyebabkan pertengkaran, atau perselisihan, atau kemarahan, atau ketidakpuasan. Demikian ini telah dikatakan oleh Sang Buddha dalam Kanha Jataka:

‘O Sakka, raja seluruh dunia, sebuah pilihan kau nyatakan:
Tidak seharusnya ada makhluk yang dilukai untukku,
O Sakka, di mana pun, Tidak di tubuh tidak pula di pikiran:
ini, Sakka, adalah harapanku.’4

27. Bulan
“Seperti halnya bulan berubah semakin besar dari hari ke hari sampai purnama; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya meningkatkan sifat-sifatnya yang baik dari hari ke hari.

30. Raja Semesta
“Seperti halnya raja semesta disenangi rakyatnya karena empat landasan ketenaran [kemurahan hati, keramah-tamahan, keadilan dan sifatnya yang tidak memihak]; demikian juga seharusnya bhikkhu itu disenangi oleh para bhikkhu dan umat awam.
“Seperti halnya raja semesta tidak mengizinkan para perampok berdiam di daerahnya; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya tidak mengizinkan pikiran yang jahat, yang bernafsu atau yang kejam berdiam di dalam pikirannya.
“Dan seperti halnya raja semesta berkelana ke seluruh dunia memeriksa yang baik dan jahat; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya memeriksa dirinya dengan seksama sehubungan dengan buah-pikirnya, ucapannya, dan perbuatannya.

40. Gajah
“Seperti halnya seekor gajah memutar seluruh tubuh ketika memandang sekeliling; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya memutar tubuh ketika memandang sekeliling, tidak memandang sekilas ke sana sini melainkan mengendalikan pandangannya dengan baik.
“Seperti halnya seekor gajah mengangkat kakinya dan melangkah dengan hati-hati; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya selalu waspada dan sepenuhnya menyadari gerak jalannya.

46. Bangau India
“Seperti halnya seekor bangau India memperingatkan orang-orang tentang nasib mereka di masa mendatang dengan suaranya; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya memperingatkan orang-orang tentang nasib mereka di masa mendatang dengan mengajarkan Dhamma.

47. Kelelawar
“Seperti halnya seekor kelelawar akan segera meninggalkan rumah orang yang terkadang dimasukinya; demikian juga seorang bhikkhu akan segera meninggalkan rumah orang yang memberinya dana makanan.
“Dan seperti halnya seekor kelelawar tidak merugikan bila mengunjungi rumah seseorang; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tidak merugikan bila mengunjungi rumah seseorang karena mudah dilayani dan memikirkan kesejahteraan mereka.

48. Lintah
“Seperti halnya seekor lintah yang menghisap sepuas-puasnya sebelum melepas; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu kukuh memegang objek meditasinya dan minum sepuas-puasnya nektar kebebasan yang lezat.

50. Ular Batu
“Seperti halnya seekor ular batu dapat bertahan hidup selama beberapa hari tanpa makan; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya dapat terus bertahan meskipun dia hanya menerima sedikit makanan. Demikian ini telah dikatakan oleh Yang Mulia Sariputta:

‘Tak peduli makanan basah atau kering yang dia makan, tidak pernah dia membiarkan dirinya kekenyangan. Petapa yang baik meninggalkan keduniawian di dalam kekosongan, dan tetap makan secukupnya saja. Jika dia hanya mendapat empat atau lima suap, biarlah dia minum air, karena hal itu bukan masalah bagi orang yang pikirannya terpusat untuk menuju ke tingkat Arahat.’5

60. Tukang Kayu
“Seperti halnya seorang tukang kayu membuang bagian kayu yang lunak dan hanya menggunakan bagian kerasnya saja; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya membuang pandangan-pandangan salah seperti misalnya keabadian, kenihilan, jiwa adalah tubuh, jiwa adalah satu hal sedangkan tubuh adalah hal lain, semua ajaran sama baiknya, yang tidak terkondisi adalah tidak mungkin, tindakan manusia tidak ada gunanya, tidak ada kehidupan suci, ketika satu makhluk mati maka lahirlah satu makhluk baru, ada hal-hal yang terkondisi secara abadi ada, seseorang yang bertindak akan langsung mengalami buah perbuatannya, seseorang bertindak namun orang lainlah yang akan menerima akibatnya, serta segala macam pandangan salah lain mengenai akibat karma (niat) dan kiriya (perbuatan). Setelah membuang berbagai jalan seperti itu, dia harus memahami ide tentang kekosongan yang merupakan sifat sejati dari hal-hal yang terkondisi.6

61. Pot air
“Seperti halnya pot air yang penuh tidak menimbulkan suara; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tidak banyak mulut meskipun banyak yang dia ketahui. Demikian ini telah dikatakan oleh Sang Buddha:

‘Dengarkanlah suara air. Dengarkan air yang mengalir melalui celah jurang dan bebatuan. Sungai yang kecillah yang menimbulkan suara keras. Sungai yang besar mengalir tanpa suara.

Yang kosong bersuara sedangkan yang penuh tenang. Ketololan seperti pot yang setengah berisi; orang bijaksana bagaikan danau yang penuh air.’7

Pada akhir perdebatan antara bhikkhu thera dan raja ini, bumi yang besar ini bergetar enam kali, kilat menyambar di langit dan para dewa menaburkan bunga dari surga. Milinda dipenuhi oleh sukacita di dalam hatinya dan semua kesombongan lenyap dari dalam dirinya. Dia tidak lagi meragukan Tiga Permata dan tidak lagi keras kepala. Bagaikan seekor ular kobra yang tidak lagi memiliki taring, raja kemudian berkata, “Luar biasa, Yang Mulia Nagasena! Teka-teki, yang layaknya dipecahkan oleh seorang Buddha, telah Yang Mulia pecahkan. Tidak ada seorang pun seperti Anda di antara pengikut Sang Buddha, kecuali Yang Mulia Sariputta. Maafkanlah segala kesalahanku, Nagasena. Semoga Yang Mulia sudi menerimaku sebagai pengikut, sebagai orang yang telah menemukan perlindungan selama hidupnya.”
Dan raja Milinda, beserta para prajuritnya, menopang bhikkhu thera itu beserta sejumlah besar pengikutnya. Raja membangun tempat tinggal yang diberi nama Vihara Milinda. Kemudian dia menyerahkan tahta kerajaan kepada putranya. Setelah meninggalkan kehidupan berumah tangga, Milinda mengembangkan pandangan terang dan mencapai tingkat Arahat.

 

About

Pengikut