31. Terbunuhnya Yang Ariya
Moggallana
“Telah dikatakan oleh Sang Buddha,
‘Di antara Para siswaku yang mempunyai kekuatan kesaktian, Moggallana adalah
yang paling hebat.’1 Akan tetapi beliau dipukuli sampai mati dengan
tongkat.2 Mengapa kesaktian beliau tidak berfungsi?”
“Hal itu, O baginda, disebabkan karena pada waktu itu beliau dikuasai kekuatan
karma yang lebih hebat. Bahkan di antara hal-hal yang tidak dapat dibayangkan
pun, ada satu yang mungkin lebih kuat daripada yang lain. Dan di antara yang
tidak dapat dibayangkan itu, karmalah yang terkuat. Tepatnya, akibat karmalah
yang mengalahkan dan mengatur hal-hal lainnya. Tidak ada pengaruh lain pada
manusia yang dapat menghalangi karma yang telah saatnya berbuah. Ini tidak
dapat dihindari. Sama halnya seperti orang yang telah terbukti bersalah karena
melakukan tindakan kriminal akan dihukum. Tidak ada yang dapat dilakukan oleh
sanak-saudaranya untuk mencegahnya.”
32. Kerahasiaan Vinaya
“Telah dikatakan oleh Sang Buddha,
‘Dhamma dan Vinaya yang telah dinyatakan oleh Sang Tathagata bersinar terang
kalau ditunjukkan, dan tidak akan bersinar kalau tidak diungkap.’3
Nah, mengapa pembacaan Patimokkha dilakukan hanya di hadapan para
bhikkhu,4 dan mengapa Vinaya Pitaka tertutup dan hanya khusus
untuk para bhikkhu saja?”5
“O baginda, alasan pertama mengapa Patimokkha hanya terbuka bagi para
bhikkhu adalah karena memang demikianlah kebiasaan semua Buddha. Alasan kedua
adalah untuk menghormati Vinaya, dan alasan ketiga adalah untuk
menghormati para bhikkhu. Seperti halnya, O baginda, tradisi prajurit diajarkan
turun-temurun hanya di antara para prajurit, demikian juga tradisi Tathagata
adalah bahwa pembacaan Patimokkha harus berada di antara para bhikkhu
saja. Vinaya itu patut dihormati dan bersifat sangat mendalam. Mereka
yang telah mencapai penguasaan Vinaya mungkin berpesan dengan
sungguh-sungguh demikian ini, ‘Jangan biarkan Ajaran yang sangat mendalam itu
jatuh ke tangan mereka yang tidak bijaksana yang kemudian mungkin akan menghina
dan mengutuknya, memperlakukannya dengan tidak tahu malu, mencemoohkannya dan
mencari-cari kesalahan di dalamnya.’6 Sama halnya seperti kekayaan
raja yang sangat berharga tidak boleh digunakan oleh sembarang orang, demikian
juga latihan dan tradisi Sang Buddha adalah kekayaan yang tak ternilai harganya
bagi.para bhikkhu. Itulah sebabnya mengapa pembacaan Patimokkha hanya
dilakukan di antara para bhikkhu.”
33. Kebohongan yang Disengaja
“Telah dikatakan oleh Sang Buddha,
‘Kebohongan yang disengaja adalah suatu pelanggaran yang berakibat bhikkhu
dikeluarkan secara paksa.7 Tetapi Beliau juga berkata, ‘Kebohongan
yang disengaja adalah pelanggaran ringan yang harus diakui di hadapan bhikkhu
lain.’8 Bagaimana kedua pernyataan ini dapat benar?”
“Jika ada orang yang memukul orang lain dengan tangannya, hukuman apa yang akan
baginda berikan padanya?”
“Jika si korban menolak berdamai dalam masalah ini, maka kami akan mendenda si
penyerang.”
“Tetapi jika ada orang yang memukul baginda, hukuman apa yang akan baginda
berikan padanya?”
“Kami akan memotong tangan dan kakinya, membesit kulit kepalanya, menyita
seluruh kekayaannya dan menghukum keluarganya sampai tujuh turunan.”
“Demikianlah juga, O baginda, pelanggaran bisa ringan atau berat tergantung
dari pokok masalahnya. Kebohongan dengan sengaja tentang pencapaian keadaan di
luar kamampuan manusia biasa, seperti misalnya pencapaian jhana, kekuatan
supra-normal atau pencapaian Sang Jalan, adalah pelanggaran yang berakibat si
bhikkhu dikeluarkan dengan paksa. Tetapi kebohongan dengan sengaja tentang
masalah-masalah lainnya hanya merupakan pelanggaran yang berakibat harus
mengakuinya.”
34. Penyelidikan Bodhisatta
“Dikatakan oleh Sang Buddha di dalam
khotbah-Nya tentang hukum alam, ‘Semenjak dahulu kala, orang tua Bodhisatta,
para siswa utama Sang Bodhisatta dan sebagainya, telah ditentukan terlebih
dahulu untuk Sang Bodhisatta.’9 Tetapi dikatakan juga, ‘Ketika masih
di surga Tusita, Sang Bodhisatta melakukan delapan penyelidikan: apakah sudah
tiba waktu yang tepat baginya untuk dilahirkan kembali, tentang benuanya,
negaranya, keluarganya, ibunya, waktu di dalam rahim, bulan kelahirannya, dan
waktu untuk meninggalkan kehidupan duniawi.’10 Jika orang tuanya
telah ditentukan sebelumnya, mengapa Beliau perlu mempertimbangkan hal-hal
tesebut?”
“Kedua pernyataan itu, O baginda, benar adanya. Berkenaan dengan delapan hal
itu, masa mendatang harus diselidiki terlebih dahulu sebelum masa itu datang
untuk berlalu. Seorang pedagang harus memeriksa barang sebelum membelinya,
seekor gajah harus menjajagi jalan dengan belalainya sebelum melewati jalan
itu, seorang sais kereta harus menyelidiki arungan sebelum menyeberanginya,
seorang pemandu harus mempelajari daratan yang belum pernah dia lihat
sebelumnya, seorang tabib harus menafsirkan sisa usia pasiennya sebelum mulai
merawatnya, seorang pengembara harus memeriksa jembatan sebelum berjalan
melaluinya, seorang bhikkhu harus tahu waktu sebelum mulai makan, dan seorang
Bodhisatta harus menyelidiki keluarganya sebelum dilahirkan.”
35. Bunuh Diri
“Telah dikatakan oleh Sang Buddha,
‘Seorang bhikkhu. tidak boleh mencoba untuk bunuh diri [terjun dari ngarai];
siapa pun yang melakukan hal seperti itu akan ditindak sesuai dengan aturan
yang ada.’11 Tetapi sebaliknya Anda mengatakan bahwa apa pun topik
yang dipilih Sang Buddha untuk berbicara kepada para bhikkhu, Beliau selalu
menggunakan berbagai perumpamaan untuk mendorong mereka mengusahakan lenyapnya
kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian. Dan kepada siapa pun yang melakukan
hal itu, Beliau memberikan pujian yang tinggi.”
“O baginda, karena seorang Arahat mempunyai banyak manfaat bagi makhluk hidup,
maka Beliau menentukan larangan itu. Orang yang telah mencapai tujuan adalah
bagaikan perahu yang dapat membawa penumpang melampaui banjir nafsu indera,
bebas dari keinginan untuk dilahirkan kembali, bebas dari kepercayaan adanya
diri, dan bebas dari kebodohan batin. Bagaikan awan hujan yang luar biasa,
seorang Arahat mengisi pikiran mereka dengan rasa puas, dan dia membimbing
orang yang tersesat. Karena kasih sayang terhadap makhluk hiduplah maka Sang
Buddha berkata, ‘Seorang bhikkhu tidak boleh bunuh diri.’ Dan apa alasan Sang
Buddha mendorong kita untuk mengakhiri kelahiran, usia tua dan kematian? Karena
tidak terbatasnya sifat alami penderitaan yang disebabkan oleh lingkaran
tumimbal lahir, maka Sang Buddha -yang begitu besar welas asihnya terhadap
makhluk hidup- mendorong mereka, dengan banyak cara dan banyak perumpamaan,
agar membebaskan diri dari lingkaran tumimbal lahir.”
36. Perlindungan dari Cinta Kasih
“Telah dikatakan oleh Sang Buddha,
‘Sebelas manfaat ini boleh diharapkan oleh orang yang mempraktekkan dan
mempunyai kebiasaan menyebarkan cinta kasih terhadap semua makhluk:
- Dia
tidur dengan kedamaian;
- Dia
bangun dengan kedamaian;
- Dia
tidak bermimpi buruk;
- Dia
disayangi oleh sesama manusia;
- Dia
disayangi oleh makhluk yang bukan manusia;
- Dia
dilindungi para dewa;
- Dia
tidak dapat terluka baik oleh api, racun, atau senjata;
- Pikirannya
mudah terkonsentrasi;
- Air
mukanya tenang;
- Dia
mati dalam keadaan tidak bingung;
- Dan
dia akan terlahir setidak-tidaknya di alam Brahma, jika tidak mencapai
yang lebih tinggi lagi.’12
Kalau begitu mengapa si pemuda Sama
yang hidup dengan penuh metta terluka oleh panah beracun yang dilepaskan oleh
Raja Piliyakkha?”13
“O baginda, sebelas nilai luhur cinta kasih ini bergantung pada cinta kasih itu
sendiri, dan bukan pada watak orang yang mempraktekkannya. Pemuda Sama memang
senantiasa berlatih meditasi cinta kasih. Akan tetapi ketika dia sedang
mengambil air, pikirannya melenceng dari meditasi, dan persis pada saat itulah
Raja Piliyakkha memanahnya, sehingga panah itu dapat melukainya.”
37. Mengapa Devadatta Makmur?
“Anda mengatakan bahwa perbuatan
bajik akan membawa kelahiran di surga atau kelahiran sebagai manusia yang
beruntung, serta bahwa perbuatan jahat membawa penderitaan atau kelahiran
sebagai manusia yang tidak beruntung. Akan tetapi, Devadatta yang penuh dengan
sifat-sifat jahat, sering terlahir dengan kedudukan yang lebih baik dibanding
Sang Bodhisatta,14 yang penuh dengan sifat-sifat yang bajik.”
“Nagasena, ketika Devadatta menjadi pendeta keluarga Brahmadatta- raja Benares,
pada saat itu Sang Bodhisatta adalah kasta yang tersingkir. Ini adalah satu
kasus di mana Sang Bodhisatta lebih rendah dibandingkan dengan Devadatta, di
dalam kelahiran maupun reputasi.
“Begitu juga, ketika Devadatta menjadi seorang raja besar yang berkuasa di
dunia ini, pada waktu itu Sang Bodhisatta menjadi gajah. Di dalam kasus itu
juga, lagi-lagi Sang Bodhisatta lebih rendah dibandingkan dengan Devadatta.
Demikian juga di banyak kasus lainnya.”
“Memang benar apa yang baginda katakan itu.”
“Kalau begitu berarti kebajikan dan kejahatan menghasilkan buah yang sama.”
“Tidak. Bukan demikian, O baginda. Devadatta dimusuhi oleh siapa saja, tetapi
tidak ada yang memusuhi Bodhisatta. Dan ketika menjadi raja, Devadatta
melindungi dan melayani rakyatnya serta memberikan persembahan kepada para
petapa dan para brahmana sesuai dengan kecenderungannya. Baginda, tak ada
seorang pun yang dapat mencapai kemakmuran tanpa kemurahan hati, pengendalian
diri, serta mempraktekkan moralitas dan nilai-nilai luhur lainnya. Meskipun
demikian, semua makhluk yang terhanyut di dalam arus lingkaran tumimbal lahir
yang tak ada hentinya selalu akan bertemu dengan rekan yang menyenangkan maupun
yang tidak menyenangkan. Sama halnya seperti air yang mengalir di sungai selalu
akan menemui benda yang bersih maupun yang tidak bersih. Tetapi perbandingan antara
Sang Bodhisatta dan Devadatta harus dipertimbangkan dari sudut pandang
panjangnya lingkaran tumimbal lahir yang tak terbayangkan, dan juga harus
diingat bahwa Sang Bodhisatta berada di surga selama kurun waktu
berkalpa-kalpa, sementara Devadatta mendidih di neraka.”
38. Kelemahan Wanita
“Dikatakan bahwa wanita akan selalu
berselingkuh bila ia mendapat kekasih yang sesuai.15 Tetapi istri
Mahasodha menolak melakukan tindakan yang salah, meskipun dia ditawari seribu
keping emas.”16
“Amaradevi adalah wanita yang luhur. Dia takut dikecam dunia ini. Dia takut
menderita di dalam api neraka. Dia juga mencintai suaminya. Dan dia memandang
rendah pelanggaran susila dan menghargai nilai luhur. Karena semua alasan
itulah maka baginya kesempatan seperti itu tidak pantas adanya. Dan suaminya,
Mahasodha, adalah laki-laki ideal. Maka bagi Amaradevi tidak ada orang yang
sebanding dengan Mahasodha. Karena alasan ini pulalah maka Amaradevi tidak
melakukan tindakan yang salah.”
39. Keberanian Ananda
“Dikatakan oleh Sang Buddha bahwa
para Arahat telah menyingkirkan segala rasa takut.17 Akan tetapi
ketika Dhanapalaka si gajah mabuk akan menyerang Sang Buddha, lima ratus
Arahat, meninggalkan Ananda sendirian untuk melindungi Sang Buddha.18
Jika para Arahat sudah terbebas dari rasa takut, mengapa mereka menyingkir?”
“Mereka tidak menyingkir karena rasa takut, O baginda. Para Arahat sudah
terbebas dari rasa takut. Tetapi mereka menyingkir agar pengabdian Ananda pada
Sang Buddha dapat terwujud. Mereka menyadari bahwa jikalau mereka tidak
minggir, maka gajah itu tidak akan bisa mendekat. Ananda, yang pada waktu itu
belum menjadi Arahat, tetap berada di samping Sang Buddha untuk melindungi
Beliau. Dengan demikian maka keberanian dan pengabdiannya terlihat. Oleh karena
kejadian ini, banyak sekali orang yang terbebas dari belenggu kekotoran batin.
Karena sebelumnya telah melihat manfaat-manfaat itulah, maka para Arahat
menyingkir.”
40 . Perubahan Hati Sang Buddha
“Anda mengatakan bahwa Sang Buddha
itu mahatahu. Akan tetapi setelah Sang Buddha menyuruh serombongan bhikkhu yang
dipimpin oleh Sariputta dan Moggallana pergi ke tempat lain, orang-orang Sakya
dari Catuma dan Brahma Sahampati berusaha meyakinkan Sang Buddha melalui
perumpamaan-perumpamaan.19 Apakah Beliau tidak mengetahui tentang
perumpamaan tersebut? Jika tahu, mengapa Beliau perlu diyakinkan?”
“Sang Tathagata, O baginda, adalah mahatahu. Akan tetapi Beliau tetap merasa
puas oleh perumpamaan-perumpamaan itu. Dengan perumpamaanlah Beliau pertama
kali membabarkan ajaran-Nya dan merasa puas karenanya. Dan karena merasa puas
maka Beliau menyetujuinya. Seperti halnya, O baginda, ketika seorang samanera
melayani gurunya dengan makanan yang diperoleh sang guru sendiri dari
mengumpulkan dana makanan, demikianlah dia menyenangkan sang guru dan mengambil
hatinya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar