BAB SEPULUH
19. Dhamma-lah yang Terbaik
“Dikatakan oleh Sang Buddha, ‘Dhamma-lah, O Vasettha, yang terbaik di dunia
ini.’1 Tetapi Anda mengatakan bahwa seorang umat awam yang saleh yang telah
mencapai tingkat Pemasuk-Arus harus menghormat kepada seorang samanera,
meskipun samanera itu belum mencapai tingkat spiritual yang sedemikian. Jika
memang Dhamma yang terbaik, maka kebiasaan seperti itu tidaklah tepat.”
“O baginda, ada alasan di balik kebiasaan itu. Ada dua puluh sifat kepribadian
dan dua tanda luar yang membuat seorang samanera patut dihormati:
1. Dia bersuka cita di dalam Dhamma yang luar biasa,
2. Dia mempunyai pengendalian diri yang paling tinggi,
3. Dia mempunyai perilaku yang baik, karena cara hidupnya [mengumpulkan dana
makanan],
4. Dia tidak minum minuman keras,
5. Dia mengendalikan inderanya,
6. Dia sabar,
7. Dia lembut,
8. Dia hidup sendiri,
9. Dia menikmati kesendirian,
10. Dia bersuka cita di dalam meditasi,
11. Dia memiliki rasa malu berbuat salah,
12. Dia memiliki rasa takut berbuat salah,
13. Dia bersemangat,
14. Dia tekun,
15. Dia menjalankan peraturan,
16. Dia mempelajari kitab suci,
17. Dia menanyakan maknanya kepada yang mengerti,
18. Dia bersukacita di dalam nilai-nilai luhur,
19. Dia tidak berumah dan karena itu terbebas dari kemelekatan duniawi,
20. Dia melaksanakan peraturan.
Dan dia mempunyai dua tanda luar-
yaitu kepala yang dicukur dan jubah kuning.2 Di dalam semua praktek dan
perkembangan seperti inilah seorang petapa hidup. Dengan berlatih dan
mengembangkan nilai-nilai luhur sebagai samanera dia maju menuju tingkat
Arahat. Karena itu, ketika melihat samanera yang berkawan dengan mereka yang
sangat patut dihormati, maka umat yang saleh berpikir bahwa benar dan pantaslah
bila dia menghormat seorang petapa meskipun mungkin petapa itu hanyalah orang
biasa yang belum mencapai tingkat kesucian. Apalagi, O baginda, juga karena
melihatnya sebagai orang yang mempertahankan tradisi kebiaraan maka umat awam
menghormati petapa. Dan jika seorang umat awam mencapai tingkat Arahat, hanya
dua tujuan yang menantinya: dia harus masuk Sangha pada hari itu juga, atau dia
harus mencapai parinibbana.3 Benar-benar tak tergoyahkan, O baginda, keadaan
meninggalkan kehidupan duniawi. Sungguh hebat dan mulia kondisi untuk masuk ke
dalam Sangha Sang Buddha.”
20. Cinta Kasih Sang Buddha
“Anda mengatakan bahwa Sang Tathagata melindungi makhluk hidup dari bahaya dan
memberkati mereka dengan kebaikan.4 Akan tetapi ketika Sang Buddha sedang
membabarkan Dhamma kepada para bhikkhu tentang perumpamaan api besar yang
menyala-nyala,5 darah panas tersembur dari mulut enam puluh bhikkhu. Dengan
pembabaran khotbah itu mereka menjadi celaka dan tidak baik. Jadi pernyataan
Anda itu salah.”
“Apa yang terjadi pada diri mereka itu disebabkan oleh perbuatan mereka
sendiri.”
“Tetapi, Nagasena, seandainya saja Sang Tathagata tidak membabarkan khotbah
tersebut, apakah mereka akan muntah darah panas?”
“Tidak. Pada saat mereka menerima secara salah apa yang dibabarkan, maka api
menyala di dalam diri mereka.”
“Kalau begitu, berarti Sang Tathagata-lah yang menjadi penyebab utama yang
menghancurkan mereka. Andaikan ada seekor ular yang masuk ke dalam sarang
semut, dan ada orang yang memerlukan tanah datang untuk mengambil tanah. Lalu
sebagai akibatnya ular itu mati karena terpendam dan tidak dapat bernafas,
tidakkah hal itu berarti bahwa sang ular mati karena ulah orang tersebut?”
“Ya, baginda. Tetapi ketika Sang Tathagata membabarkan suatu khotbah, Beliau
tidak melakukannya dengan kebencian. Beliau membabarkan dengan keadaan yang
sama sekali terbebas dari kedengkian. Mereka yang berlatih dengan benar akan
mencapai penerangan, tetapi mereka yang mempraktekkannya dengan salah akan
jatuh. Seperti halnya, O baginda, ketika sebatang pohon mangga digoncang, maka
buah yang tangkainya kuat akan tetap bertahan tak terganggu, sedangkan yang
tangkainya busuk akan jatuh ke tanah.”
“Kalau begitu, tidakkah para bhikkhu tersebut jatuh karena khotbah tersebut?”
“Dapatkah seorang tukang kayu yang hanya membiarkan kayu tergeletak saja tanpa
melakukan apa pun mengharapkan kayu tersebut menjadi lurus dan dapat
bermanfaat?”
“Tidak, Yang Mulia.”
“Demikian juga, O baginda, dengan hanya mengamati para murid-Nya saja Sang
Tathagata tidak dapat membuka mata mereka yang sudah siap untuk melihat. Tetapi
dengan menyingkirkan mereka yang salah menangkap Ajaran maka Beliau
menyelamatkan mereka yang sudah siap untuk diselamatkan. Dan karena kesalahan
diri sendirilah maka mereka yang berpikiran jahat jatuh.”
21. Kerendahan Hati Sang Buddha
“Demikian ini juga telah dikatakan oleh Sang Buddha:
‘Mengendalikan tubuh adalah baik,
Baik pula mengendalikan ucapan,
Mengendalikan pikiran adalah baik,
Baik pula mengendalikan segala hal.’6
“Tetapi ketika Sang Tathagata duduk
di antara empat kelompok [bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria, umat awam wanita]
Beliau menunjukkan kepada Brahmana Sela sesuatu yang tidak seharusnya
dipertontonkan di depan umum, yaitu alat kelamin pria yang tersembunyi di balik
selaput tipis.7 Jika Beliau melakukan hal itu, berarti pernyataan yang pertama
tersebut salah.”
“Sang Buddha memang menunjukkan kepada Sela si Brahmana sesuatu yang tidak
seharusnya dipertontonkan di depan umum, tetapi hal itu Beliau lakukan dengan
kekuatan supra-normal di dalam bentuk bayangan dan hanya Sela yang dapat
melihatnya. Kepada Sela yang masih ragu terhadap Sang Tathagata, Sang Guru
menunjukkan gambar alat kelamin pria yang tersembunyi di balik selaput tipis
tersebut dengan kekuatan supra-normal untuk menyadarkannya tentang kebenaran.
Sang Tathagata, O baginda, sangat terampil di dalam hal sarana. Untuk mencemooh
kecantikan jasmani, Sang Guru membawa Yang Mulia Nanda ke alam dewa untuk
melihat wanita-wanita cantik yang ada di sana.8 Dan dengan sehelai kain putih
Beliau membuat Yang Mulia Culapanthaka tersadar akan kekotoran tubuh.”9
22. Ucapan Sang Buddha yang Sempurna
“Yang Mulia Sariputta siswa utama Sang Buddha berkata, ‘Sang Tathagata itu
sempurna dalam berkata-kata. Tidak ada kesalahan di dalam ucapan Sang
Tathagata. Mengenai ucapanNya, Beliau tidak perlu harus berhati-hati dengan
tujuan agar orang lain tak akan melihat kesalahannya.’10 Jadi mengapa Sang
Buddha menggunakan kata-kata yang kasar dan menyakitkan hati terhadap Sudinna
si Kalanda dan menyebutnya orang yang bodoh?” 11
“Itu bukan karena kekasaran, O baginda, melainkan semata-mata untuk menunjukkan
kepadanya, dengan cara yang tidak merugikan, tentang perilakunya yang tolol dan
rendah. Jika orang di dalam kelahiran ini tidak dapat mencapai pemahaman
tentang Empat Kesunyataan Mulia, maka hidupnya sia-sia belaka. Sang Buddha
menggunakan kata-kata kebenaran, dan bukannya melebih-lebihkan. Beliau
mengingatkan orang lain semata-mata untuk menghancurkan penyakit
ketidakbajikan. Kata-kata Beliau, meskipun dengan, nada yang keras, melunakkan
kesombongan orang dan membuat mereka rendah hati. Kata-kata Beliau penuh dengan
kasih sayang dan dimaksudkan agar bermanfaat. Sama seperti kata-kata seorang
ayah kepada anak-anaknya.”
23. Pohon yang Berbicara
“Sang Tathagata berkata:
‘Brahmana! Mengapa engkau bertanya, pada benda yang tak sadar yang tidak dapat
mendengarmu ini, bagaimana keadaannya hari ini? Engkau yang aktif, pandai dan
penuh semangat, bagaimana kamu dapat berbicara kepada benda yang tidak
mempunyai indera, pada pohon Palasa liar ini?’ 12
“Tetapi pada kesempatan lain Sang
Tathagata berkata:
‘Dan kemudian pohon aspen tersebut menjawab, ‘Aku’, Bharadvaja, dapat berbicara
juga. Dengarkanlah aku.’ 13
“Nagasena, jika sebatang pohon
merupakan sesuatu yang tidak punya kesadaran, maka pernyataan yang kedua ini
pasti salah.”
“Ketika Sang Buddha menyebut ‘pohon aspen’, itu hanyalah cara berbicara
konvensional, karena meskipun sebatang pohon adalah sesuatu yang tidak sadar
dan tidak bisa berbicara, kata ‘pohon’ itu ditujukan bagi dewa yang bertempat
tinggal di situ. Dan ini adalah suatu konvensi yang sudah banyak dikenal.
Seperti halnya, O baginda, sebuah kereta yang penuh jagung disebut
‘kereta-jagung’ meskipun kereta tersebut terbuat dari kayu, bukan dari jagung.
Sang Tathagata, ketika membabarkan Dhamma, menggunakan juga alat bantu cara
percakapan sehari-hari.”
24. Santapan Terakhir
“Dikatakan oleh para sesepuh yang berkumpul pada Konsili Buddhis Pertama,
‘Setelah makan makanan yang dipersembahkan oleh Cunda si tukang besi, demikian
yang telah saya dengar, Sang Buddha merasakan kesakitan yang hebat, rasa sakit
yang tajam, bahkan sampai wafatnya.’14 Tetapi Sang Buddha juga berkata, ‘Dua
persembahan makanan ini, Ananda, mempunyai jasa kebajikan yang setara dan jauh
melebihi makanan lain: yaitu makanan yang sesudah dimakan kemudian Sang
Tathagata mencapai Pencerahan Sempurna; dan makanan yang sesudah dimakan
kemudian Sang Tathagata mencapai parinibbana.’ 15
“Tetapi jika rasa sakit yang amat sangat itu menimpanya setelah makan
persembahan makanan terakhir itu, maka pernyataan yang terakhir itu pasti
salah.”
“Persembahan makanan yang terakhir itu besar manfaatnya karena Sang Tathagata
lalu mencapai Parinibbana. Bukan karena makanan itu maka Sang Buddha jatuh
sakit, melainkan karena tubuhnya sangat lemah dan karena dekat dengan waktu mangkatnya.
Dua persembahan makanan ini merupakan jasa yang besar dan tidak tertandingi
karena Sang Buddha mencapai sembilan tingkat jhana berturut-turut, dengan
urutan maju dan mundur, yang terjadi setelah Sang Tathagata makan makanan
tersebut.”
25. Pemujaan terhadap Relik
“Sang Buddha berkata, ‘Jangan menghalangi dirimu sendiri, Ananda, dengan
menghormati apa yang tersisa dari ‘Sang Tathagata.’16 Tetapi pada kesempatan
lain Beliau berkata, ‘Hormatilah relik dari mereka yang patut dihormati. Dengan
bertindak demikian engkau akan pergi dari dunia ini ke surga.’17 Pernyataan
manakah yang benar?”
“Nasehat pertama tidak diberikan kepada semua orang, O baginda, melainkan hanya
kepada para siswa Sang Penakluk [para bhikkhu]. Menghormati relik bukanlah
tugas mereka. Memahami sifat hakiki semua bentukan, menggunakan penalaran
[memperhatikan ketidakkekalan dll.], meditasi pandangan terang, memegang inti
objek meditasi, memberikan pengabdian kepada kesejahteraan spiritual, itulah
tugas-tugas bhikkhu. Seperti halnya, O baginda, adalah urusan para pangeran
untuk belajar seni perang dan hukum wilayah; sedangkan beternak, berdagang dan
mengurus ternak merupakan urusan perumah tangga.”
26. Kaki Sang Buddha Terluka
“Anda berkata bila Sang Buddha berjalan, maka bumi ini -meskipun tidak memiliki
kesadaran- mengisi lubang-lubang; yang kosong dan meratakan tanah yang akan
Beliau pijak.18 Akan tetapi Anda mengatakan bahwa ada pecahan batu karang yang
melukai kaki-Nya.19 Mengapa pecahan batu tersebut tidak minggir dari kaki-Nya?”
“O baginda, pecahan batu itu tidak jatuh dengan sendirinya. Ada batu karang
yang dilemparkan oleh Devadatta. Lalu dua batu karang bersatu untuk
menghentikannya, tetapi ada pecahan yang melesat dan melukai kaki Sang Buddha.
Sesuatu yang dihentikan dapat dengan mudah melesat, seperti halnya air yang
ditampung di dua tangan dapat dengan mudah mengalir melalui jari-jari.”
27. Petapa Sejati
“Sang Buddha berkata, ‘Orang menjadi petapa dengan cara menghancurkan banjir
[nafsu indera, keinginan untuk lahir kembali, kepercayaan adanya diri, dan
kebodohan].’20 Tetapi Beliau juga berkata, ‘Orang dikenal di dunia sebagai
petapa bila mempunyai empat sifat ini: sabar, sederhana di dalam hal makan,
bersifat melepas, dan bebas dari kepemilikan.’21 Nah, keempat sifat ini juga terdapat
pada orang-orang yang belum sempurna, pada orang-orang yang akar kekotoran
batinnya belum seluruhnya tercabut. Ini juga merupakan masalah yang bersisi
dua.”
“Kedua pernyataan ini, O baginda, memang dibuat oleh Sang Buddha. Tetapi yang
pertama adalah pernyataan dengan pengertian khusus, sedangkan yang kedua
dikatakan tentang ciri-ciri petapa secara umum.”
28. Kesombongan Sang Buddha
“Sang Buddha berkata, ‘Jika ada seseorang yang memuji Aku, ajaranKu atau
Sangha, kalian tidak boleh menjadi sangat gembira karena pujian itu.’22 Tetapi,
begitu gembiranya Beliau! ketika Sela si Brahmana memujinya sehingga Beliau
membesar-besarkan nilai-nilai luhurnya sendiri dan berkata, ‘Aku, Sela, adalah
seorang raja, raja dengan kebenaran tertinggi. Roda kereta kebenaran yang agung
telah kuputar- roda yang tidak akan dapat diputar balik oleh siapa pun.’23 Ini
juga, merupakan masalah bersisi dua.”
“Kedua pernyataan itu, O baginda, betul adanya. Tetapi pernyataan yang pertama
dibuat untuk menegaskan dan menjelaskan dengan pasti sifat hakiki ajaran-Nya.
Yang kedua tidak dikatakan untuk memperoleh keuntungan, atau kemasyhuran. Juga
tidak diucapkan dengan cara yang tidak objektif, atau untuk memperoleh
pengikut. Itu dikatakan dengar penuh welas asih dan merupakan pengetahuan yang
menyebabkan tiga ratus brahmana mencapai pengetahuan tentang kebenaran.”
29. Siapakah yang Patut Dihukum?
“Sang Buddha berkata, ‘Janganlah melukai siapa pun, hiduplah di dunia ini
dengan penuh cinta kasih dan kebajikan.’ 24 Tetapi Beliau juga berkata, ‘Kendalikanlah
orang yang patut dikendalikan dan doronglah orang yang patut didorong.’25 Nah,
mengendalikan berarti memotong tangan dan kaki memasukkan ke dalam penjara, dan
sebagainya. Jika pernyataan yang pertama itu benar, maka yang kedua tidak
mungkin benar.”
“O baginda, tidak melukai siapa pun adalah ajaran semua Buddha. Akan tetapi,
yang kedua ini digunakan secara kiasan. Hal itu berarti mengendalikan pikiran
yang resah, menyemangati pikiran yang malas; mengendalikan pikiran yang jahat,
mendorong pikiran yang bajik; mengendalikan perenungan yang tidak bijaksana,
mendorong perenungan yang bijaksana; mengendalikan latihan yang salah,
mendorong latihan yang benar; yang tidak mulia harus dikendalikan, yang mulia
harus didorong; si pencuri [bhikkhu yang menginginkan kemasyhuran, pujian dan
keuntungan] harus dikendalikan, dan orang yang jujur [bhikkhu yang tulus, yang
semata-mata berkeinginan untuk menyingkirkan kegelapan batin] harus didorong:”
“Sekarang Anda telah sampai pada inti permasalahanku. Lalu Nagasena, bagaimana
seorang perampok harus diatasi?”
“Begini, O baginda; jika patut dimarahi maka biarlah dia dimarahi; jika patut
didenda biarlah dia didenda; jika patut diasingkan maka biariah dia diasingkan;
jika patut dihukum mati maka biarlah dia dihukum mati.”
“Kalau begitu, Nagasena, apakah hukuman mati para perampok menjadi salah satu
bagian dari ajaran yang dibabarkan oleh Sang Tathagata?”
“Tentu saja tidak, O baginda. Siapa pun yang dihukum mati, tidaklah menderita
hukuman mati karena pendapat yang telah diberikan oleh Sang Tathagata. Dia
menderita karena perbuatan yang telah dilakukannya sendiri.”26
30. Mengusir Sangha
‘Telah dikatakan oleh Sang Buddha. ‘Aku tidak mempunyai kemarahan atau pun
kekesalan hati’.27 Tetapi Beliau mengusir Yang Mulia Sariputta dan Yang Mulia
Moggallana beserta siswa-siswa mereka.’28 Tidakkah dengan kemarahan Beliau
melakukan hal itu?”
“Sang Tathagata memang mengusir para bhikkhu, tetapi tidak dengan kemarahan.
Karena perbuatan yang telah mereka lakukan sendirilah maka mereka diusir. Sama
halnya seperti bumi ini tidak merasa marah bila ada yang tersandung dan jatuh.
Adalah kesalahan orang itu sendiri maka dia jatuh. Demikian juga Sang Buddha
tidak memiliki niat jahat apa pun juga. Beliau menyuruh mereka pergi karena
mengetahui, ‘Itu demi kebaikan, kebahagiaan, pemurnian dan pembebasan mereka
dari penderitaan.’”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar