41. Mengenai Tempat Tinggal
“Dikatakan
oleh Sang Buddha:
‘Rasa
takut lahir dari keintiman,
Debu berasal dari rumah yang didirikan.
Tidak berumah, bebas dari keintiman,
Inilah visi orang bijak.’ 1
“Tetapi
Beliau juga berkata:
Biarkanlah
orang bijak membangun tempat tinggal dan menampung orang terpelajar di situ.’2
“Jika
pernyataan yang pertama diucapkan oleh Sang Buddha, maka yang kedua pasti
salah.”
“Kedua pernyataan itu memang diucapkan oleh Sang Tathagata, O baginda, tetapi
pernyataan yang pertama mempunyai pengertian khusus berkenaan dengan sifat
alami segala hal, dan berkenaan dengan apa yang layaknya diinginkan oleh
seorang petapa. Sedangkan pernyataan kedua dikatakan hanya mengenai dua
persoalan. Pemberian berupa tempat tinggal telah mendapatkan pujian tinggi dari
para Buddha karena mereka yang telah memberikan persembahan semacam itu akan
terbebas dari kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian. Dan yang kedua, jika
ada tempat tinggal maka akan lebih mudah bagi mereka yang ingin mendengarkan
Dhamma untuk mengunjungi para bhikkhu, dibandingkan jikalau para bhikkhu
tinggal di hutan. Tetapi hal ini tidak lalu diikuti oleh kerinduan para bhikkhu
untuk mempunyai tempat tinggal.”
42. Pengendalian Perut
“Sang
Buddha berkata, ‘Jangan kehilangan perhatian sewaktu berdiri mengumpulkan dana
makanan, milikilah pengendalian terhadap perutmu.’3 Tetapi Beliau
juga berkata, ‘Adakalanya, Udayi, aku makan semangkuk penuh atau bahkan lebih.’4
Ini juga merupakan masalah yang bersisi dua.”
“Kedua pernyataan ini benar, O baginda, tetapi pernyataan yang pertama
mempunyai pengertian khusus dan tidak akan terbukti salah. Orang yang tidak
mempunyai pengendalian terhadap perutnya akan membunuh makhluk hidup atau
mencuri demi perutnya. Dengan dasar pemikiran seperti inilah Sang Buddha
berkata ‘Jangan kehilangan perhatian sewaktu berdiri mengumpulkan dana makanan,
milikilah pengendalian terhadap perutmu.’ Sedangkan orang yang memiliki
pengendalian diri mendapat pandangan terang mengenai Empat Kesunyataan Mulia
dan memenuhi kehidupan sebagai petapa. Bukankah seekor beo biasa, O baginda,
melalui pengendalian terhadap perutnya telah mengguncang Surga Tiga Puluh Tiga
dan membuat Sakka turun untuk melayaninya?5 Tetapi ketika Sang
Buddha berkata, ‘Adakalanya, Udayi, aku makan semangkuk penuh, atau bahkan
lebih’, hal itu berhubungan dengan diri Beliau sendiri yang telah mencapai apa
yang harus dicapai melalui pengendalian diri. Dan bagaikan permata sempurna
yang tidak lagi perlu digosok, Beliau tidak memerlukan latihan lagi.
43. Manusia yang Terbaik
“Sang
Buddha berkata, ‘Para bhikkhu, aku adalah seorang Brahmana, tempat orang
meminta pertolongan, yang selalu siap memberi; tubuh yang kutanggung ini adalah
yang terakhir. Aku adalah tabib dan dokter tertinggi.’6 Tetapi pada
kesempatan lain Beliau berkata, ‘Di antara siswaku, Bakkulalah yang paling baik
kesehatannya.’7 Telah dikatakan bahwa Sang Buddha beberapa kali
terkena penyakit sedangkan Bakkula selalu sehat. Jika pernyataan yang pertama
benar, mengapa Sang Buddha kalah sehat dibandingkan Bakkula?”
“Memang benar bahwa Bakkula melebihi Sang Buddha di bidang kesehatan, dan
beberapa murid lain juga melebihi Beliau di bidang lain. Akan tetapi Sang
Buddha melebihi mereka semua di dalam nilai-nilai kemoralan, konsentrasi, dan
kebijaksanaan. Dan mengenai hal-hal inilah Beliau berkata, ‘Para bhikkhu, aku
adalah seorang Brahmana, tempat orang meminta pertolongan, yang selalu siap
memberi; tubuh yang kutanggung ini adalah yang terakhir. Aku adalah tabib dan
dokter tertinggi’.”
“Sang Buddha, O baginda, tak peduli apakah sedang sakit atau tidak; apakah
sedang menjalankan praktek sebagai petapa atau tidak – tak tertandingi oleh
makhluk lain. Hal ini, O baginda, dikatakan di dalam Samyutta Nikaya,
‘O para bhikkhu, dari semua makhluk; baik yang tidak berkaki atau yang berkaki
dua atau empat atau banyak; yang mempunyai bentuk maupun yang tidak; yang
sadar, atau yang tidak, atau yang bukan-sadar-pun – bukan-tak-sadar; dari
mereka semua itu Sang Tathagata, Sang Arahat, Yang Tercerahkan Sepenuhnya,
dianggap sebagai pemimpin…’.”8
44. Jalan Kuno
“Dikatakan
oleh Sang Buddha, ‘Sang Tathagata adalah penemu jalan yang sebelumnya tidak
diketahui.’9 Tetapi Beliau juga berkata, ‘Sekarang aku telah
memahami, O para bhikkhu, jalan kuno yang telah ditempuh oleh para Buddha
sebelumnya.’10 Ini juga merupakan masalah yang bersisi dua.”
“Jalan kuno yang ditunjukkan oleh para Buddha sebelumnya itu telah lama hilang
dan tidak diketahui oleh siapa pun, baik manusia maupun dewa. Karena itulah
Sang Buddha berkata, ‘Sang Tathagata adalah penemu jalan yang sebelumnya tidak
diketahui.’ Meskipun jalan tersebut telah hancur, tidak lagi dapat dilalui dan
hilang dari pandangan- tetapi Sang Tathagata; setelah memperoleh pengetahuan
yang mendalam, melihat dengan mata kebijaksanaan-Nya bahwa itulah jalan yang
juga telah digunakan oleh para Buddha sebelumnya. Dan karena itulah Sang Buddha
berkata, ‘Sekarang aku telah memahami, O para bhikkhu, jalan kuno yang telah
ditempuh oleh para Buddha sebelumnya.’ Sama seperti jika ada orang yang telah
membuka hutan dan membebaskan sebidang tanah, tanah itu disebut tanahnya
meskipun dia tidak membuat tanah itu.”
45. Kelemahan Sang Bodhisatta
“Dikatakan
oleh Sang Buddha, ‘Di dalam semua kelahiranku sebagai manusia, aku telah
memiliki kebiasaan tidak menyakiti makhluk hidup.’11 Tetapi ketika
Beliau menjadi seorang petapa yang bernama Lomasa Kassapa, Beliau menyuruh
membunuh ratusan binatang untuk dipersembahkan sebagai korban.12
Mengapa waktu itu Beliau tidak penuh welas asih?”
“Persembahan itu, O baginda, dilakukan ketika Lomasa Kassapa kehilangan ingatan
karena tergila-gila pada Putri Candavati; pada waktu itu beliau tidak sadar
pada apa yang diperbuatnya. Seperti halnya orang gila yang kehilangan akal
sehatnya akan menapak di api, atau menangkap ular berbisa, atau berlari-lari
telanjang bulat di jalanan, demikian juga Sang Bodhisatta yang sedang hilang
ingatan, sehingga Beliau melakukan persembahan korban itu. Nah, suatu kejahatan
yang dilakukan orang gila tidak bisa dianggap sebagai pelanggaran yang serius,
begitu juga mengenai buah yang dihasilkan di dalam kehidupannya yang akan
datang. Misalkan saja, O baginda, ada orang gila yang bersalah melakukan
pelanggaran hukum yang berat, hukuman apakah yang akan baginda jatuhkan
kepadanya?”
“Hukuman apa yang patut bagi orang gila? Kami akan memerintahkan agar dia
dipukuli dan kemudian dibebaskan, begitu saja.”
“Jadi, O baginda, sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh orang gila dapat
diampuni.13 Demikian juga dalam kasus Lomasa Kassapa. Setelah sadar
kembali, beliau meninggalkan kehidupan duniawi dan kemudian terlahir di alam
Brahma.”
46. Rasa Hormat Pada Jubah
“Bahkan
ketika Sang Bodhisatta terlahir sebagai seekor gajah, Beliau mempunyai rasa
hormat pada jubah kuning.14 Tetapi Anda mengatakan bahwa ketika
Beliau terlahir sebagai seorang brahmana muda yang bernama Jotipala, meskipun
terlahir sebagai manusia dengan tanda-tanda khusus, dia mencerca dan mencaci
maki Buddha Kassapa, menyebut Beliau bhikkhu gundul yang tidak berguna.15
Bagaimana kedua pernyataan ini dapat benar adanya?”
“O baginda, kekasaran Sang Bodhisatta ketika menjadi brahmana muda Jotipala itu
disebabkan oleh karena kelahiran dan pendidikan beliau. Semua keluarga beliau
bukan orang yang memiliki keyakinan pada Dhamma, dan mereka memuja Brahma.
Mereka berpikir bahwa kaum Brahmana adalah manusia yang paling tinggi. Seperti
halnya, O baginda, air yang sangat dingin pun akan menjadi hangat bila kena
api, demikian juga Jotipala. Meskipun penuh dengan nilai-nilai luhur, tetapi
karena dilahirkan di dalam keluarga yang tidak percaya beliau seakan-akan buta
dan mencerca Sang Tathagata. Walaupun demikian, ketika pergi menghadap Sang
Buddha Kassapa, Jotipala menyadari nilai-nilai luhurnya dan menjadi siswa yang
setia.”
47. Kebajikan Si Pembuat Tembikar
“Dikatakan
oleh Sang Buddha, ‘Selama tiga bulan penuh, tempat tinggal Ghatikara si pembuat
tembikar tetap berada di alam terbuka, tetapi air hujan tidak akan turun di
situ.’16 Tetapi air hujan membasahi pondok Buddha Kassapa.17
Mengapa pondok Sang Tathagatha basah? Jika hujan turun di pondok Buddha yang
mempunyai banyak kebajikan, maka pastilah bohong jika dikatakan bahwa hujan
tidak turun di pondok, Ghatikara karena perbuatan bajiknya yang besar.”
“O baginda, Ghatikara adalah orang baik yang penuh dengan nilai-nilai luhur,
dan kaya akan kebajikan. Dia merawat orang tuanya yang buta dengan segala
kerendahan hati. Ketika Ghatikara sedang pergi, beberapa bhikkhu mengambil
sejumlah ilalang dari atap rumahnya untuk memperbaiki pondok Buddha Kassapa,
karena yakin akan kemurahan hati Ghatikara. Waktu Ghatikara kembali, dia tidak
marah maupun kecewa. Dia bahkan merasa sangat gembira karena telah melakukan
kebajikan besar dengan memberikan sesuatu kepada Sang Tathagata. Dia berpikir dengan
suka cita, ‘Sang Tathagata menaruh kepercayaan yang besar kepadaku.’ Begitu
besar kebajikannya sehingga buahnya langsung dapat dipetik di dalam kehidupan
itu juga. Sebaliknya, Sang Tathagata tidak kekurangan kebajikan karena hujan
membasahi pondok Beliau. Sang Tathagata telah mempertimbangkan demikian,
‘Biarlah orang-orang tidak mencari-cari kesalahan dengan mengatakan bahwa para
Buddha menjalani kehidupan dengan menggunakan kekuatan supra-normal-Nya.’ Maka
dari itu hujan turun di pondok Beliau, sama seperti di tempat-tempat lain,
kecuali pondok Ghatikara ”
48. Raja atau Brahmana?
“Sang
Buddha berkata, ‘Para bhikkhu, aku adalah seorang brahmana, tempat orang minta
pertolongan.’18 Tetapi pada kesempatan lain Beliau berkata, ‘Sela,
aku adalah seorang raja.’19 Nagasena, jika Sang Buddha adalah
seorang raja, maka Beliau pasti berbohong ketika mengatakan bahwa diri-Nya
adalah seorang brahmana. Kalau bukan seorang Khattiya (prajurit), Beliau pasti
brahmana. Tidak mungkin Beliau termasuk di dalam dua golongan kasta.”
“Bukan karena kelahiran-Nya maka Beliau menyebut diri-Nya sebagai brahmana,
tetapi karena Beliau telah terbebas dari kegelapan batin, dan telah mencapai
kepastian pengetahuan, dan karena Beliau-lah yang menjaga tradisi kuno dalam
hal mengajar dan belajar di luar kepala, dalam hal pengendalian diri, dan dalam
hal disiplin.20 Dan sebagaimana seorang raja mengatur rakyatnya
dengan hukum, Sang Buddha mengatur para siswa-Nya dengan mengajarkan Dhamma,
membawa sukacita bagi mereka yang hidup dengan benar, serta mencela mereka yang
melanggar hukum yang mulia itu. Dan sebagaimana seorang raja yang memerintah
dengan adil akan bertahan lama, demikian juga Sang Buddha dengan sifat-sifat kebajikan-Nya
yang khusus membuat ajaran-Nya bertahan lama.”
49. Cara Hidup yang Benar
“Anda
mengatakan bahwa Sang Buddha tidak menerima persembahan makanan yang diberikan
karena membacakan paritta.21 Tetapi ketika berkhotbah
kepada umat awam, terlebih dahulu Beliau biasanya berbicara tentang manfaat
berdana dan Beliau menerima persembahan yang diberikan.22 Jika yang
pertama benar, mengapa Beliau menerima persembahan yang diperoleh lewat
berkhotbah?”
“Adalah kebiasaan Sang Tathagata untuk terlebih dahulu berkhotbah tentang
manfaat berdana, dengan tujuan untuk melembutkan hati orang-orang, sebelum
melanjutkan berkhotbah tentang moralitas dan hal-hal yang lebih tinggi. Tetapi
bukan karena itu lalu para bhikkhu bisa dituduh memberi isyarat, menginginkan
persembahan. Ada isyarat yang tidak layak, dan ada isyarat yang tidak tercela.
Dalam hal ini, jika seorang bhikkhu yang mengumpulkan dana makanan berdiri di
tempat yang tidak tepat atau memberi isyarat, itu merupakan isyarat yang salah.23
Tetapi jika dia berdiri di tempat yang layak di mana ada orang-orang yang ingin
memberi dan dia berjalan terus ketika mereka tidak memberinya, ini tidak salah
dan bukan berarti pengisyaratan. Makanan dari si pembajak tanah itu
dipersembahkan sebagai usaha membuktikan bahwa masalah mengenai pembacaan
paritta itu salah, maka Sang Tathagata menolaknya.”
50. Keengganan Sang Buddha
“Anda
mengatakan bahwa selama empat maha kalpa dan 100.000 siklus dunia ini Sang
Bodhisatta telah melatih kesempurnaan agar mencapai kemahatahuan. Tetapi setelah
Beliau mencapai kemahatahuan pikiran-Nya berubah tidak ingin mengajarkan
Dhamma.24 Bagaikan seorang pemanah yang telah berlatih berhari-hari
lalu ragu-ragu ketika hari peperangan tiba, demikian juga Sang Buddha ragu-ragu
untuk mengajarkan Dhamma. Apakah hal itu disebabkan oleh rasa takut, atau
kurangnya kejernihan, atau kelemahan, atau karena Beliau tidak mahatahu
sehingga keraguan itu timbul.”
“Tidak, raja yang agung, hal itu bukan disebabkan oleh alasan-alasan tersebut.
Karena sifat Dhamma yang mendalam, dan karena begitu kuatnya kemelekatan serta
kegelapan batin para makhluklah maka Sang Buddha menjadi ragu-ragu dan
mempertimbangkan kepada siapa Beliau harus mengajarkan Dhamma, serta bagaimana
caranya agar mereka dapat mengerti. Seperti halnya, O baginda, ketika seorang
raja mengingat-ingat betapa banyaknya orang yang kehidupannya bergantung
padanya -para pengawal, anggota istana, pedagang, prajurit, pesuruh, menteri,
dan para bangsawan- dia mungkin terbebani oleh pikiran: ‘Bagaimana aku dapat
mengambil hati mereka semua?’ Demikian juga, ketika Tathagata mengingat
bagaimana kuatnya kemelekatan dan kegelapan batin para makhluk, maka Beliau
cenderung untuk tidak bertindak daripada membabarkan ajaran-Nya. Dan juga
memang sudah menjadi aturan alam bahwa Sang Buddha harus membabarkan Dhamma
atas permohonan Brahma karena pada saat itu semua orang adalah pemuja Brahma
dan sangat bergantung pada Brahma. Maka dari itu, jika dewa yang begitu tinggi
dan berkuasa seperti Brahma ingin mendengarkan Dhamma, maka seluruh alam dewa
dan manusia cenderung akan begitu juga. Karena alasan itu maka sebelum
membabarkan Dhamma, Sang Buddha menunggu agar diminta.”
51. Guru-guru Sang Buddha
“Sang
Buddha berkata, ‘Aku tidak mempunyai guru.’ Tidak ada yang seperti aku. Di
dunia ini, dengan para dewanya, tak seorang pun yang menyamaiku.’25
Tetapi Beliau juga berkata ‘Karena itulah, O para bhikkhu, Alara si Kalama yang
menjadi guruku, menempatkan aku, muridnya, pada tingkat yang seperti dirinya
dan menghormati aku dengan penghormatan tertinggi.’26 Ini juga
merupakan masalah yang bersisi dua.”
“O baginda, ketika Sang Buddha berbicara mengenai Alara si Kalama sebagai
guru-Nya, Beliau mengacu pada saat Beliau masih menjadi Bodhisatta dan belum
mencapai kebuddhaan. Alara si Kalama semata-mata hanyalah guru untuk
kebijaksanaan duniawi. Untuk masalah-masalah yang luar biasa tingginya -seperti
pengetahuan tentang Empat Kesunyataan Mulia dan nibbana- Beliau
berkata, ‘Aku tidak mempunyai guru. Tidak ada yang seperti aku. Di dunia ini,
dengan para dewanya, tak seorang pun yang menyamaiku.’”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar