Oleh YM. Bhikkhu Sri Pannyavaro
Mahathera
Suatu
hari ada orang yang menghadiri acara yang dilaksanakan dengan duduk bersila
bersama. Dia kehilangan sepatunya. Setelah acara selesai, dia mencari-cari
dimana sepatu yang tadi dia lepaskan sebelum memasuki ruangan itu. Lama dia
mencari hingga semua yang hadir telah maninggalkan tempat, tetapi sepatunya
belum juga ketemu.
Sekarang
pikirannya mulai gelisah, sangat gelisah. Dia kehilangan sepatunya dan menjadi
risau, bagaimana nanti kalau pulang tanpa alas kaki. Tidak hanya gelisah, dia
pun mulai mencurigai orang-orang tertentu sebagai pencuri sepatunya.
Kegelisahan dan kemarahan pun dibawanya sampai ke rumah. Banyak orang di rumah
mendapat porsi kemarahannya juga. Demikian juga sampai malam menjelang tidur,
dia selalu memikirkan siapakah pencuri sepatunya. Sampai waktu tidur, dia pun
bermimpi menemukan kembali sepatunya. Tetapi begitu terbangun, ternyata hanya
mimpi, kecewa sekali. Sepatu yang hilang itu telah menyita waktu bahkan
menyiksa pikirannya selama berhari-hari. Dia penasaran sekali.
Orang itu akhirnya datang kepada saya. Tetapi, bukannya meminta nasihat akan
kepusingannya–setelah dia menceritakan tentang sepatunya yang hilang dan
kepusingannya yang sudah beberapa hari–dia langsung saja bertanya, dimana
sekarang sepatunya itu. Dia menganggap saya mempunyai kemampuan di luar
kemampuan manusia biasa, bisa melihat dari jauh keberadaan sepatunya sekarang.
Saya
menjawab, “Oh ya, saya tahu di mana sekarang sepatu Anda yang hilang itu.”
Seketika wajahnya menjadi berseri-seri. Saya melanjutkan menjawab, ”Sepatu Anda
sekarang berada di dalam pikiran Anda sendiri”.
Dia
sejenak terkejut, tetapi lalu menunduk agak tersipu-sipu malu. Kemudian saya
menjelaskan bahwa kita cenderung menyimpan dan mengumpulkan banyak hal, tidak
mau berlatih melepas, termasuk mangumpulkan masalah, yang kecil-kecil
sekalipun. Kita simpan dan kita bawa kemana-man masalah-masalah yang menyiksa
itu.
Kalau kita belajar melepas milik kita secara benar dengan cara memberikan dana,
memberi amal pertolongan kepada siapapun yang memerlukan–yang sudah tentu
dilakukan sesuai dengan kemampuan kita–maka kita mulai balajar melepas. Tidak
hanya mengikuti keserakahan dengan mencari, mengumpulkan, dan menyimpan. Terus
mencari, mengumpulkan dan menyimpan sepanjang hari, selama hidup. Sulit melatih
diri melepaskan sesuatu untuk kebajikan.
Kalau kita sering dan senang berlatih melepas dengan memberi kebajikan, maka
kalau timbul masalah yang mengganggu pikiran, kita bisa dengan tidak sulit
melepaskannya. Mana yang Anda pilih? Materi Anda tetap utuh tetapi pikiran Anda
kacau, hancur; atau biarlah materi terlepas – kalau memang amat sulit didapat
kembali – asalkan pikiran atau mental Anda tidak hancur. Dalam kehidupan ini,
bukankah kita menginginkan ketentraman?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar