71. Pemberian Vessantara1
“Yang Mulia Nagasena, apakah semua
Bodhisatta memberikan istri dan anaknya atau hanya Vessantara saja?”
“Semuanya.”
“Tetapi apakah semua isteri dan anaknya setuju?”
“Para isteri menyetujuinya, tetapi anak-anaknya tidak setuju, karena usia
mereka yang masih muda.”
“Tetapi apakah tindakan itu bajik, karena anak-anaknya ketakutan dan menangis
ketika mereka ditinggalkan?”
“Ya. Seperti halnya seseorang yang ingin berbuat kebajikan mungkin akan
mengajak orang cacat di dalam keretanya ke mana pun dia pergi sehingga membuat
kerbaunya menderita; atau seperti halnya seorang raja mungkin menarik pajak
untuk dapat berbuat kebajikan yang besar; demikian juga tindakan memberi.
Meskipun hal itu dapat menyebabkan kesedihan yang mendalam bagi beberapa orang,
tetapi akan membawa kelahiran kembali di alam surga. Apakah ada, O baginda,
pemberian yang seharusnya tidak diberikan?”
“Ya, Nagasena, ada sepuluh macam pemberian yang seharusnya tidak diberikan,
pemberian yang akan menyebabkan kelahiran kembali di alam yang menyedihkan:
- pemberian
yang dapat membuat mabuk,
- pemberian
pesta,
- pemberian
wanita,
- pemberian
pria,2
- pemberian
dengan maksud-maksud tertentu,
- pemberian
senjata,
- pemberian
racun,
- pemberian
rantai atau alat penyiksaan,
- pemberian
unggas dan babi,
- pemberian
timbangan dan alat ukur palsu.”
“Saya tidak bertanya tentang
pemberian yang tidak disetujui secara duniawi. Saya bertanya tentang pemberian
yang tidak boleh diberikan sewaktu ada orang yang patut menerimanya.”
“Kalau begitu, Nagasena, tidak ada pemberian yang tidak seharusnya diberikan.
Bilamana keyakinan pada Dhamma telah muncul, beberapa orang memberikan uang
sejumlah seratus ribu, atau sebuah kerajaan, atau bahkan kehidupan mereka.”
“Kalau begitu, mengapa baginda mengkritik pemberian Vessantara dengan begitu
sengitnya? Bukankah terkadang ada kasus di mana seseorang yang terlilit utang
mungkin menjual anaknya atau menanggungkannya sebagai agunan? Demikian juga,
Vessantara memberikan anaknya sebagai tekad bagi pencapaian kemahatahuannya di
masa depan.”
“Tetapi mengapa dia tidak memberikan dirinya sendiri saja?”
“Karena bukan itu yang diminta. Menawarkan sesuatu yang lain akan menjadi
rendah nilainya. Lagipula, O baginda, Vessantara tahu bahwa Brahmana tersebut
tidak akan mampu mempekerjakan anak-anaknya sebagai budak dalam jangka waktu
yang lama karena dia telah lanjut usia dan kakek mereka akan menebus mereka
kembali.”
“Dengan baik sekali, Nagasena, teka-teki ini telah tersingkap dan jaring klenik
telah terobek-robek. Betapa indahnya kata-kata kitab suci dipertahankan ketika
Anda menjelaskan makna yang tersirat. Demikianlah adanya, dan aku menerimanya
seperti kata Anda.”
72. Latihan yang Amat Keras
“Apakah semua Bodhisatta berlatih
amat keras, atau hanya Bodhisatta Gotama?”
“Hanya Bodhisatta Gotama.3 Ada empat perbedaan di antara para
Bodhisatta, yaitu tentang:
- keluarga
(yaitu kasta ksatria atau kasta brahmana),
- lamanya
waktu untuk mengembangkan kesempurnaan,
- masa
hidup, dan
- ketinggiannya.
Tetapi tidak ada perbedaan di antara
para Buddha dalam hal moralitas atau kebijaksanaan. Untuk membawa
pengetahuannya menuju kematanganlah maka beliau harus berlatih amat keras.”
“Kalau begitu, Nagasena, mengapa beliau pergi ketika pengetahuannya masih belum
matang? Mengapa beliau tidak mematangkan pengetahuannya terlebih dahulu dan
kemudian baru meninggalkan kehidupan duniawi?”
“Ketika Bodhisatta, O baginda, melihat wanita di haremnya tidur dengan tidak
keruan, beliau merasa muak dan tidak puas. Ketika melihat bahwa pikiran beliau
dipenuhi ketidakpuasan, Mara berkata, ‘Tujuh hari dari sekarang engkau akan
menjadi Bangsawan Penguasa Dunia.’ Tetapi Sang Bodhisatta malahan merasa
seolah-olah sepotong besi panas masuk ke telinganya, dan beliau dipenuhi
kekhawatiran dan ketakutan. Lebih jauh lagi, O baginda, Sang Bodhisatta
berpikir, ‘Jangan sampai aku dicela oleh para dewa dan manusia karena tidak
memiliki pekerjaan atau sarana. Biarlah aku menjadi orang yang mau bertindak
dan tetap tulus.’ Jadi Sang Bodhisatta menggunakan latihan keras tersebut untuk
mematangkan pengetahuannya.”
“Yang Mulia Nagasena, ketika Sang Bodhisatta sedang menjalani latihan keras,
hal ini muncul di dalam benaknya, ‘Tidakkah mungkin ada jalan lain menuju
pengetahuan yang lebih tinggi yang dapat dicapai orang mulia?’ Apakah kemudian
beliau bingung mengenai jalan yang benar itu?”
“Ada dua puluh lima kondisi, O baginda, yang menyebabkan lemahnya pikiran: 1.
kemarahan; 2. permusuhan; 3. kemunafikan; 4. kecongkakan; 5. keirihatian; 6.
ketamakan; 7. kebohongan; 8. pengkhianatan; 9. kekeraskepalaan;10. suka
melawan; 11. kesombongan; 12. suka pujian; 13. pandangan yang berlebihan
mengenai kesehatan, kelahiran, kekayaan; 14. ketidakpedulian; 15. keengganan;
16. rasa mengantuk dan malas; 17. teman yang jahat; 18. objek yang terlihat;
19. suara; 20. bau; 21. cita rasa; 22. sensasi sentuhan; 23. rasa lapar; 24.
rasa haus; dan 25. ketidakpuasan. Pada saat itu rasa lapar serta rasa hauslah
yang menguasai tubuhnya sehingga pikirannya menjadi tidak terarah dengan benar
untuk memusnahkan banjir (asava). Sang Bodhisatta telah mencari
penembusan Empat Kesunyataan Mulia selama beberapa mahakalpa, jadi bagaimana
mungkin dapat muncul kebingungan di dalam pikirannya tentang Sang Jalan?
Meskipun demikian, beliau berpikir, ‘Tidakkah mungkin ada jalan lain untuk
mencapai kebijaksanaan?’ Sebelumnya, ketika masih berusia beberapa tahun Sang
Bodhisatta telah mencapai empat pencerapan (jhana) ketika sedang
bermeditasi di bawah pohon apel-mawar ketika ayahnya sedang membajak.”4
“Bagus sekali, Nagasena, aku menerimanya seperti apa yang Anda katakan. Ketika
sedang membawa pengetahuannya menuju kematangan itulah Sang Bodhisatta berlatih
amat keras.”
73. Kekuatan Kejahatan
“Manakah yang lebih kuat, kebajikan
atau ketidakbajikan?”5
“Kebajikan lebih kuat, O baginda.”
“Hal itu tidak dapat aku percaya. Orang-orang yang melakukan kejahatan sering
mengalami hasil perbuatannya pada kehidupan sekarang ini juga ketika mereka
dihukum karena kejahatannya.6 Tetapi apakah ada orang yang -karena
memberikan persembahan bagi Sangha atau menjalankan Uposatha- menerima
manfaatnya pada kehidupan sekarang ini juga?”
“Ada, O baginda, enam7 kasus seperti itu.
- Si
budak, Punnaka,8 dengan memberikan dana makanan kepada
Sariputta, pada hari yang sama diangkat menjadi bendahara.
- Kemudian
ada juga ibu kandung Gopala, yang menjual rambutnya agar dapat memberikan
makanan kepada Maha Kaccayana, dan sebagai hasilnya menjadi permaisuri
Raja Udena.
- Si
wanita saleh Suppiya, yang memotong daging di pahanya untuk memberi makan
seorang bhikkhu yang sakit dan keesokan harinya luka di pahanya sembuh.
- Mallika
-ketika masih menjadi seorang budak wanita memberikan makanannya sendiri
kepada Sang Buddha dan pada hari itu juga menjadi permaisuri di Kosala.
- Sumana,
tukang bunga, yang memberikan delapan ikat bunga melati kepada Sang
Buddha, memperoleh kemakmuran yang melimpah.
- Ekasataka
si Brahmana yang memberikan satu-satunya pakaian luarnya kepada Sang
Buddha, dan pada hari itu juga menerima pemberian ‘Serba Delapan’.”9
“Jadi Nagasena, dari semua
penyelidikan Anda, hanya enam kasuskah yang ditemukan?”
“Demikianlah, O baginda.”
“Kalau begitu, ketidakbajikan lebih kuat daripada kebajikan. Karena aku telah
melihat banyak orang ditusuk dengan senjata tajam sebagai hukuman atas
perbuatan jahat mereka. Dan di dalam peperangan yang dipimpin oleh Jenderal
Bhaddasala mewakili keluarga kerajaan Nanda melawan Chandagutta ada delapan
puluh Tarian Mayat. Dikatakan bahwa ketika terjadi pembantaian besar-besaran,
mayat-mayat tanpa kepala tersebut bangkit kembali dan menari di medan perang.
Dan semua orang itu hancur sebagai buah dari perbuatan jahat mereka. Tetapi
ketika Raja Pasenadi -raja Kosala- memberikan persembahan dana makanan yang
tidak tertandingi, apakah di kehidupan itu juga dia menerima kekayaan atau
keagungan atau kebahagiaan?”
“Tidak, O baginda, tidak.”
“Kalau begitu, Nagasena, tentu saja ketidakbajikan lebih kuat daripada
kebajikan.”
“Seperti halnya, O baginda, padi yang jelek akan masak dalam waktu satu atau
dua bulan, tetapi padi yang baik akan masak baru setelah lima atau enam bulan;
demikian juga perbuatan bajik akan berbuah setelah jangka waktu yang lama.
Lebih jauh lagi, O baginda, hasil dari perbuatan bajik maupun perbuatan jahat
akan dialami di dalam kehidupan yang akan datang; tetapi karena kejahatan itu
tercela, maka ditetapkan bahwa mereka yang berbuat jahat akan dihukum sesuai
undang-undang. Sebaliknya, mereka yang berbuat bajik tidak mendapat hadiah.
Jika seandainya ditetapkan suatu hukum untuk memberikan hadiah kepada pelaku
perbuatan bajik, maka perbuatan-perbuatan bajik juga akan menghasilkan buah di
dalam kehidupan ini juga.”
“Bagus sekali, Nagasena, hanya oleh orang sebijaksana Anda teka-teki semacam
ini dapat diselesaikan. Pertanyaan yang kuajukan dari sudut pandang yang biasa
telah Anda jelaskan dengan pengertian yang luar biasa.”
74. Membagikan Jasa
“Apakah ada kemungkinan bagi
keluarga yang telah meninggal untuk ikut menerima jasa dari suatu perbuatan
bajik?”
“Tidak. Hanya mereka yang dilahirkan sebagai setan kelaparan yang makanannya
adalah perbuatan bajik orang lainlah yang dapat ikut menerima jasa. Mereka yang
dilahirkan di neraka, surga, terlahir sebagai binatang, setan kelaparan yang
makanannya muntahan, atau setan yang selalu lapar dan haus, atau setan
kelaparan yang dipenuhi nafsu keinginan, tidak akan mendapatkan manfaat.”
“Kalau begitu, persembahan di dalam kasus-kasus itu tidak ada gunanya, karena
mereka yang diberi tidak mendapat manfaat.”
“Tidak demikian, O baginda. Persembahan-persembahan itu bukannya tidak berbuah
atau tanpa hasil, karena si pemberi sendiri mendapat manfaat darinya.”
“Yakinkanlah aku dengan alasan.”
“Bila beberapa orang telah menyiapkan hidangan dan mengunjungi sanak
saudaranya, tetapi sanak saudara mereka tidak menerima pemberian itu, apakah
pemberian tersebut menjadi sia-sia?”
“Tidak, Yang Mulia, si pemilik sendiri dapat memakannya.”
“Demikian juga, O baginda, si pemberi persembahan mendapatkan mafaat dari
persembahan dana tersebut.”
“Kalau begitu, apakah juga mungkin membagikan ketidakbajikan?”
“Ini bukanlah pertanyaan yang patut diajukan, O baginda. Anda kemudian akan
bertanya kepada saya mengapa ruang angkasa tidak berbatas dan mengapa manusia
dan burung berkaki dua sedangkan rusa berkaki empat!”
“Aku tidak bertanya begitu untuk menjengkelkan Anda, tetapi ada banyak orang di
dunia ini yang bertujuan jahat10 atau tidak dapat melihat.”11
“Meskipun air dari dalam tangki dapat digunakan untuk membuat tanaman tumbuh
dan berbuah, tetapi air laut tidak mungkin digunakan. Perbuatan jahat tidak
dapat dibagikan kepada siapa pun yang tidak melakukannya dan tidak
menyetujuinya. Orang dapat mengalirkan air ke tempat yang jauh dengan
mengunakan pipa tetapi mereka tidak dapat mengalirkan batu yang padat dengan
cara yang sama. Ketidakbajikan adalah sesuatu yang jahat, sedangkan kebajikan
adalah sesuatu yang luar biasa.”
“Berikanlah ilustrasi.”
“Jika setetes air jatuh ke tanah, apakah air itu dapat mengalir sepanjang lima
puluh atau enam puluh kilometer?”
“Tentu saja tidak, Yang Mulia. Titik air itu hanya akan mempengaruhi tanah di
mana ia jatuh.”
“Mengapa demikian?”
“Karena sifat sedikitnya.”
“Demikian juga, O baginda, ketidakbajikan adalah sesuatu yang jahat dan karena
sifat sedikitnya, ia hanya dapat mempengaruhi si pelaku saja dan tidak dapat
dibagikan. Tetapi jika ada hujan badai yang sangat hebat, apakah airnya akan
sampai ke mana-mana?”
“Tentu saja, Yang Mulia, bahkan bisa sejauh lima puluh atau enam puluh
kilometer.”
“Demikian juga, O baginda, kebajikan adalah sesuatu yang hebat dan karena sifat
melimpahnya, ia dapat dibagikan baik kepada manusia maupun dewa.”
“Yang Mulia Nagasena, mengapa ketidakbajikan begitu terbatas sifatnya,
sedangkan kebajikan dapat menjangkau lebih jauh?”
“Siapa pun, O baginda, yang memberikan persembahan, menjalankan moralitas dan
mempraktekkan Uposatha, dia akan merasa gembira dan damai. Karena damai,
kebajikannya bahkan menjadi makin melimpah. Bagaikan kolam yang segera terisi
penuh lagi dari segala arah setelah air mengalir keluar dari satu sisi.
Demikian juga, O baginda, jika seseorang mengirimkan kebajikan yang telah
dilakukannya kepada orang lain, bahkan selama seratus tahun pun kebajikannya
akan semakin bertumbuh. Itulah sebabnya kebajikan begitu hebat. Tetapi dengan
perbuatan jahat, O baginda, orang akan dipenuhi oleh penyesalan dan pikirannya
tidak akan dapat terlepas dari buah pikir tentang hal itu. Dia akan merasa
tertekan dan tidak memperoleh kedamaian, karena merasa sengsara dan putus asa
dia menjadi tersia-sia. Seperti halnya, O baginda, setetes air yang jatuh di
sungai yang kering tidak akan menambah isi sungai itu melainkan langsung
tertelan di tempat itu juga. Itulah sebabnya ketidakbajikan sangat jahat dan
mempunyai sifat sedikit.”
75. Mimpi
“Apakah sesuatu yang disebut mimpi
itu dan siapakah yang bermimpi?”
“Mimpi adalah tanda yang datang melintasi jalur pikiran. Dan ada enam jenis
orang yang bermimpi, yaitu orang yang dipengaruhi:
- oleh
angin;
- oleh
empedu,
- oleh
lendir,
- oleh
dewa,
- oleh
kebiasaannya sendiri, dan
- oleh
firasat.
Hanya yang terakhir inilah yang
benar, sedang yang lain semuanya tidak benar.”
“Ketika orang bermimpi, apakah dia sedang terjaga atau tidur?”
“Tidak kedua-duanya. Dia bermimpi ketika sedang ‘tidur-tidur ayam’, yaitu
keadaan antara tidur dan sadar.”
76. Kematian Prematur
“Yang Mulia Nagasena, apakah semua
makhluk hidup mati ketika jangka waktu hidup mereka telah berakhir, atau apakah
beberapa di antaranya mati prematur?”
“Keduanya, O baginda. Seperti buah di pohon yang terkadang jatuh ketika telah
masak dan terkadang sebelum masak karena pengaruh angin, atau serangga, atau
tongkat. Demikian juga beberapa makhluk mati ketika jangka waktu hidup mereka
telah berakhir, tetapi ada juga yang mati prematur.”
“Tetapi Nagasena, semua yang mati sebelum waktunya tersebut, baik yang tua atau
muda, telah mencapai akhir dari jangka waktu hidup yang telah ditentukan sebelumnya.
Jadi tidak ada yang dinamakan mati prematur.”
“O baginda, ada tujuh macam kematian prematur bagi mereka yang mati secara
prematur, walaupun mereka itu sebenarnya masih mempunyai sisa waktu hidup:
- karena
kelaparan,
- kehausan,
- gigitan
ular,
- racun,
- api,
- tenggelam,
- senjata.
Dan kematian datang melalui delapan
cara:
- melalui
angin,
- empedu,
- lendir,
- campuran
cairan tubuh,
- perubahan
temperatur,
- tekanan
keadaan lingkungan,
- pengaruh
luar, dan
- karma.12
Dan dari semua tadi, hanya yang
melalui karma saja yang disebut akhir dari jangka waktu hidupnya. Yang lain
semuanya prematur.”
“Yang Mulia Nagasena, Anda mengatakan ada kematian prematur. Berikanlah alasan
lain untuk itu.”
“Api besar, O baginda, yang kehabisan tenaga dan mati ketika bahan bakarnya
telah habis -bukan sebelumnya karena berbagai penyebab lain- dikatakan telah
mati pada waktunya. Demikian juga dengan orang yang mati dalam usia tua -tanpa
ada kecelakaan apa pun- dikatakan telah mencapai akhir jangka waktu hidupnya.
Tetapi di dalam kasus api yang dipadamkan oleh hujan deras, tidak dapat
dikatakan bahwa api itu telah mati pada waktunya. Demikian juga, siapa pun yang
mati sebelum waktunya karena penyebab selain karma dikatakan mati prematur.”
77. Mukjizat di Tempat Pemujaan Para
Arahat
“Apakah ada mukjizat di tempat
pemujaan (cetiya) semua Arahat atau hanya pada cetiya beberapa
Arahat saja?”
“Hanya pada beberapa. Dengan tekad kemauan keras dari tiga macam individu maka
akan terjadi mukjizat:
- oleh
seorang Arahat ketika beliau masih hidup,
- oleh
para dewa, atau
- oleh
seorang siswa bijaksana yang mempunyai keyakinan.
Jika tidak ada tekad kemauan keras
maka tidak akan ada mukjizat, sekalipun di tempat pemujaan para Arahat yang
mempunyai kekuatan supra-normal. Tetapi meskipun tidak ada mukjizat, orang
harus mempunyai keyakinan terhadap mereka setelah mengetahui perilaku mereka
yang murni tanpa cela.”
78. Dapatkah Semua Memahami Dhamma?
“Apakah semua yang berlatih dengan
benar mencapai pandangan terang mengenai Dhamma, atau adakah beberapa yang
tidak mencapainya?”
“Tidak akan ada pencapaian pandangan terang bagi mereka yang -meskipun telah
berlatih dengan benar- merupakan binatang, setan kelaparan, para penganut
pandangan salah, penipu, pembunuh ibu, pembunuh ayah, pembunuh Arahat, pemecah
belah Sangha, yang melukai seorang Tathagata, yang memakai jubah dengan
mencurinya,13 yang berpindah ke sekte lain, yang bertindak kejam
kepada bhikkhuni, menyembunyikan pelanggaran yang menyebabkan perlunya
pertemuan Sangha,14 orang kasim atau banci. Demikian juga anak yang
berusia di bawah tujuh tahun tidak akan mampu mewujudkan Dhamma.”
“Apakah alasannya sehingga anak yang berusia di bawah tujuh tahun tidak dapat
mencapai pandangan terang? Bukankah pikiran seorang anak itu murni dan
seharusnya siap untuk mewujudkan Dhamma?”
“Jika seandainya saja, baginda, seorang anak di bawah tujuh tahun dapat
merasakan nafsu untuk hal-hal yang menyebabkan nafsu, dapat merasakan kebencian
untuk hal-hal yang menimbulkan kebencian, dapat dibodohi oleh hal-hal yang
menyesatkan dan dapat membedakan antara kebajikan dan ketidakbajikan, maka
pandangan terang adalah mungkin baginya. Tetapi, baginda, pikiran anak yang
berusia di bawah tujuh tahun masih lemah sedangkan unsur nibbana yang
tak-terkondisi itu berat dan dalam. Oleh karenanya, O baginda, meskipun
berlatih dengan benar, anak yang berusia di bawah tujuh tahun tidak dapat
mewujudkan Dhamma.”
79. Kebahagiaan Nibbana
“Apakah nibbana itu
sepenuhnya membahagiakan ataukah sebagian menyakitkan?”
“Sepenuhnya membahagiakan.”
“Hal itu tidak dapat aku terima. Mereka yang mencarinya harus berlatih amat
keras dan berjuang amat keras dengan tubuh dan pikiran, tidak makan kecuali
pada saat yang tepat, mengurangi tidur, mengendalikan indera, dan mereka harus
meninggalkan kekayaan, keluarga, dan teman-temannya. Mereka yang menikmati
kesenangan-kesenangan indera merasa bahagia tetapi Anda mengendalikan diri dan
mencegah kenikmatan semacam itu sehingga mengalami ketidaknyamanan dan rasa
sakit secara fisik maupun mental.”
“O baginda, nibbana tidak mempunyai rasa sakit. Apa yang baginda sebut
rasa sakit itu bukanlah nibbana. Memang benar bahwa mereka yang sedang
mencari nibbana akan mengalami rasa sakit dan ketidaknyamanan, tetapi
sesudah itu mereka akan mengalami kebahagiaan nibbana yang tidak
ternoda. Saya akan memberikan alasan untuk itu. Apakah ada, O baginda, suatu
kebahagiaan tertentu yang diperoleh karena kedaulatan raja?”
“Ya, ada.”
“Apakah hal itu bercampur dengan rasa sakit?”
“Tidak.”
“Kalau begitu, O baginda, mengapa bila prajurit daerah-daerah di perbatasan
memberontak, raja-raja harus meninggalkan istananya dan menempuh perjalanan di
tanah yang tidak rata, menderita akibat gigitan nyamuk dan angin yang panas,
dan terlibat pertempuran sengit yang membahayakan nyawa mereka?”
“Itu, Yang Mulia Nagasena, bukanlah kebahagiaan dari kedaulatan raja. Itu
hanyalah tahap awal dari pencarian kebahagiaan tersebut. Baru sesudah
memenangkan pertempuran maka mereka dapat menikmati kebahagiaan suatu
kedaulatan. Dan kebahagiaan itu, Nagasena, tidak bercampur dengan rasa sakit.”
“Demikian juga, O baginda, nibbana adalah kebahagiaan yang tidak
ternoda, dan tidak ada rasa sakit yang tercampur di dalamnya.”
80. Gambaran tentang Nibbana
“Apakah mungkin, Nagasena,
menunjukkan ukuran, bentuk, atau jangka waktu nibbana dengan menggunakan
perumpamaan?”
“Tidak, hal itu tidak mungkin. Tidak ada hal lain yang menyerupainya.”
“Apakah ada sifat nibbana yang terdapat pada hal-hal lain yang dapat
ditunjukkan dengan perumpamaan?”
“Ya, itu dapat dilakukan.
“Bagaikan teratai yang tidak basah oleh air, nibbana tidak tercemar oleh
kegelapan batin.
“Bagaikan air, nibbana mendinginkan panasnya kegelapan batin dan
meredakan nafsu keinginan.
“Bagaikan obat, nibbana melindungi makhluk yang terkena racun kegelapan
batin, menyembuhkan penyakit penderitaan, dan memberi gizi seperti nektar.
“Bagaikan samudera yang kosong dari mayat, nibbana sama sekali kosong
dari kegelapan batin; seperti samudera yang tidak bertambah walaupun semua air
sungai mengalir ke dalamnya, demikian juga nibbana tidak akan bertambah
dengan semua makhluk yang mencapainya; nibbana adalah tempat bagi para
makhluk agung (para Arahat), dan ia dihiasi oleh gelombang pengetahuan dan
kebebasan.
“Bagaikan makanan yang menopang kehidupan, nibbana menyingkirkan usia
tua dan kematian; nibbana meningkatkan kekuatan spiritual para makhluk; nibbana
memberikan keindahan moralitas, nibbana menghilangkan tekanan kegelapan
batin, nibbana menghalau kelelahan semua penderitaan.
“Bagaikan ruang, nibbana tidak dilahirkan, tidak lapuk ataupun hancur, nibbana
tidak berlalu di sini dan muncul di tempat lain, nibbana tidak
terkalahkan, pencuri tidak dapat mengambilnya, nibbana tidak terikat
pada apa pun, nibbana adalah lingkup bagi para Ariya ibarat
burung-burung di angkasa, nibbana tidak terhalangi dan tidak terhingga.
“Bagaikan permata yang bisa mengabulkan segala permintaan, nibbana
memenuhi semua keinginan, menyebabkan sukacita dan berkilau.
“Bagaikan kayu cendana merah, nibbana sulit didapat, keharumannya tak
ada bandingnya dan nibbana dipuji orang-orang bajik.
“Bagaikan ghee yang dikenal karena sifat khasnya, begitu juga nibbana
mempunyai sifat khas sendiri; seperti ghee yang beraroma harum, begitu
juga nibbana memiliki keharuman moralitas; seperti ghee yang
mempunyai cita rasa yang lezat, begitu juga nibbana mempunyai kelezatan
cita rasa kebebasan.”
“Bagaikan puncak gunung, nibbana sangat tinggi, tidak tergoyahkan, tidak
ada jalan masuk bagi kegelapan batin; nibbana tidak mempunyai ruang bagi
kegelapan untuk dapat tumbuh, dan nibbana tidak memihak atau berprasangka.”
81. Perwujudan Nibbana
“Anda mengatakan, Nagasena, bahwa nibbana
itu bukan masa lalu, bukan masa kini, dan bukan masa mendatang, bukan timbul
dan bukan pula tidak-timbul, dan tidak dapat dihasilkan.15 Dalam hal
itu, apakah orang yang mewujudkan nibbana berarti mewujudkan sesuatu
yang telah dihasilkan, atau dia sendiri yang pertama-tama menghasilkannya dan
baru kemudian mewujudkannya?”
“Bukan itu semua O baginda, tetapi nibbana itu benar-benar ada.”
“Nagasena, janganlah menjawab pertanyaan ini dengan membuatnya semakin kabur.
Jelaskanlah dan babarkanlah. Nibbana merupakan titik yang membuat banyak
orang menjadi bingung dan tersesat di dalam keraguan. Patahkanlah anak panah
ketidakpastian ini.”
“Unsur nibbana itu benar-benar ada, O baginda. Bila orang telah berlatih
dengan benar dan sungguh-sungguh mengerti bentukan-bentukan menurut apa yang
telah diajarkan oleh Sang Penakluk, maka dengan kebijaksanaannya dia mewujudkan
nibbana.
“Dan bagaimanakah nibbana ditunjukkan? Dengan terbebasnya dari rasa tertekan
dan bahaya, dengan kemurnian dan kesejukan. Seperti halnya seseorang, yang
ketakutan dan ngeri karena telah terjatuh ke tangan musuh, akan merasa lega dan
sangat berbahagia ketika dia dapat meloloskan diri ke tempat yang aman; atau
seperti halnya seseorang yang terjatuh di lubang yang penuh kotoran akan merasa
lega dan gembira setelah keluar dari lubang itu dan membersihkan diri; seperti
halnya seorang yang terjebak api di hutan akan menjadi tenang dan merasakan
kesejukan setelah dia mencapai daerah yang aman. Baginda seharusnya menganggap
kecemasan yang timbul terus-menerus karena kelahiran, usia tua, penyakit dan
kematian itu sebagai sesuatu yang menakutkan dan mengerikan. Baginda seharusnya
menganggap keuntungan, kehormatan dan ketenaran itu sebagai kotoran. Baginda
seharusnya menganggap api berunsur tiga -lobha (keserakahan), dosa
(kebencian) dan moha (kegelapan batin)- sebagai sesuatu yang panas dan
menusuk.
“Dan bagaimana orang yang berlatih dengan benar dapat mewujudkan nibbana?
Dengan benar dia memahami sifat bentukan yang terus berputar dan di sana dia
hanya melihat kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian; dia tidak melihat
sesuatu yang menyenangkan atau yang serasi di bagian mana pun juga. Karena
melihat bahwa tidak ada yang dapat dilekati di sana, bagaikan berada di atas
bola besi yang panas membara, pikirannya dipenuhi dengan ketidakpuasan, dan
panas menjalar di seluruh tubuhnya; karena merasa putus asa dan tanpa
perlindungan, dia menjadi muak dengan kehidupan yang berulang-ulang. Dan bagi orang
yang melihat ngerinya rantai kehidupan yang terus berjalan, timbullah
pemikiran: ‘Roda kehidupan ini berada di atas api dan menyala, penuh dengan
penderitaan dan keputusasaan. Jika saja ada akhir dari semua ini, akhir itu
akan penuh dengan kedamaian, dan hal itu luar biasa; berhentinya semua bentukan
mental, lepasnya kemelekatan, musnahnya keserakahan, hancurnya nafsu keinginan,
berhentinya penderitaan, nibbana!
“Dari situ pikirannya melompat ke depan menuju keadaan di mana tidak ada lagi
dumadi. Pada saat itulah dia menemukan kedamaian, kemudian dia bersyukur dan
bersukacita pada pemikiran: ‘Sebuah perlindungan akhirnya ditemukan!’ Dia terus
berusaha keras di dalam Sang Jalan untuk menghentikan segala bentukan,
menemukan caranya, mengembangkannya, dan memanfaatkan sebaik-baiknya. Untuk
tujuan itulah dia membangkitkan kewaspadaan, semangat dan sukacitanya; dan
dengan berulang-ulang memperhatikan pemikiran itu [muak pada bentukan-bentukan
mental], setelah melampaui rantai kehidupan yang terus berjalan, dia dapat
memutuskan lingkaran itu. Orang yang telah memutuskan rantai kehidupan yang
terus berjalan ini dikatakan telah mewujudkan nibbana.”16
82. Di manakah Nibbana?
“Apakah ada tempat, Nagasena, di
mana nibbana tersimpan?”
“Tidak, tidak ada, tetapi nibbana itu sungguh-sungguh ada. Seperti
halnya tidak ada tempat di mana api disimpan tetapi api dapat dihasilkan dengan
menggosokkan dua batang kayu kering.”
“Tetapi adakah tempat di mana orang bisa berdiri dan mewujudkan nibbana?”
“Ya, ada; moralitas adalah tempatnya;17 dengan berdiri di atas
moralitas, dan dengan penalaran, di mana pun dia berada, bisa di Sychtia atau
di Bactria, di China atau Tibet,18 di Kashmir atau Gandhara, di
puncak gunung atau surga tertinggi, orang yang berlatih dengan benar dapat
mewujudkan nibbana.”
“Bagus sekali, Nagasena, Anda telah mengajarkan nibbana, telah
menjelaskan tentang perwujudan nibbana, telah memuji kualitas moralitas,
menunjukkan cara berlatih yang benar, menjunjung tinggi panji-panji Dhamma,
memantapkan Dhamma sebagai prinsip utama. Tidak akan sia-sia atau tanpa buah
usaha orang-orang yang mempunyai tujuan yang benar.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar