PROLOG
Di
kota Sagala bertahta Raja Milinda, orang yang sangat pandai dalam bidang seni
dan ilmu pengetahuan, dengan sifatnya yang sangat ingin tahu. Dia pandai
berdebat tetapi selama itu tak seorang pun mampu menghapus keraguannya mengenai
persoalan keagamaan. Raja telah menanyai guru-guru terkenal tetapi tak satu pun
yang memuaskan hatinya.
Assagutta,
salah satu dari sekian banyak Arahat yang hidup di pegunungan Himalaya, dengan
kekuatan supra-normalnya mengetahui keraguan raja. Maka dia lalu mengadakan
pertemuan untuk bertanya apakah ada orang yang dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan raja. Karena tak ada yang sanggup, maka mereka semua naik
ke Surga Tiga Puluh Tiga dan memohon pada Dewa Mahasena agar lahir sebagai
manusia sehingga agama dapat terlindungi. Salah satu bhikkhu yang bernama
Rohana setuju pergi ke Kajangala di mana Mahasena telah lahir kembali dan
menungguinya sampai besar. Ayah si anak, Brahmana Sonuttara, menyuruh agar
anaknya mempelajari tiga Kitab Veda, tetapi si anak, Nagasena, menyatakan:
“Ketiga
kitab Veda ini kosong, dan bagaikan sekam!
Di dalamnya tak ada realita, kebenaran yang penting atau berharga.”
Menyadari
bahwa anak ini telah siap, Rohana lalu muncul. Kedua orang tua Nagasena menyetujui
anaknya menjadi samanera. Maka Nagasena mempelajari Abhidhamma. Setelah
menguasai dengan sempurna pengetahuan tentang tujuh buku Abhidhamma, Nagasena
diizinkan masuk ke Sangha para bhikkhu dan Rohana mengirimnya ke Petapaan
Vattaniya untuk belajar dari Assagutta. Sementara menghabiskan musim penghujan
di sana, Nagasena diminta berkhotbah pada seorang wanita saleh yang merupakan
pendukung Assagutta. Sebagai hasil dari percakapan ini, baik si wanita maupun
Nagasena mencapai dhammacakkhu: pengetahuan bahwa apa pun yang mempunyai awal
juga pasti bersifat mempunyai akhir. Assagutta kemudian mengirim Nagasena
kepada Dhammarakkhita di Taman Asoka di Pataliputta. Di sana, dalam waktu tiga
bulan, Nagasena telah menguasai kitab-kitab Tipitaka lainnya. Dhammarakkhita
mengingatkan muridnya agar tidak hanya puas dengan pengetahuan dari buku saja.
Pada malam hari itu juga, Nagasena -si murid yang rajin itu- mencapai tingkat
Arahat. Kemudian dia pergi bergabung dengan para Arahat lainnya yang masih
tinggal di Himalaya. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Nagasena siap untuk
berdebat dengan siapa pun.
Sementara
itu, Raja Milinda terus melanjutkan pencaharian spritualnya dengan cara
mengunjungi bhikkhu Ayupala di Petapaan Samkheyya dan bertanya mengapa para
bhikkhu meninggalkan kehidupan duniawi. Bhikkhu itu menjawab, “Agar dapat hidup
dengan benar dan berada dalam ketenangan spiritual.” Lalu raja pun bertanya,
“Adakah, Yang Mulia, orang awam yang hidup sedemikian itu?” Sang bhikkhu
mengakui bahwa banyak orang awam seperti itu. Maka raja pun berkata dengan
pedas:
“Kalau begitu, Yang Mulia Ayupala, tidak ada gunanya meninggalkan kehidupan
duniawi. Pastilah karena dosa-dosa yang telah dilakukan di dalam kehidupan
sebelumnya maka para petapa meninggalkan kehidupan duniawi, dan bahkan
menjalani juga praktek-praktek penyiksaan petapa seperti misalnya: hanya
mengenakan pakaian dari kain buruk, makan hanya sekali sehari, atau tidak tidur
berbaring. Di situ tidak ada nilai-nilai luhur, tidak ada pantangan yang
bermanfaat, tidak ada kehidupan yang benar!”
Setelah
raja berkata demikian, Bhikkhu Ayupala terdiam dan tidak berkata apa pun. Lalu
lima ratus orang Yunani Bactria yang menemani raja berkata: “Sang bhikkhu itu
terpelajar tetapi dia tidak berani, jadi dia tidak menjawab.” Mendengar ini,
raja berseru: “Seluruh India ini kosong, bagai sekam! Tidak ada orang yang
mampu berdebat denganku dan mampu mengusir keraguanku!”
Tetapi
orang-orang Yunani Bactria masih tidak bergerak, maka raja pun bertanya lagi,
“Hai para pengawalku yang setia, adakah orang terpelajar lain yang mampu
berdiskusi denganku dan dapat mengusir keraguanku?”
Maka
menteri Devamantiya berkata, “Ada, baginda yang agung, seorang bhikkhu bernama
Nagasena yang terpelajar, bersifat tenang namun penuh dengan keberanian. Beliau
mampu berdiskusi dengan baginda. Sekarang ini beliau tinggal di Petapaan
Samkheyya. Baginda harus pergi ke sana dan mengajukan pertanyaan kepadanya.”
Pada waktu nama ‘Nagasena’ disebut, raja menjadi gelisah dan bulu romanya
berdiri. Kemudian raja mengirimkan utusan ke sana untuk memberitahukan
kedatangannya. Diiringi lima ratus orang Yunani Bactria, raja menaiki kereta
kencananya dan pergi menuju tempat tinggal Nagasena.
BAB
SATU
JIWA
Raja
Milinda pergi menemui Bhikkhu Nagasena. Setelah saling mengucapkan salam
persahabatan secara sopan, raja duduk dengan hormat di satu sisi. Milinda mulai
bertanya:
1.
“Apa sebutan Yang Mulia dan siapakah nama Anda?”
“Baginda, saya disebut Nagasena. Namun itu hanyalah rujukan dalam penggunaan
umum, karena sebenarnya tidak ada individu permanen yang dapat ditemukan.”
Mendengar itu, Milinda mengundang orang-orang Yunani Bactria serta para bhikkhu
untuk menjadi saksi: “Nagasena ini berkata bahwa tidak ada individu permanen
yang tersirat di dalam namanya. Mungkinkah hal seperti itu diterima?” Kemudian
dia berbalik kepada Nagasena dan berkata, “Yang Mulia Nagasena, jika hal
tersebut benar, lalu siapakah yang memberi Anda jubah, makanan dan tempat
tinggal? Siapakah yang menjalani kehidupan dengan benar? Atau juga, siapakah
yang membunuh makhluk hidup, mencuri, berzinah, berbohong dan mabuk-mabukan?
Jika apa yang Anda katakan itu benar, maka tidak ada perbuatan yang bajik atau
perbuatan yang tercela, tidak ada pelaku kebajikan atau pelaku kejahatan, dan
tidak ada hasil karma. Yang Mulia, seandainya saja seseorang membunuh Anda,
maka tidak akan ada pembunuh. Dan itu juga berarti tidak ada master atau guru
di dalam Sangha Anda. Anda katakan bahwa Anda disebut Nagasena. Nah, apa itu
Nagasena? Apakah rambutnya?”
“Saya tidak mengatakan demikian, raja yang agung.”
“Kalau begitu, apakah kukunya, giginya, kulitnya atau bagian tubuh lainnya?”
“Tentu saja tidak.”
“Atau apakah tubuhnya, atau perasaannya, atau pencerapannya, atau bentuk-bentuk
pikirannya, atau kesadarannya?1 Ataukah gabungan dari itu semua? Ataukah
sesuatu di luar semua itu yang disebut Nagasena?”
Masih saja Nagasena menjawab: “Bukan semuanya itu.”
“Kalau begitu, dapat dikatakan bahwa aku tidak dapat menemukan Nagasena itu.
Nagasena hanyalah omong kosong. Lalu siapakah yang kami lihat di depan mata
ini? Yang Mulia telah berdusta.”
“Baginda, tuan telah dibesarkan di dalam kemewahan sejak dilahirkan. Bagaimana
tadi baginda datang kemari, berjalan kaki atau naik kereta?”
“Naik kereta, Yang Mulia.”
“Kalau begitu, tolong jelaskan apakah kereta itu? Apakah porosnya? Apakah
rodanya, atau sasisnya, atau kendalinya, atau kuknya, yang disebut kereta?
Ataukah gabungan dari itu semua, ataukah sesuatu di luar semua itu?”
“Bukan semuanya itu, Yang Mulia.”
“Kalau begitu, baginda, kereta ini hanyalah omong kosong. Baginda berdusta
ketika berkata datang kemari naik kereta. Baginda adalah raja yang besar di
India. Siapa yang baginda takuti sehingga baginda berdusta?” Kemudian Nagasena
memanggil orang-orang Yunani Bactria dan para bhikkhu untuk menjadi saksi:
“Raja Milinda ini telah berkata bahwa beliau datang kemari naik kereta, tetapi
ketika ditanya, ‘Apakah kereta itu?’ beliau tidak dapat menunjukkannya.
Dapatkah hal ini diterima?”
Maka secara serempak ke-500 orang Yunani Bactria itu berteriak bersama-sama
kepada raja, “Jawablah bila baginda bisa!”
“Yang Mulia, aku telah berkata benar. Karena mempunyai semua bagian itulah maka
ia disebut kereta.”
“Bagus sekali. Baginda akhirnya dapat menangkap artinya dengan benar. Demikian
pula, karena adanya tiga puluh dua jenis materi organik2 di dalam tubuh manusia
beserta lima unsur makhluklah maka saya disebut Nagasena. Seperti yang telah
dikatakan oleh Bhikkhuni Vajira di hadapan Sang Buddha yang Agung, ‘Seperti
halnya karena memiliki berbagai bagian itu maka kata ‘kereta’ digunakan,
demikian juga bila ada unsur-unsur makhluk maka kata ‘makhluk’ digunakan.’”3
“Sangat indah Nagasena, sungguh luar biasa teka-teki ini telah Anda pecahkan,
meskipun sulit. Seandainya Sang Buddha berada di sini pun Beliau pasti akan menyetujui
jawaban Anda.”
2.
“Berapa musim penghujan (masa vassa) yang telah Anda jalani, Nagasena?”
“Tujuh, baginda.”
“Tetapi bagaimana dapat Anda katakan tujuh; apakah Anda yang tujuh atau
jumlahnya yang tujuh?”
Lalu Nagasena menjawab, “Bayang-bayang baginda sekarang ada di tanah. Apakah
baginda rajanya atau bayang-bayang itu rajanya?”
“Akulah rajanya, Nagasena, tetapi bayang-bayang itu ada karena aku.”
“Demikian juga, O baginda, jumlah tahunnya tujuh, saya tidaklah tujuh. Tetapi
karena sayalah angka tujuh itu ada dan merupakan milik saya, sama seperti
bayang-bayang itu merupakan milik baginda.”
“Sungguh hebat, Nagasena, dan sangat luar biasa. Dengan baik teka-teki ini
telah Anda pecahkan, meskipun sulit.”
3.
Kemudian raja berkata, “Yang Mulia, maukah Anda berdiskusi denganku lagi?”
“Jika baginda ingin berdiskusi sebagai orang terpelajar, ya; tetapi jika
baginda ingin berdiskusi sebagai raja, tidak.”
“Bagaimana orang terpelajar berdiskusi?”
“Bila orang terpelajar berdiskusi akan ada kesimpulan, dan ada penyelesaian
kekusutan; yang salah ditunjukkan kesalahannya dan dia mengakui kesalahannya
tanpa marah.”
“Dan bagaimana raja berdiskusi?”
“Bila raja mendiskusikan suatu masalah dan beliau mengemukakan suatu pandangan,
jika ada yang berbeda pendapat dengan raja maka raja akan menghukum orang itu.”
“Baik, kalau begitu sebagai orang terpelajarlah aku akan berdiskusi. Silakan
Yang Mulia berbicara tanpa takut.”
“Dengan senang hati, baginda.”
“Nagasena, aku akan bertanya”, kata raja.
“Bertanyalah, baginda.”
“Aku telah bertanya, Yang Mulia.”
“Kalau demikian saya telah menjawab.”
“Apa yang telah Anda jawab?”
“Apa yang telah baginda tanyakan?”
Raja berpikir, “Bhikkhu ini benar-benar seorang terpelajar yang hebat, dia
cukup mampu mendiskusikan apa pun juga denganku.” Maka sang raja menyuruh
Devamantiya, menterinya, untuk mengundang Nagasena ke istana bersama dengan
banyak bhikkhu lain. Raja lalu pergi dengan bergumam: “Nagasena, Nagasena.”
4.
Maka Devamantiya, Anantakaya dan Mankura pergi ke petapaan Nagasena untuk
menjemput para bhikkhu ke istana. Di dalam perjalanan menuju ke istana,
Anantakaya berkata kepada Nagasena, “Yang Mulia, bila saya mengatakan
‘Nagasena’, apakah sebenarnya Nagasena itu?”
“Anda pikir apa Nagasena itu?”
“Jiwa, nafas di dalam yang keluar dan masuk.”
“Jika nafas itu, setelah keluar, tidak lagi kembali masuk, apakah orang itu
masih akan hidup?”
“Tentu saja tidak.”
“Tetapi setelah para peniup trompet, misalnya, meniup trompetnya, apakah nafas
mereka kembali pada mereka?”
“Tidak Yang Mulia, tidak.”
“Kalau begitu kenapa mereka tidak mati?”
“Saya tidak mampu berbantahan dengan Anda. Tolong jelaskanlah bagaimana.”
“Tidak ada jiwa di dalam nafas. Proses menarik dan menghembuskan nafas ini
hanyalah tenaga unsur pokok dari kerangka tubuh.” Kemudian Nagasena Thera4
berbicara tentang Abhidhamma dan Anantakaya merasa puas dengan penjelasan itu.
5.
Setelah para bhikkhu tiba di istana dan selesai makan, sang raja duduk di
tempat rendah dan bertanya, “Apa yang akan kita diskusikan?”
“Marilah kita mendiskusikan Dhamma.”
Dan raja berkata, “Apa tujuan Yang Mulia meninggalkan kehidupan duniawi, dan
apa tujuan akhir yang ingin dicapai?”
“Kami meninggalkan kehidupan duniawi dengan tujuan melenyapkan penderitaan dan
tidak ada penderitaan lain yang muncul. Lenyapnya nafsu secara total tanpa sisa
adalah tujuan akhir kami.”
“Yang Mulia, apakah setiap orang masuk Sangha untuk tujuan yang sangat mulia
tersebut?”
‘Tidak. Ada yang masuk untuk menghindar dari kekejaman raja, ada yang untuk
menghindar dari perampok, ada yang untuk menghindar dari hutangnya, dan ada
yang untuk mencari nafkah. Tetapi mereka yang masuk dengan tujuan yang benar
melakukannya agar nafsu dapat sepenuhnya padam.”
6.
Sang raja berkata, “Adakah orang yang tidak terlahir kembali setelah mati?”
“Ya, ada. Orang yang tidak lagi mempunyai kekotoran batin tidak akan terlahir
kembali setelah mati; yang masih mempunyai kekotoran batin akan terlahir
kembali.”
“Apakah Anda akan terlahir kembali?”
“Jika saya mati dengan nafsu keinginan di dalam pikiran, ya; tetapi jika tidak,
tidak.”
7.
“Apakah seseorang yang terbebas dari kelahiran kembali itu bisa terbebas karena
kekuatan penalarannya?”
“Dia bisa terbebas karena penalaran dan juga karena kebijaksanaan, keyakinan,
moralitas, kewaspadaan, semangat, dan konsentrasi.”
“Apakah penalaran sama dengan kebijaksanaan?”
“Tidak. Binatang memiliki penalaran tetapi tidak memiliki kebijaksanaan.”
8.
“Bhikkhu Nagasena, apa ciri khas penalaran; dan apa ciri khas kebijaksanaan?”
“Memegang adalah ciri penalaran, memotong adalah ciri kebijaksanaan.”
“Berikanlah ilustrasi.”
“Bagaimana petani gandum memanen gandumnya?”
“Mereka memegang batang-batang gandum dengan tangan kirinya, dan dengan sabit
di tangan kanannya mereka memotong gandum tersebut.”
“Demikian juga halnya, O baginda, para petapa memegang pikirannya dengan
penalaran dan memotong kekotoran batin dengan kebijaksanaan.”
9. “Bhikkhu Nagasena, apakah ciri khas moralitas?”
“Menopang, O baginda, karena moralitas merupakan landasan bagi semua sifat yang
balk, yakni:
a. Lima kemampuan batin yang mengendalikan dan lima kekuatan moral (Catatan-
yakni: keyakinan, semangat, kewaspadaan, konsentrasi, dan kebijaksanaan),
b. Tujuh faktor pencerahan (Catatan- yakni: kewaspadaan, penyelidikan,
semangat, sukacita, ketenangan, konsentrasi, dan ketenang-seimbangan),
c. Delapan faktor Jalan Mulia (Catatan- yakni: pandangan benar, pikiran benar,
ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, usaha benar, kewaspadaan
benar, dan konsentrasi yang benar),
d. Empat landasan kewaspadaan (Catatan- yakni: kewaspadaan pada tubuh, pada
perasaan, pada buah-pikir, pada objek pikiran),
e. Empat usaha benar (Catatan- yakni: usaha untuk mencegah dan menghilangkan
keadaan yang tidak bajik serta usaha untuk mengembangkan dan mempertahankan
keadaan yang bajik),
f. Empat landasan keberhasilan (Catatan- yakni: hasrat, energi, keuletan dan
kebijaksanaan),
g. Empat penyerapan (Catatan- yakni: empat tahap pemusatan pikiran atau jhana
),
h. Delapan kebebasan (Catatan- yakni: delapan tingkat pelepasan pikiran oleh
konsentrasi yang sangat kuat),
i. Empat metode konsentrasi (Catatan- yakni: meditasi untuk cinta kasih, kasih
sayang, sukacita bersimpati, dan ketenang-seimbangan), serta
j. Delapan pencapaian yang agung (Catatan- yakni: empat jhana tanpa-bentuk dan
empat jhana berbentuk).
Semua sifat yang baik itu ditopang oleh moralitas. Di dalam diri orang yang
mengembangkan batinnya dengan menggunakan moralitas sebagai fondasi,
kondisi-kondisi yang baik ini tidak akan berkurang.”
“Berikanlah ilustrasi.”
“Seperti halnya semua bentuk kehidupan hewan dan tumbuhan bergantung pada tanah
sebagai penopang, demikian juga seorang petapa -dengan moralitas sebagai
penopangnya- mengembangkan lima kemampuan batin yang mengendalikan dan lain
sebagainya itu.5 Demikian ini yang dikatakan Sang Buddha:
“Bila orang bijaksana, yang telah kokoh moralitasnya,
Mengembangkan konsentrasi dan permahaman,
Kemudian sebagai bhikkhu, dia gigih dan bijaksana,
Dia berhasil menguraikan kekusutan ini.”6
10.
“Apakah ciri khas dari keyakinan?”
“Kejernihan dan inspirasi. Ketika keyakinan muncul di dalam pikiran, keyakinan
itu menembus cadar lima penghalang. Maka pikiran menjadi terang, tenang dan
tidak terganggu. Dengan demikian keyakinan menjadi jernih. Dan inspirasi adalah
tanda ketika meditator -karena memahami bagaimana pikiran orang lain telah
terbebas- kemudian terinspirasi untuk mencapai apa yang masih belum dapat
dicapainya, untuk mengalami apa yang masih belum pernah dirasakannya, dan untuk
merealisasikan apa yang masih belum dimengertinya. Demikian ini yang dikatakan
Sang Buddha:
‘Dengan keyakinan dia menyeberangi banjir,
Dengan kewaspadaan melewati samudera kehidupan,
Dengan ketetapan hati semua penderitaan dia tenangkan,
Dengan kebijaksanaan dia dimurnikan’.”7
11.
“Dan apa, Yang Mulia, ciri khas dari semangat?”
“Penguatan, O baginda, sehingga semua sifat baik yang ditopang oleh semangat
tidak menjadi pudar.”
“Berikanlah ilustrasi.”
“Sama seperti bila bala tentaranya telah dipukul mundur oleh pasukan musuh yang
lebih besar, seorang raja akan mengingat-ingat siapa sekutu yang bisa
diharapkan untuk menguatkan pasukannya agar dapat mengalahkan musuh yang kuat
itu. Begitulah penguatan merupakan ciri dari semangat. Demikian ini yang
dikatakan Sang Buddha:
‘Siswa mulia yang penuh semangat, O bhikkhu,
Menyingkirkan yang tidak bajik dan mengembangkan yang bajik,
Menghindari yang tercela dan mengembangkan yang tak tercela,
Dengan begitu dia menjaga kemurnian pikirannya’.”8
12. “Nagasena, apakah ciri khas dari kewaspadaan?”
“Mencatat dan menyimpan di dalam ingatan. Ketika kewaspadaan timbul di dalam
pikiran petapa, secara berulang-ulang dia mencatat apa yang bajik dan apa yang
tidak bajik, apa yang tak-tercela dan apa yang tercela, apa yang tidak penting
dan apa yang penting, sifat-sifat yang gelap dan terang, dan sebagainya. Dia akan
berpikir, ‘Inilah empat landasan kewaspadaan, inilah empat usaha yang benar,
inilah empat landasan keberhasilan, inilah lima kemampuan batin yang
mengendalikan, inilah lima kekuatan moral, inilah tujuh faktor pencerahan,
inilah delapan faktor Jalan Mulia, inilah ketenangan, inilah kebijaksanaan,
inilah pandangan terang, dan inilah kebebasan.’
Demikianlah dia mengembangkan semua sifat yang bajik dan menghindari
sifat-sifat yang harus dihindari.”
“Berikanlah ilustrasi.”
“Sama seperti bendahara raja yang mengingatkan tuannya tentang besarnya pasukan
raja dan jumlah kekayaan yang ada.”
“Bagaimana ‘menyimpan di dalam ingatan’ dapat menjadi tanda kewaspadaan?”
“Ketika kewaspadaan muncul di dalam pikiran, orang akan mencari kategori
tentang sifat-sifat yang baik dan yang tidak baik. Dia akan berpikir,
‘Sifat-sifat yang ini menguntungkan dan yang itu merugikan.’ Dengan demikian
dia melenyapkan apa yang jelek di dalam dirinya serta mempertahankan apa yang
baik.”
“Berikanlah ilustrasi.”
“Sama seperti perdana menteri raja yang memberikan nasihat tentang tindakan
yang benar. Demikian ini yang dikatakan Sang Buddha:
‘Kunyatakan, O para bhikkhu, kewaspadaan sangatlah membantu di mana pun
juga’.”9
13.
“Dan apa, Nagasena, ciri khas dari konsentrasi?”
“Menjadi pemimpin, O baginda. Semua sifat yang bajik mempunyai konsentrasi
sebagai pemimpinnya; sifat-sifat bajik mengarah padanya, dan menuju ke situ.”
“Berikanlah ilustrasi.”
“Seperti halnya kasau rumah miring dan menuju ke suatu titik -yaitu titik
tertinggi di atap- demikian juga semua sifat yang baik mengarah dan memusat
pada konsentrasi. Demikian ini yang dikatakan Sang Buddha:
‘Bhikkhu, kembangkanlah konsentrasi;
seorang bhikkhu yang terkonsentrasi melihat segala
sesuatu sebagaimana adanya’.”10
14.
Apa, Nagasena, ciri khas dari kebijaksanaan?”
“Menerangi,11 O baginda. Ketika kebijaksanaan muncul di dalam pikiran,
kebijaksanaan itu mengusir kegelapan yang dimiliki kebodohan batin, membuat
munculnya pancaran pandangan terang, membuat bersinarnya pengetahuan, dan
membuat jelasnya Kesunyataan Mulia. Demikianlah meditator dengan kebijaksanaan
yang paling terang mencerap ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan
tidak-adanya-diri di dalam segala bentuk.”
“Berikanlah ilustrasi.”
“Sama seperti lampu, O baginda, yang berada di ruangan gelap akan menerangi
ruangan itu dan membuat objek yang ada menjadi jelas terlihat.”
15.
Sifat-sifat yang sangat berbeda ini, Nagasena, apakah membuahkan hasil yang
sama?”
“Ya, yaitu hancurnya kekotoran di dalam pikiran. Sama seperti berbagai kekuatan
pasukan misalnya gajah, kavaleri kereta perang, dan pemanah membuahkan satu
hasil, yaitu takluknya tentara musuh.”
“Penjelasan yang baik, Nagasena. Anda pandai menjawab.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar