Senin, 13 Mei 2013

Munculnya Buddha Maitreya

Posted by ratanakumaro pada April 19, 2009

 

 

“ Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa”

( tikkhattum ; 3X )

Nammatthu Buddhassa,

Salam Damai dan Cinta Kasih … ,

 

 

Sang Buddha pernah bersabda, bahwa era Ajaran Beliau ( Buddha-Dhamma ) hanya akan bertahan selama lima-ribu ( 5.000 ) tahun, yang bila dihitung sejak era Buddhis pertama kali, yakni kurang lebih 500 tahun SM, maka sekarang Dhamma telah menempuh perjalanan selama kurang lebih 2.500 tahun, dan itu berarti Dhamma hanya akan bertahan 2.500 tahun lagi.

 

Berakhirnya era Dhamma Sang Buddha Gotama adalah wajar. Sama seperti Buddha-Buddha yang terdahulu, Sang Buddha Gotama juga menjalani siklus yang serupa, yaitu : dimulai dari berjuang menyempurnakan Parami selama empat (4) Asankkheyya-Kappa dan Seratus-ribu ( 100.000 ) Kappa, kemudian dilahirkan kembali sebagai manusia untuk terakhir kalinya, kemudian mencapai Pencerahan-Sempurna, setelah itu lalu memutar-roda Dhamma, membabarkan Dhamma nan mulia kepada makhluk-dunia, akhirnya Parinibbana. Setelah Sang Buddha Parinibbana, maka Dhamma adalah Guru bagi para siswanya untuk dipraktikkan. Seiring waktu berjalan, maka akan terjadilah kemerosotan kwalitas dan kwantitas praktik Dhamma yang semakin lama semakin parah dan suatu saat nanti, Dhamma akan dilupakan sama sekali. Dan kelak, sebelum bumi ini mengalami kehancuran kembali, akan muncul Buddha yang terakhir pada masa Maha-Badda-Kappa ini, ialah Buddha-Metteya.

 

 

PROSES HANCURNYA BUDDHA-DHAMMA

 

Sejak masa menjelang akhir era Dhamma Sang Buddha Gotama, dan sampai masa setelah berakhirnya era Sang Buddha Gotama, usia manusia akan semakin pendek yang beriringan dengan kwalitas hidup yang juga semakin menurun, kehidupan manusia dan bermasyarakat semakin kacau, dan merosotnya moralitas menuju ambang batas terendah.

 

Meskipun demikian, pada masa itu, tetap ada beberapa kelompok manusia yang memilih untuk menyingkir dari kebodohan massal tersebut. Mereka memilih untuk tetap menjaga praktik moralitas dan kebajikan.

 

Kemudian, dari generasi ke generasi, keturunan manusia akan mulai bertambah usianya seiring dengan kesinambungan praktik moralitas dan kebajikan. Sebagai akibat praktik-praktik moralitas dan kebajikan itulah, usia manusia naik kembali, dari yang semula rata-rata hanya sepuluh (10) tahun , meningkat, terus meningkat, hingga mencapai batas delapan-puluh-ribu ( 80.000 ) tahun. Pada masa usia manusia rata-rata delapan puluh ribu ( 80.000 ) tahun ini, terdapatlah kemakmuran dan kesejahteraan bagi manusia.

 

 

Setelah itu, kehidupan manusia akan mengalami “fase-turun” ( utkarsa ). Dan pada fase turun inilah, kelak akan muncul Samma-Sambuddha yang berikutnya, yaitu Buddha-Metteya ( Sanskrit : Maitreya ), yang akan mengajarkan kembali Dhamma yang persis sama dengan yang diajarkan para Buddha sebelumnya, membimbing para Dewa dan manusia supaya mereka bisa merealisasikan akhir dari dukkha : NIBBANA.

[ Buddha hanya akan muncul pada fase turun, tapi tidak muncul saat jangka kehidupan manusia telah jatuh dibawah titik jangka kehidupan kritis, saat sikap dan mental manusia sangat inferior sehingga tidak bisa menerima ajaran Buddha. Jangka kehidupan kritis ditafsirkan beraneka ragam, ada yang menafsirkannya sebagai seratus ( 100 ) tahun, delapan-puluh ( 80 ) tahun, bahkan tiga-puluh ( 30 ) tahun. Zaman dibawah jangka kehidupan kritis disebut zaman kegelapan, yang dalam agama lain disebut “Akhir-Zaman”. ]

 

 Dalam Maha-badda-kappa ini, muncul lima Samma-Sambuddha. Sebelumnya, telah muncul tiga Samma-Sambuddha sebelum Sang Buddha Gotama, dan berarti total empat (4) Samma Sambuddha dengan Sang Buddha Gotama. Tiga (3) Buddha sebelum Buddha Gotama tersebut adalah :

 

1. Buddha Kakusandha,

2. Buddha Konagamana,

3. Buddha Kassapa.

 

Setelah Buddha Gotama, kelak ( sesuai proses yang diterangkan diatas ), maka akan muncullah Samma-Sambuddha berikutnya ( Buddha yang kelima dalam Maha-Badda-Kappa ini ) , ialah Buddha Metteya. Buddha Metteya akan menjadi Buddha yang terakhir dalam siklus kehidupan kita yang sekarang ini, sebelum bumi ini kembali hancur-terurai, mengalami apa yang disebut sebagai “kiamat”.

Pada zaman-zaman Buddha yang lampau , sebelum Buddha Gotama, seringkali terjadi masa kosong yang amat sangat lama sekali dimana dunia ini kosong dari Ajaran-Buddha yang berlangsung antara masa setelah berakhirnya era Buddha terdahulu dengan masa munculnya Buddha yang selanjutnya. Masa kosong itu tak terhitung lamanya. Dalam masa kegelapan itu peradaban manusia telah muncul dan musnah silih berganti.

 

 

 

PROSES MEMUDAR DAN LENYAPNYA DHAMMA SANG BUDDHA GOTAMA

 

Pada suatu hari ketika Sang Buddha Gotama sedang berdiam di hutan Banyan di Kapilavatthu, Y.A. Sariputta mendekati Beliau dan bertanya tentang Buddha yang berikutnya setelah Sang Buddha Gotama. Kemudian Sang Buddha bersabda, :

 

“ … Masa dunia kita ini adalah masa yang istimewa. Telah muncul tiga pemimpin dunia, yaitu : Buddha Kakusandha, Buddha Konagamana, dan Buddha Kassapa. Aku sekarang adalah Samma-Sambuddha. Dan akan muncul juga Buddha Metteya sebelum masa dunia ini berakhir. Samma-Sambuddha ini namanya Metteya, Pemimpin Dunia.”

 

Sang Buddha kemudian meneruskan penjelasan tentang bagaimana proses terjadinya kemunduran Buddha-Dhamma hingga kelak kemunculan Buddha-Metteya, yang ditandai dengan adanya lima-kelenyapan :

 

“ Setelah Aku Parinibbana, akan ada terlebih dahulu lima (5) Kelenyapan. Apakah yang lima (5) itu ? Lenyapnya pencapaian tingkat kesucian ( Sottapana, Sakadagami, Anagami, dan , Arahat ), lenyapnya pelaksanaan benar, lenyapnya Ajaran (Dhamma), lenyapnya simbol/bentuk luar, lenyapnya Relik. Inilah lima kelenyapan yang akan terjadi.

 

 

i). LENYAPNYA PENCAPAIAN TINGKAT KESUCIAN

Disini, lenyapnya pencapaian [tingkat-kesucian] berarti bahwa hanya selama seribu ( 1.000 ) tahun setelah Aku Parinibbana, para Bhikkhu masih dapat mencapai Pengetahuan-Analitis ( Patisambhida ) atau tingkat Arahat. Sejalan dengan waktu, para siswa-Ku adalah [hanya] Anagami , Sakadagami, dan Sotapanna. Tingkat pencapaian ini tidak akan lenyap sampai Sotapanna terakhir meninggal. Setelah itu, pencapaian tingkat kesucian pun turut lenyap.

Inilah , Sariputta, lenyapnya tingkat kesucian.”

 

ii). LENYAPNYA PELAKSANAAN-BENAR

“Lenyapnya pelaksanaan-benar, berarti bahwa : tidak [ ada yang ] mencapai Jhana, pandangan terang, Jalan dan Buah ( Magga dan Phala ), mereka hanay akan menjaga empat (4) kemurnian perilaku ( catuparisuddhi-Sila ), yaitu : Patimokkha-samvara-Sila ( Sila-Kebhikkhuan ), Indriya-Samvara-Sila ( yang berhubungan dengan pengendalian indriya ), ajiva-parisudhi-Sila ( kemurnian-penghidupan ), paccaya-sannissita-Sila ( yang berhubungan dengan empat-kebutuhan-pokok ).

Seiring berjalannya waktu, mereka hanya akan menjaga empat pelanggaran-berat ( parajika ) : menahan diri dari hubungan seksual, mencuri, membunuh, menyatakan diri telah mencapai tingkat kesucian.

Selama masih ada ratusan, atau, ribuan Bhikkhu yang menjaga dan mengingat empat pelanggaran berat , maka pelaksanaan benar belum lenyap. Dengan terjadinya pelanggaran berat oleh Bhikkhu terakhir atau dengan meninggalnya Bhikkhu tersebut, maka pelaksanaan benar juga turut lenyap.

Inilah Sariputta,lenyapnya pelaksanaan-Benar.”

 

iii). LENYAPNYA AJARAN-BENAR

 

“ Lenyapnya Ajaran-Benar berarti bahwa selama teks Ti-Pitaka : Vinaya, Sutta , dan Abhidhamma yang merangkum kata-kata Sang Buddha masih tersedia, maka Ajaran belum lenyap. Seiring dengan waktu akan muncul raja-raja / pemimpin-pemimpin negara yang bukan pelaksana Dhamma, pejabat-pejabat di pemerintahan juga bukan manusia [ pengikut ] Dhamma, dan akibatnya warga negaranya juga mengikuti [ tidak menjadi penganut Dhamma ].

Karena itulah [ akibat dari tidak diikutinya lagi Jalan-Dhamma ] , HUJAN TIDAK TURUN SEBAGAIMANA MESTINYA, akan ada GAGAL PANEN, KELANGKAAN BAHAN MAKANAN, dan akibatnya masyarakat tidak mampu lagi menyediakan kebutuhan pokok untuk para Bhikkhu. Akhirnya para Bhikkhu tidak lagi menerima anggota baru, tidak ada lagi orang masuk Sangha. Ajaran secara perlahan lenyap.

Dalam prosesnya, Abhidhamma dahulu yang pertama lenyap, dimulai dengan lenyapnya Patthana, Yamaka, Kattha-vatthu, Puggala-pannati, Dhatu-Kattha, dan seterusnya.

Setelah Abhidhamma lenyap, maka Sutta-Pitaka juga turut lenyap. Pertama, Anguttara Nikaya lenyap, kemudian Samyutta-Nikaya, Majjhima Nikaya, Digha Nikaya, dan seterusnya. Hanya tinggal kisah Jataka dan Vinaya Pitaka yang akan diingat. Hanya Bhikkhu yang teliti yang akan mengingat Vinaya-Pitaka. Kemudian Jataka juga akan lenyap, pertama Vessantara-Jataka, kemudian Apannaka-Jataka, demikian seterusnya sampai seluruh Jataka terlupakan. Kemudian hanya Vinaya-Pitaka yang akan diingat. Seiring berjalannya waktu, Vinaya Pitaka juga akhirnya lenyap.

Selama “empat-bait-syair-Dhamma” masih ada di antara manusia, maka Ajaran belum lenyap. [ Keempat bait syair yang dimaksud adalah : “ Tidak Berbuat Jahat, Perbanyak kebajikan, Sucikan hati dan pikiran, Inilah Ajaran Para Buddha” ]

Ketika Raja yang memiliki keyakinan dalam Dhamma menawarkan satu kantong emas yang diletakkan di punggung gajah, dan menabuh genderang ke seluruh kota sampai dua atau tiga kali, dengan mengumumkan, “ Barangsiapa dapat menyebutkankan syair dari Sang Buddha, biarlah ia mendapat seluruh koin emas ini beserta gajah kerajaan ini”, tetapi ketika tiada seorangpun yang mengetahui keempat bait syair Dhamma tersebut sampai akhirnya kantong koin emas itu harus kembali ke dalam istana lagi, maka itulah lenyapnya Ajaran.”

Inilah Sariputta, lenyapnya Ajaran.”

 

 

iv). LENYAPNYA SIMBOL-LUAR

 

“Seiring berjalannya waktu, masing-masing dari para Bhikkhu dan ‘angkatan’ terakhir membawa jubahnya, mangkuknya, dan tusuk gigi, mengambil buah labu botol dan menjadikannya mangkuk untuk meminta makanan, akan berjalan kesana-kemari dengan labu tersebut di tangannya atau digantung dengan tali. Seiring dengan waktu, mereka berpikir , “ Apa gunanya jubah kuning ini ? “ , dan [lalu] mereka mengguntingnya menjadi potongan kecil kemudian menempelkannya di hidung, kuping, atau rambut. Mereka berkelana sambil menunjang anak dan isteri dengan cara bertani, berdagang dan sejenisnya. Seiring berjalannya waktu, mereka berpikir, “ Apa gunanya ini semua ? “ kemudian setelah membuang potongan jubah kuning, mereka akan mulai berburu binatang dan burung di hutang. Ketika ini terjadi, maka simbol / bentuk luar [pun] lenyap.

Inilah Sariputta, yang dimaksud lenyapnya simbol / bentuk luar.”

 

v). LENYAPNYA RELIK SANG BUDDHA

“ Kemudian ketika Ajaran Buddha telah berumur lima-ribu (5.000) tahun, Relik-relik Buddha, yang tidak lagi dihormati dan dipuja, akan pergi ke tempat-tempat dimana masih ada penghormatan dan pemujaan. Seiring berjalannya waktu, di semua tempat tidak lagi ditemukan adanya penghormatan dan pemujaan terhadap Relik [Sang-Buddha]. Pada masa itu, ketika Ajaran berangsur terlupakan, semua Relik datang dari berbagai tempat, dari kediaman naga dan alam dewa serta alam Brahma, berkumpul di sekitar pohon Boddhi di Buddha Gaya di mana Sang Buddha mencapai Pencerahan-Sempurna, dan melakukan keajaiban seperti “Keajaiban-Kembar”, kemudian akan mengajarkan Dhamma. Tidak akan ditemukan manusia di tempat itu. Semua dewa dari sepuluh-ribu ( 10.000 ) sistem dunia berkumpul bersama untuk mendengarkan Dhamma dan ribuan jumlah dari mereka akan merealisasikan Ajaran. Mereka akan menangis keras dan berkata, “ Wahai para Dewa, satu minggu dari hari ini Pemilik sepuluh (10) Kekuatan Tathagata akan memasuki Parinibbana.” Dengan terisak mereka berkata: “Mulai saat itu, kita semua berada dalam kegelapan.” Kemudian Relik akan memanas dan terbakar habis tanpa sisa.

Inilah Sariputta, yang dimaksud lenyapnya Relik. “

 

Demikianlah proses memudar dan lenyapnya Dhamma Sang Buddha Gotama, dalam jangka waktu 5.000 tahun, atau kurang dari 2.500 tahun terhitung sejak hari ini, Buddhasasana dari Sang Buddha Gotama akan berakhir, lenyap sama sekali tanpa sisa.

 

 

PENJELASAN MENGENAI KEMEROSOTAN MORAL DAN MEMENDEKNYA USIA MANUSIA

 

Hubungan antara kemerosotan moral dan memendeknya usia manusia, dapat disimak dalam ringkasan khotbah Cakkavattishanada Sutta :

  

“ Wahai Raja, rakyatmu yang raja perintah berdasarkan ide dan caramu sendiri yang berbeda dengan cara-cara yang mereka ikuti dahulu, tidak sukses seperti apa yang mereka biasa capai di masa raja-raja terdahulu yang melaksanakan kewajiban maharaja yang suci… .

Karena raja tidak berdana kepada orang-orang miskin maka kemelaratan bertambah… dengan demikian pencurian main mewabah… kekerasan meluas dengan cepat, pembunuhan menjadi biasa.

Karena pembunuhan terjadi maka batas usia kehidupan dan kecantikan manusia berkurang, sehingga batas usia kehidupan pada masa itu adalah 80.000 tahun akan tetapi usia kehidupan anak-anak mereka hanya 40.000 tahun.

Demikianlah karena kemelaratan meluas…pembunuhan…hingga berdusta menjadi biasa…usia kehidupan mereka hanya 20.000 tahun. Kemudian kemelaratan meluas… berdusta… hingga memfitnah berkembang… usia kehidupan anak-anak mereka hanya 10.000 tahun. Kemelaratan meluas…memfitnah… berzinah… kata0kata kasar dan membual… iri hati dan dendam berkembang… pandangan sesat… berzinah dengan saudara sendiri, keserakahan, pemuasan nafsu… kurang berbakti kepada orangtua, kurang hormat pada samana, dan petapa, serta kurang patuh pada pimpinan masyarakat berkembang dan meluas. Karena hal ini berkembang meluas maka batas usia kehidupan dan kecantikan berkurang, sehingga batas usia kehidupan pada masa itu adalah 250 tahun akan tetapi batas usia anak-anak mereka hanya 100 tahun.

… Akan tiba suatu masa ketika keturunan dari manusia itu akan mempunyai usia kehidupan hanya 10 tahun… umur 5 tahun bagi wanita merupakan usia perkawinan. Pada masa kehidupan orang-orang ini, makanan seperti padi , susu, mentega, minyak, tila, gula, garam , akan lenyap. Bagi mereka biji-bijian kudrusa akan merupakan makanan terbaik… Pada masa orang-orang itu sepuluh macam cara melakukan perbuatan jahat akan berkembang cepat.

… Di antara mereka tidak ada lagi rasa berbakti kepada orangtua, tidak ada lagi rasa menghormat kepada para samana dan petapa, serta tidak ada lagi kepatuhan kepada pimpinan masyarakat… tidak ada lagi [pikiran yang membatasi] untuk kawin dengan ibu, bibi… Dunia diisi oleh cara bersetubuh dengan siapa saja, bagaikan domba, kambing, burung, babi, anjing, serigala.

 

… Akan tiba suatu masa, yaitu munculnya pedang selama seminggu. Selama masa ini mereka akan melihat individu lain sebagai binatang liar… dengan pedang mereka akan saling bunuh.

Sementara itu ada orang-orang tertentu berpikir, “Sebaiknya kita jangan membunuh atau kita tidak membiarkan orang lain membunuh kita. Marilah kita menyembunyikan diri kedalam belukar… Marilah kita berbuat kebajikan-kebajikan”. Mereka akan berusaha untuk tidak membunuh… Karena melaksanakan kebajikan ini maka akibatnya batas usia dan kecantikan bertambah. Bagi mereka yang batas usia kehidupannya hanya 10 tahun, akan tetapi batas usia anak-anak mereka mencapai 20 tahun.

“…Marilah kita berusaha untuk tidak mencuri….tidak berzinah…tidak mengucapkan kata-kata kasar…tidak membual…tidak serakah…tidak membenci…tidak berpandangan sesat…tidak bersetubuh dengan keluarga sendiri… tidak tamak dan tidak memuaskan nafsu. Marilah kita berbakti kepada orangtua kita , menghormat kepada para samana dan petapa, serta patuh kepada pemimpin bangsa.”

Karena mereka melaksanakan kebajikan-kebajikan…sehingga bagi mereka yang batas usia kehidupan hanya 20 tahun…anak-anak mereka mencapai 40 tahun…80 tahun…4.000 tahun…20.000 tahun…40.000 tahun…anak-anak mereka mencapai batas usia kehidupan 80.000 tahun… .

…Dalam masa kehidupan orang-orang ini, di dunia akan muncul seorang Bhagava-Arahat-Sammasambuddha bernama Metteya…Dhamma, Kebenaran…akan dibabarkan…kehidupan suci akan dibina dan dipaparkan…seperti yang Aku lakukan sekarang. Beliau akan diikuti oleh beberapa ribu Bhikkhu, seperti Aku sekarang ini.”

Demikianlah penjelasan mengenai kaitan antara proses merosotnya moralitas dengan menurunnya batas usia kehidupan manusia.

 

MUNCULNYA AJARAN SALAH

 

Menjelang berakhirnya era Buddha-Gotama, akan banya muncul ajaran salah dan Dhamma palsu yang muncul dimana-mana dengan berbagai label dan gaya.

Ajaran salah ( miccha-dhamma ) , ialah :

1. semua jenis ajaran dan praktik keagamaan yang pada intinya tidak mampu untuk melihat bahaya dari “samsara” ( lingkaran kelahiran dan kematian ),

2. Kepercayaan bahwa dalam masa sekarang ini magga dan phala ( tingkat-kesucian ) sudah tidak mungkin dicapai lagi, kecenderungan untuk menunda-nunda praktik Sila, Samadhi, dan Panna karena menunggu masaknya Parami,

3. Kepercayaan bahwa orang-orang di masa sekarang ini semuanya hanyalah makhluk “dvi-hetuka” ( hanya punya dua kondisi akar yagn baik, yaitu : a-lobha dan a-dosa ), dan tidak memiliki akar a-moha , sehingga tidak munkin mencapai kesucian dalam kehidupan yang sekarang ini.

4. Kepercayaan bahwa Guru-guru suci di zaman dahulu tidak pernah ada, dan berbagai kepercayaan lain-lain. Semua ini berpotensi menciptakan kerusakan pada Dhamma ( dhammantarayo ).

 

 

Mengenai kepercayaan akan terdapatnya makhluk dvi-hetuka saja pada masa sekarang, maka , sesungguhnya, meskipun kita adalah dvi-hetuka, asalkan kita berupaya melatih diri dalam dhamma maka dalam kelahiran selanjutnya kita bisa menjadi ti-hetuka. Sebaliknya, bila kita sendiri malas untuk melatih diri, maka kita sangat mungkin terperosok ke tingkat a-hetuka ( tanpa kondisi akar yang baik ) dalam kehidupan selanjutnya.

 

Ada tiga jenis / golongan manusia, yang berkaitan dengan hal ini :

1. Padaparama

2. yang lebih unggul ; Neyya

3. yang terunggul : Niyata-vyakarana

  

Yang dimaksud dengan golongan Padaparama ialah, ibarat orang sakit yang tidak mungkin sembuh, dan pasti mati akibat sakitnya walau bagaimanapun ia berupaya berobat. Ini menggambarkan orang yang tidak mungkin mencapai kesucian dalam kehidupan sekarang, tetapi masih punya kesempatan dalam kelahiran selanjutnya baik di alam manusia ataupun alam dewa, masih di era Buddhasasana yang sekarang ataupun pada era Buddha selanjutnya tergantung kesempurnaan Parami dan upaya yang bersangkutan.

Jenis manusia yang lebih unggul adalah Nevya, yang diumpamakan sebagai orang sakit yang akan sembuh bila makan obat yang tepat, tetapi mungkin juga tidak sembuh dan mati bila gagal mendapat pengobatan yang tepat. Artinya, ia masih mungkin dapat mencapai kesucian dalam masa kehidupannya yang sekarang ini juga jika ia melaksanakan dan melatih apa yang seharusnya demi mencapai tujuan mulia tersebut. Bila galgal dalam kehidupan yang sekarang maka ia masih punya kesempatan di kelahiran selanjutnya.

 Jenis manusia yang ketiga adalah yang terunggul, ialah Niyata-vyakarana, yaitu manusia yang telah mendapat kata-kepastian bahwa kelak ia akan menjadi Buddha dari Buddha yang lampau.Yang terakhir ini adalah jenis dari para Boddhisatta atau calon Samma-Sambuddha.

Nah, kita kebanyakan adalah golongan Nevya, sehingga, sebaiknya dalam era Buddhasasana sekarang ini terus mengumpulkan benih carana ( perbuatan benar ) dengan cara mempraktikkan :

1. Dana,

2. Sila,

3. Samadhi.

 

Sedangkan untuk golongan Padaparama dihimbau untuk mengumpulkan benih carana supaya kelak terlahir di era Buddhasasana yang akan datang sekaligus mencapai pembebasan dari dukkha pada saat itu juga.

 Sarat yang harus dipenuhi bagi golongan Padaparama adalah :

1. Dana,

2. Uposatha-Sila, dan

3. Tujuh Sad-Dhamma

 

Sad-Dhamma tersebut adalah :

1. Saddha ( keyakinan )

2. Sati ( perhatian-murni )

3. Hiri ( malu berbuat salah )

4. Ottapa ( takut akibat perbuatan jahat )

5. Bahusacca ( Belajar-Dhamma )

6. Viriya ( Semangat dan ketekunan )

7. Panna ( kebijaksanaan ).

 

Semua praktik ini adalah bagian dari akumulasi menuju kesempurnaan Parami.

Hanya jika seorang Padaparama telah memiliki benih vijja kebijaksanaan / kelompok Panna ) dan benih carana ( perbuatan benar / kelompok Sila dan Samadhi ) yang cukup barulah ia dapat mencapai pembebasan dari dukkha dalam kelahiran selanjutnya. Vijja bagaikan sepasang mata untuk melihat, dan Carana bagaikan kaki untuk berjalan ataupun sayap untuk terbang. Keduanya saling melengkapi dan menguatkan.

 

KESIMPULAN

 

Kita yang hidup sekarang ini, seharusnya bersyukur, karena kita hidup dalam era Buddhasasana, ialah era Dhamma Sang Buddha Gotama. Adalah keliru jika masa Buddha-Gotama telah berakhir, sebab, masa berakhirnya Buddha-Gotama [sesuai sabda Sang Buddha sendiri, dan melihat berbagai prasayarat-pengkondisian / fakta-fakta] masih 2.500-an tahun lagi.

Dengan demikian, Buddha-Metteya, belumlah muncul pada masa sekarang ini.  Meskipun demikian, semua ummat Buddha tentunya menghormati Beliau, yang saat ini sedang berada di alam surga Tusita ( Tusitabhumi ), tingkat kelima dari alam Sugati ( surga Kammadhatu ) . Buddha-Metteya akan muncul [ terlahir di alam manusia ] kelak saat Utkarsa / fase-turun, setelah manusia mencapai ambang batas usia 80.000 tahun, namun tidak saat jangka kehidupan manusia telah jatuh dibawah titik jangka kehidupan kritis, saat sikap dan mental manusia sangat inferior sehingga tidak bisa menerima ajaranBuddha. 

Karena itulah, di masa Buddhasasana yang sekarang, hendaknya kita tekun melatih diri dalam Dhamma yang dibabarkan Sang Buddha, demi tercapainya kebahagiaan dan pembebasan dari arus samsara.

 

( Sumber Pustaka : Majalah Dhammacakka ; Jakarta, 2006 )

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

 

12 Hutang Karma Sang Buddha

Oleh Dhamma Selalu di Hati

 

1. Fitnahan Sundari

Dalam kehidupan lampau, Bakal Buddha adalah seorang pemabuk bernama Munali. Ia menuduh Pacceka Buddha bernama Surabhi dengan tuduhan kasar, "Orang ini adalah orang yang tidak bermoral yang menyenangi kenikmatan indria secara diam-diam."

Karena kejahatan ucapan-Nya, Beliau terlahir kembali di alam penderitan terus-menerus (Niraya). Dan dalam kehidupan terakhirnya sebagai Bhagavà, di depan umum Beliau difitnah oleh Sundari, petapa pengembara perempuan sebagai pencari kesenangan dan telah menjalin hubungan cinta dengannya.

 

2. Fitnahan Cincamana

 Dalam kehidupan lampau, Bakal Buddha adalah seorang siswa bernama Nanda dari seorang Pacceka Buddha bernama Sabbàbhibhu. Ia menuduh gurunya sebagai seorang yang bersifat tidak baik. Karena kejahatan ucapan-Nya, Beliau harus menderita selama seratus ribu tahun di Alam Niraya. Ketika terlahir sebagai manusia, sering kali Beliau dituduh melakukan kejahatan. Dalam kehidupan terakhir-Nya sebagai Buddha, di depan umum Beliau difitnah sekali lagi oleh Cincamana sebagai seorang asusila yang menyebabkan kehamilannya.

 

3. 500 Murid Buddha menerima fitnahan Sundari

Bakal Buddha adalah seorang brahmana guru yang menguasai tiga Veda, seorang yang sangat terhormat. Sewaktu Beliau sedang mengajarkan Veda di Hutan Mahàvana kepada lima ratus siswa, Bhagavà Mengajarkan Tujuh Faktor Ketidakmunduran Bagi Para Penguasa. Saat itu mereka melihat di angkasa seorang petapa suci bernama Bhãma mendatangi hutan ini dengan kekuatan batinnya. Bukannya terinsiprasi, Bodhisatta malah memberitahu lima ratus siswa-Nya bahwa petapa itu adalah seorang munafik yang mencari kesenangan. Para siswa memercayai apa yang dikatakan oleh guru mereka dan menyebarkan kata-kata gurunya tentang petapa suci itu sewaktu ia sedang mengumpulkan dàna makanan. Lima ratus siswa itu terlahir kembali sebagai para bhikkhu siswa Bhagavà. Karena fitnah yang mereka lakukan terhadap sang petapa suci sebagai lima ratus siswa brahmana guru dalam kehidupan lampau, mereka dituduh telah membunuh Sundari, si petapa pengembara perempuan, yang sebenarnya adalah korban para petapa itu. Harus dimengerti bahwa tuduhan terhadap para siswa Buddha juga berarti tuduhan terhadap Bhagavà sendiri.

 

4. Percobaan pembunuhan oleh Devadatta dengan menggunakan batu besar.

 

Dalam kehidupan lampau, Bakal Buddha membunuh adik sepupunya karena iri hati. Ia melemparkan adiknya ke dalam jurang kemudian melemparnya dengan sebuah batu besar. Karena perbuatan jahat itu, Bhagavà dalam kehidupan terakhirnya, menjadi korban rencana Devadatta yang hendak membunuh-Nya; tetapi karena seorang Buddha tidak dapat dibunuh, Beliau hanya menderita luka di jari kaki-Nya karena terkena pecahan batu yang dijatuhkan dari atas bukit oleh Devadatta.

 

5. Percobaan pembunuhan oleh Devadatta dengan menggirimkan kelompok pembunuh.

Dalam salah satu kehidupan lampau, Bakal Buddha adalah seorang anak nakal dan ketika Beliau bertemu dengan seorang Pacceka Buddha dalam suatu perjalanan, untuk bersenang-senang, Beliau melempari pribadi mulia tersebut dengan batu. Karena perbuatan jahat itu, Bhagavà pernah diserang oleh sekelompok pemanah yang diutus oleh Devadatta yang bertujuan untuk membunuh Buddha.

 

6. Percobaan pembunuhan oleh Devadatta dengan menggunakan Gajah Nalagiri

Ketika Bakal Buddha adalah seorang penunggang gajah, Beliau dengan gajah-Nya, menakut-nakuti seorang Pacceka Buddha yang sedang mengumpulkan dàna makanan yang seolah-olah hendak menginjak-injak orang mulia tersebut. Karena perbuatan itu, Bhagavà diancam oleh seekor gajah mabuk bernama Nalagiri di Ràjagaha yang dikirim Devadatta untuk menginjak-injak Bhagavà.

 

7. Terluka akibat pecahan batu yang digelindingkan Devadatta

 Dalam salah satu kehidupan lampau-Nya, Bodhisatta adalah seorang raja. Karena keangkuhan-Nya sebagai raja, ia mengeksekusi seorang narapidana (tanpa mempertimbangkan akibat kamma) dengan tangan-Nya sendiri menusuk orang itu dengan tombak. Kejahatan itu membawa-Nya ke alam penderitaan terus-menerus selama banyak tahun yang sangat lama. Dalam kehidupan-Nya sebagai Bhagavà, Beliau menerima perawatan atas jari kaki-Nya yang luka dengan dibedah oleh Jãvaka, seorang dokter ahli, untuk menyembuhkannya (saat terkena pecahan batu yang dijatuhkan oleh Devadatta).

 

8. Pembantaian Sanak Keluarga Sakya dan sakit kepala yang dialami Buddha

Dalam salah satu kehidupan lampau-Nya, Bakal Buddha terlahir dalam sebuah keluarga nelayan. Beliau biasanya bergembira menyaksikan sanak saudara-Nya menyakiti dan membunuh ikan. (Beliau sendiri tidak melakukan pembunuhan). Sebagai akibat dari kejahatan pikiran-Nya, dalam kehidupan terakhir-Nya sebagai Buddha, Beliau sering mengalami sakit kepala. Sedangkan sanak saudara-Nya dalam kehidupan itu, mereka terlahir kembali sebagai para Sakya yang dibantai oleh Vitatubha.

 

9. Menerima dana berupa gandum

Ketika Bakal Buddha terlahir sebagai manusia pada masa ajaran Buddha Phussa, ia mencerca para bhikkhu siswa Buddha dengan berkata, "Kalian hanya pantas makan gandum, bukan nasi." Kata-kata kasar itu berakibat, dalam kehidupan terakhir-Nya, Bhagavà terpaksa memakan makanan gandum selama masa vassa di Desa Brahmana Veranjà (Beliau menetap di sana atas undangan Brahmana Veranjà.")

 

10. Sakit punggung pada Sang Buddha

Pernah Bakal Buddha terlahir sebagai seorang petinju bayaran, saat itu ia memukul punggung lawannya hingga patah. Sebagai akibat dari kejahatan ini, Bhagavà dalam kehidupan terakhir-Nya sering mengalami sakit punggung.

 

11. Diare akut pada Sang Buddha

 Ketika Bakal Buddha terlahir sebagai seorang dokter dalam salah satu kehidupan lampau-Nya, ia dengan sengaja meresepkan obat yang menyebabkan sakit perut kepada putra seorang kaya yang enggan membayar jasa-Nya. Atas kejahatan itu, Bhagavà dalam kehidupan terakhir-Nya menderita penyakit disentri yang akut dan berdarah, sebelum meninggal dunia.

 

12. Dukkharacariya (penyiksaan diri sebelum menjadi Buddha) selama 6 tahun

Bodhisatta pernah terlahir sebagai seorang brahmana bernama Jotipala. Ia mengucapkan kata-kata hinaan terhadap Buddha Kassapa dengan berkata, "Bagaimana mungkin bahwa orang gundul ini telah mencapai Pencerahan Sempurna? Pencerahan Sempurna adalah hal yang sangat jarang terjadi."

Kata-kata hinaan ini berakibat tertundanya Pencerahan Sempurna Bhagavà. Para Bodhisatta lainnya mencapai Pencerahan Sempurna hanya dalam hitungan hari atau bulan, Buddha Gotama harus melewati enam tahun penuh penderitaan dalam pencarian-Nya.

 

*Hal yang bisa dipelajari dari 12 Hutang Karma Sang Buddha :

 

1. Buddha mengajarkan dan sudah menunjukkan untuk berani menghadapi semua akibat perbuatan yang pernah diperbuat sebelumnya. Mau menghindarpun tidak bisa, lebih baik menghadapi dengan berani.

 

2. Kamma pada saat tertentu bisa memanfaatkan kondisi yang ada untuk mematangkan buah kamma. Contohnya adalah permusuhan Buddha dan Devadatta. Walaupun demikian, Devadatta tidak melakukan pahala dengan memenuhi kamma yaitu melukai kaki Sang Buddha. Malah Devadatta masuk Neraka Avici karena perbuatannya ini.

 

3. Jika Sang Buddha "hanya" membayar 12 kamma terakhir-Nya, berapa banyak kamma kita yang masih harus dibayar? Berhentilah menanam kamma buruk sesegera mungkin.

 

 

About

Pengikut