1. Pertanyaan yang Diselesaikan
dengan Kesimpulan
Raja Milinda menemui Nagasena di
tempat kediamannya, dan setelah memberi hormat, raja duduk di satu sisi. Karena
ingin mengetahui, mendengar dan mengingat di dalam pikiran, serta ingin
menghalau kebodohan batinnya, raja mengumpulkan keberanian dan semangatnya,
memantapkan pengendalian diri dan kewaspadaannya, dan kemudian berbicara kepada
Nagasena:
“Sudah pernahkah Yang Mulia melihat Sang Buddha?”1
“Belum, baginda.”
“Sudah pernahkah guru-guru Anda melihat Sang Buddha?”
“Belum, baginda.”
“Kalau begitu, Nagasena, Sang Buddha itu tidak ada; tidak ada bukti yang jelas
tentang keberadaan Sang Buddha.”
“Tapi, apakah para ksatria yang merupakan pendiri garis keturunan raja yang
menurunkan baginda itu ada?”
“Tentu saja, Yang Mulia, tidak ada keraguan tentang hal itu.”
“Sudah pernahkah baginda melihat mereka?”
“Belum, Yang Mulia.”
“Apakah para guru dan menteri negara yang menetapkan undang-undang sudah pernah
melihat mereka?”
“Belum, Yang Mulia.”
“Kalau begitu, tidak ada bukti yang jelas tentang keberadaan para ksatria di
zaman dahulu itu.”
“Tetapi Nagasena, lencana kerajaan yang mereka gunakan masih dapat dilihat, dan
dari situ kita dapat menyimpulkan dan mengetahui bahwa para ksatria di zaman
dahulu itu benar-benar ada.”
“Demikian juga, O baginda, kita dapat mengetahui bahwa Sang Buddha pernah hidup
dan kita dapat mempercayai Beliau. Lencana kerajaan yang dipakai Sang Buddha
masih dapat dilihat. Ada empat landasan kewaspadaan, empat usaha benar, empat
landasan keberhasilan, lima kekuatan moral, lima kemampuan yang mengendalikan,
tujuh faktor pencerahan dan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dari semua itu kita
dapat menyimpulkan dan mengetahui bahwa Sang Buddha benar-benar ada.”
“Berikanlah ilustrasi.”
“Seperti halnya orang yang melihat kota yang indah dan terencana dengan baik
akan mengetahui bahwa kota itu ditata oleh arsitek yang ahli; demikian juga
kota kebenaran yang dibangun oleh Sang Buddha dapat dilihat. Kota itu memiliki
kewaspadaan yang tak terputus sebagai jalan utamanya, dan di jalan utama itu
terdapat kios-kios pasar yang menjual bunga, wangi-wangian, buah, penawar,
obat, nektar, permata tak ternilai, dan segala macam barang dagangan.
Demikianlah, O baginda, kota kebenaran Sang Buddha direncanakan dengan baik,
dibangun dengan kuat dan terlindung dengan baik sehingga kota itu tak dapat
ditembus musuh; dan dengan metode menyimpulkan ini baginda dapat mengetahui
bahwa Sang Buddha pernah ada.”
“Apakah bunga di kota kebenaran
itu?”
“Ada beberapa objek meditasi yang diperkenalkan oleh Sang Buddha: persepsi
tentang ketidakkekalan, tentang ketidakpuasan, tidak adanya jiwa, sifat yang
menjijikkan, bahaya, melepas, hilangnya nafsu, kekecewaan terhadap semua alam
kehidupan, ketidakkekalan semua bentukan mental; meditasi dengan memperhatikan
napas, persepsi mengenai sembilan macam mayat dalam proses pembusukan yang
berlangsung, meditasi cinta kasih, kasih sayang, suka cita dengan simpati dan
ketenang-seimbangan batin; serta kewaspadaan terhadap kematian dan kewaspadaan
terhadap tiga puluh dua bagian tubuh.2 Siapa pun yang ingin terbebas
dari usia tua dan kematian dapat memilih salah satu objek tersebut. Maka dia akan
dapat terbebas dari nafsu keserakahan, kebencian dan kebodohan batin,
kesombongan dan pandangan salah. Dia dapat menyeberangi lautan samsara,
membendung derasnya aliran nafsu keinginan, dan menghancurkan semua
penderitaan. Dia kemudian dapat memasuki kota nibbana di mana terdapat
rasa aman, ketenangan dan kebahagiaan.”
“Apakah wangi-wangian di kota
kebenaran itu?”
“Wangi-wangian itu ada dalam bentuk pelaksanaan pengendalian diri lewat Tiga
Perlindungan, lima sila, delapan sila, sepuluh sila, serta Patimokkha bagi
para. bhikkhu. Demikian ini dikatakan oleh Sang Buddha:
‘Tak ada keharuman bunga yang dapat
melawan arah angin,
Baik itu cendana, sari wewangian, atau bunga melati’.
Tetapi harumnya kebajikan dapat melawan angin,
Ke segala arah menyebar harumnya nama orang yang bajik.’3
“Apakah buah di kota kebenaran itu?”
“Buah itu adalah buah pemenang-arus, buah yang-kembali-sekali-lagi, buah
yang-tidak-kembali-lagi, dan buah Arahat, pencapaian kekosongan, pencapaian
keadaan tanpa-tanda dan pencapaian hilangnya nafsu.”4
“Apakah obat penawar di kota
kebenaran itu?”
“Empat Kesunyataan Mulia adalah penawar bagi racun kegelapan batin. Siapa pun
yang merindukan pandangan terang yang tertinggi dan mendengar Ajaran ini akan
terbebas dari kelahiran, usia tua, kematian, kesusahan, penderitaan, duka cita,
ratap-tangis dan keputusasaan.”
“Apakah obat di kota kebenaran itu?”
“Obat-obat tertentu, O baginda, telah diberikan oleh Sang Buddha untuk
menyembuhkan para dewa dan manusia. Inilah obat-obat itu: Empat Landasan Kewaspadaan,
Empat Usaha Benar, Empat Landasan Keberhasilan, Lima Kemampuan Pengendali, Lima
Kekuatan Moral, Tujuh Faktor Pencerahan dan Jalan Mulia Berunsur Delapan.
Dengan obat-obat ini Sang Buddha menyembuhkan orang dari pandangan salah,
pikiran salah, ucapan salah, tindakan salah, mata pencaharian salah, usaha
salah, kewaspadaan salah dan konsentrasi salah. Beliau membebaskan mereka dari
keserakahan, kebencian dan kegelapan batin, kesombongan, kepercayaan tentang
adanya diri, keraguan, kegelisahan, kemalasan dan kelambanan, tidak tahu malu
dan kesembronoan serta semua kekotoran batin lainnya.”
“Apakah nektar di kota kebenaran
itu?”
“Kewaspadaan terhadap tubuh adalah bagaikan nektar, karena semua makhluk yang
dipenuhi nektar kewaspadaan terhadap tubuh ini akan terbebas dari segala
penderitaan. Demikian ini dikatakan oleh Sang Buddha:
‘Mereka yang memanfaatkan
kewaspadaan terhadap tubuh akan menikmati nektar keadaan tanpa-kematian.’5
“Apakah permata tak ternilai di kota
kebenaran itu?”
“Moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, pengetahuan dan visi
kebebasan, pengetahuan untuk membedakan, dan faktor-faktor pencerahan adalah
permata tak ternilai dari Sang Buddha.
“Dan apakah permata tak ternilai dari moralitas? Yaitu nilai-nilai luhur
pengendalian lewat peraturan Patimokkha; nilai-nilai luhur pengendalian
kemampuan indera; nilai-nilai luhur mata pencaharian benar; nilai-nilai luhur
perenungan terhadap penggunaan empat kebutuhan pokok secara benar, makanan yang
dikumpulkan, obat-obatan, jubah, dan tempat tinggal; nilai-nilai luhur
pengendalian sesuai dengan peraturan disiplin yang pokok, menengah dan kecil,6
serta nilai-nilai luhur yang sudah menjadi kebiasaan manusia mulia.”
“Dan apakah permata tak ternilai dari konsentrasi? Yaitu jhana pertama dengan
buah-pikir pemicu dan buah-pikir yang bertahan, jhana kedua tanpa buah-pikir
pemicu tetapi dengan buah-pikir yang bertahan, jhana ketiga tanpa buah-pikir
pemicu maupun buah-pikir yang bertahan tetapi dengan sukacita yang murni,
kebahagiaan dan pemusatan pikiran; dan ini merupakan konsentrasi pada
kekosongan, pada keadaan-tanpa-tanda dan pada tiadanya nafsu keinginan. Ketika
seorang bhikkhu mengenakan permata konsentrasi ini, maka buah-buah pikir yang
jahat dan tidak bermanfaat akan terlepas dari pikirannya bagaikan air di daun
teratai.
“Dan apakah permata tak ternilai dari kebijaksanaan? Yaitu pengetahuan tentang
apa yang bajik dan apa yang tidak bajik, apa yang tercela dan apa yang terpuji,
serta pengetahuan tentang Empat Kesunyataan Mulia.
“Dan apakah permata tak ternilai dari kebebasan? Tingkat Arahat adalah permata
dari segala permata, permata tak ternilai dari kebebasan. Jika seorang bhikkhu
mengenakannya, dia lebih cemerlang daripada yang lain.
“Dan apakah permata tak ternilai dari pengetahuan dan visi kebebasan? Yaitu
pengetahuan yang digunakan para Arya untuk meninjau lagi Sang Jalan,
buah-buahnya dan nibbana, dan merenungkan kekotoran batin yang telah
dapat dihilangkan dan kekotoran batin yang masih ada.
“Dan apakah permata tak ternilai dari pengetahuan untuk membedakan? Yaitu
pandangan terang analitis terhadap makna, hukum, bahasa dan kecerdasan. Siapa
pun yang mengenakan permata ini tidak akan takut menghadapi berbagai macam
pertemuan dan percaya diri karena tahu bahwa dia dapat menjawab segala pertanyaan
yang diajukan kepadanya.
“Dan apakah permata tak ternilai dari faktor-faktor pencerahan? Yaitu permata
kewaspadaan, penyelidikan akan kebenaran, semangat, sukacita, ketenangan,
konsentrasi dan ketenang-seimbangan batin. Jika dihiasi dengan permata-permata
ini, seorang bhikkhu akan menerangi dunia dengan keluhurannya.”
2. Latihan Petapa
Raja melihat para bhikkhu di hutan,
sendirian dan jauh dari orang lain, menjalankan latihan berat sesuai dengan
sumpahnya. Raja juga melihat para perumah-tangga di rumah mereka yang memetik
buah manis dari Jalan Mulia. Ketika mempertimbangkan kedua hal ini, raja
merasakan keraguan yang mendalam. “Jika umat awam juga mewujudkan kebenaran,
maka bersumpah seperti itu tentunya sia-sia saja. Baiklah! Akan saya tanyakan
pada guru yang terbaik, yang bijaksana dalam tiga kitab suci yang berisi ajaran
Sang Buddha, yang terampil menyanggah argumentasi lawannya. Dia akan mampu
menghalau keraguanku!”7
Milinda mendatangi Nagasena, memberi hormat, duduk di satu sisi dan
bertanya: “Yang Mulia Nagasena, apakah ada umat awam yang telah mencapai nibbana?”
“Tidak hanya seratus atau seribu, tetapi lebih dari semilyar8 yang
telah mencapai nibbana.”
“Nagasena, jika perumah tangga yang hidup di rumahnya, yang menikmati
kesenangan-kesenangan indera juga dapat mencapai nibbana, apakah gunanya
sumpah tambahan tersebut? Jika musuh dapat dikalahkan hanya dengan tinju, apa
gunanya mencari senjata? Jika pohon dapat dipanjat begitu saja, apa gunanya
tangga? Jika berbaring di lantai sudah nyaman, apa gunanya ranjang? Demikian
juga, jika orang awam sudah dapat mencapai nibbana bahkan sembari hidup
di rumah, apa gunanya sumpah tambahan?”
“O baginda, ada dua puluh delapan keluhuran sumpah yang dinilai tinggi oleh
para Buddha. Menjaga sumpah adalah:
- Suatu
cara hidup murni,
- Buahnya
membahagiakan,
- Tidak
tercela,
- Tidak
membawa penderitaan bagi yang lain,
- Memberikan
rasa yakin,9
- Tidak
menekan,10
- Pasti
menyebabkan tumbuhnya sifat-sifat yang baik,
- Mencegah
kemunduran,
- Tidak
mengotori batin,
- Merupakan
perlindungan,
- Memenuhi
keinginan,
- Menjinakkan
semua makhluk,
- Baik
bagi disiplin diri,
- Pantas
bagi seorang petapa,
- Dia
mandiri,11
- Dia
bebas,12
- Menghancurkan
nafsu,
- Menghancurkan
kebencian,
- Menghancurkan
kebodohan batin,
- Mengikis
kesombongan,
- Memutus
pikiran yang mengembara dan membuat pikiran terpusat,
- Mengatasi
keraguan,
- Menghalau
kelambanan,
- Melenyapkan
ketidak-puasan,
- Membuatnya
punya toleransi,
- Tak
ada bandingnya,
- Tak
terukur, dan
- Mengarah
pada hancurnya semua penderitaan.
“Dan siapa pun yang melaksanakan
sumpah-sumpah itu akan memperoleh delapan belas sifat yang baik,
- Perilakunya
murni,
- Prakteknya
terpenuhi,
- Tindakan
dan kata-katanya terjaga baik,
- Buah-buah
pikirnya murni,
- Semangatnya
bangkit,
- Ketakutannya
berkurang,
- Pandangan
tentang diri terhalau,
- Kemarahan
lenyap dan
- Cinta
kasih tumbuh,
- Dia
makan dengan memahami sifat makanan yang menjijikkan,
- Dia
dihormati oleh semua makhluk,
- Dia
makan secukupnya,
- Dia
penuh kewaspadaan,
- Dia
tak-berumah dan
- Dapat
berdiam di mana pun yang sesuai baginya,
- Dia
jijik terhadap kejahatan,
- Dia
bersuka cita di dalam kesendirian dan
- Dia
selalu penuh perhatian.
“Dan ada sepuluh macam orang yang
pantas mengambil sumpah itu:
- Orang
yang penuh keyakinan,
- Orang
yang tahu malu,
- Orang
yang penuh keberanian,
- Orang
yang tidak munafik,
- Orang
yang mengandalkan diri sendiri,
- Orang
yang tegar,
- Orang
yang berniat untuk berlatih,
- Orang
yang bertekad kuat,
- Orang
yang selalu introspeksi,
- Orang
yang penuh kasih sayang.
“Dan semua orang awam yang
mewujudkan nibbana ketika hidup di rumahnya bisa melakukan hal itu
karena telah mempraktekkan sumpah ini di dalam kelahiran mereka sebelumnya.
Tidak akan ada perwujudan tujuan tingkat Arahat di dalam kehidupan kali ini
tanpa sumpah tersebut. Tingkat Arahat hanya dapat dicapai dengan usaha yang
amat sangat keras. Jadi nilai menjaga sumpah tersebut sangat tinggi, dan kuat
adanya.
“Dan siapa pun, O baginda, yang mempunyai niat jahat, mengambil sumpah ini
dengan tujuan mencari keuntungan materi, akan mendapatkan hukuman ganda: di
dunia ini dia akan dipandang rendah dan dicemooh, dan sesudah mati dia akan
menderita di neraka.
“Tetapi siapa pun, O baginda, yang perilakunya sesuai dengan kehidupan
kebhikkhuan, yang layak menjadi bhikkhu, yang sedikit keinginannya dan berpuas
hati, terbiasa dengan kesendirian, penuh semangat, tidak memiliki akal bulus,
dan telah meninggalkan keduniawian bukan karena ingin memperoleh keuntungan dan
ketenaran melainkan karena memiliki keyakinan terhadap Dhamma, yang
menginginkan kebebasan dari usia tua dan kematian, dia pantas mendapat penghormatan
ganda karena dia dicintai oleh dewa dan manusia, dan dengan cepat dia
memperoleh empat buah, empat jenis kemampuan membedakan,13 visi
berunsur-tiga,14 dan pengetahuan berunsur-enam yang lebih tinggi.15
“Dan apakah tiga belas sumpah tersebut?
- Mengenakan
jubah dari potongan-potongan kain,
- Menggunakan
hanya tiga jubah,
- Hidup
hanya dengan mengumpulkan dana makanan,
- Mengumpulkan
dana makanan dari satu rumah ke rumah lain tanpa pilih-pilih,
- Makan
sekali sehari,
- Makan
hanya dari mangkuk,
- Menolak
makanan yang ditawarkan sesudah itu,
- Berdiam
di hutan,
- Berdiam
di bawah pohon,
- Berdiam
di tempat terbuka,
- Berdiam
di kuburan,
- Menggunakan
tempat tidur mana pun yang diberikan, dan
- Tidak
berbaring untuk tidur.16
“Dan dengan menjalankan
sumpah-sumpah inilah Upasena dapat mengunjungi Sang Buddha ketika Beliau sedang
menyendiri,17 dan karena sumpah yang sama pula Sariputta memiliki
keluhuran yang begitu tinggi sehingga dia dinyatakan sebagai orang kedua yang
hanya kalah oleh Sang Buddha dalam kemampuannya membabarkan Dhamma.”18
“Bagus sekali Nagasena, seluruh Ajaran Sang Buddha, pencapaian adiduniawi dan
semua hasil terbaik di dunia ini tercakup di dalam tiga belas latihan pertapa
ini.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar