BAB ENAM
KEMELEKATAN
1. “Apakah tubuh jasmani ini,
Nagasena, berharga bagi para petapa?”
“Tidak, baginda.”
“Kalau begitu, mengapa para petapa merawat dan memberikan perhatian pada tubuh
jasmani?”
“Kami merawat dan menjaga tubuh jasmani ini sama seperti kita merawat luka.
Bukan karena luka itu berharga bagi kita, melainkan hanya supaya daging baru
dapat tumbuh kembali. Demikian ini telah dikatakan oleh Sang Buddha:
“Tubuh jasmani yang kotor ini berbau busuk
Seperti tinja, seperti kakus;
Tubuh jasmani yang oleh para bijaksana
Dikutuk ini, adalah sumber kesukaan bagi si tolol.
Sebuah tumor di mana sembilan lubang
berdiam
Terbungkus di dalam mantel kulit yang berkeringat1
Dan meneteskan kotoran pada tiap sisinya,
Mencemari udara dengan bau busuk ke mana-mana.
Seandainya saja secara kebetulan
harus terjadi
Apa yang tersimpan di dalam berada di luar,
Tentu orang akan membutuhkan cambuk
Untuk menghalau anjing dan gagak’.”2
2. “Jika Sang Buddha itu mahatahu,
mengapa Beliau baru menetapkan peraturan Sangha setelah suatu peristiwa
terjadi?”
“Beliau baru menetapkan peraturan ketika dibutuhkan, sama seperti seorang
dokter ahli baru menuliskan resep bagi pasiennya ketika dibutuhkan, walaupun
dia telah mengetahui semua obat sebelum suatu penyakit menyerang.”
3. “Jika Sang Buddha memiliki tiga
puluh dua tanda manusia agung,3 mengapa orangtua Beliau tidak memilikinya
juga?”
“Sama halnya seperti bunga teratai yang terlahir di lumpur dan menjadi sempurna
di air tidak menyerupai lumpur dan air, demikian juga Sang Buddha tidak sama
dengan orangtua Beliau.”
4. “Apakah Sang Buddha seorang
Brahmacari, seorang yang tidak menikah?”
“Ya.”
“Kalau begitu Beliau pengikut Brahma!”
“Meskipun suara gajah sama seperti suara bangau, gajah bukanlah pengikut
bangau. Katakanlah, baginda, apakah Brahma itu mempunyai kecerdasan (buddhi)?”
“Ya.”
“Kalau begitu pastilah dia pengikut Sang Buddha!”
5. “Apakah pentahbisan bhikkhu itu
sesuatu yang baik?”
“Ya.”
“Tetapi apakah Sang Buddha menjalaninya, atau tidak?”
“Baginda, ketika Sang Buddha mencapai Pencerahan Sempurna di kaki pohon Bodhi,
itulah pentahbisan Beliau. Tidak ada penganugerahan pentahbisan bagi Beliau
dari orang lain seperti yang Beliau berikan kepada siswa-siswa-Nya.”
6. “Bagi siapakah air mata itu
merupakan penyembuhan: bagi orang yang menangis karena kematian ibunya, atau
bagi orang yang menangis karena cintanya pada kebenaran?”
“Air mata yang pertama, O baginda, ternoda dan panas oleh kemelekatan, tetapi
air mata yang kedua itu tidak ternoda serta sejuk. Terdapat penyembuhan di
dalam kesejukan dan ketenangan, tetapi di dalam panas dan nafsu tidak akan
mungkin ada penyembuhan.”
7. “Apakah perbedaan antara orang
yang dipenuhi kemelekatan dengan orang yang telah terbebas dari kemelekatan?”
“Yang pertama diperbudak, O baginda, sedangkan yang kedua tidak diperbudak.”
“Apa maksudnya?”
“Yang pertama dipenuhi nafsu keinginan, sedangkan yang kedua tidak.”
“Tetapi kedua-duanya menyukai makanan yang enak, dan kedua-duanya tidak
menyukai makanan yang tidak enak.”
“Orang yang melekat, O baginda, makan dengan mengalami cita rasa makanan itu
serta mengalami kemelekatan pada cita rasa itu. Tetapi, orang yang tidak
melekat mengalami cita rasa makanan itu saja dan tidak mengalami kemelekatan
yang timbul dari cita rasa makanan tersebut.”
8. “Di manakah kebijaksanaan
berdiam?”
“Tidak di mana pun, O baginda.”
“Kalau begitu kebijaksanaan itu tidak ada.”
“Di manakah angin berdiam?”
“Tidak di mana pun.”
“Kalau begitu angin itu tidak ada!”
“Anda sangat cerdik dalam menjawab, Nagasena.”
9. “Apa yang dimaksud dengan
lingkaran tumimbal lahir (samsara)?”
“Seseorang yang dilahirkan di sini, mati di sini dan dilahirkan di tempat lain.
Setelah dilahirkan di sana, dia mati dan dilahirkan di tempat lain.”
10. “Dengan apakah kita mengingat
perbuatan yang telah dilakukan di masa lalu?”
“Dengan ingatan (sati).”
“Apakah bukan dengan pikiran (citta) kita mengingat kembali?”
“Apakah baginda ingat sesuatu urusan yang pernah baginda lakukan tetapi
kemudian terlupakan?”
“Ya.
“Apakah waktu itu baginda tanpa pikiran?”
“Tidak. Tetapi ingatan saya yang tak mampu.”
“Kalau begitu mengapa baginda katakan bahwa dengan pikiran kita mengingat
kembali?”
11. “Apakah ingatan selalu timbul
dengan sendirinya, ataukah dipengaruhi oleh sugesti dari luar?”
“Kedua-duanya, O baginda.”
“Tetapi apakah bukan berarti bahwa pada dasarnya semua ingatan itu bersifat
subjektif?”4
“Baginda, seandainya tidak ada bagian ingatan yang ditanamkan maka para ahli
tidak perlu berlatih atau bersekolah, dan guru tidak akan ada gunanya. Tetapi
keadaan sebaliknyalah yang terjadi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar