Oleh: Yang Mulia Bhikkhu Uttamo
Thera
Di dalam tradisi kita sebagai umat
Buddha, memperingati upacara kematian atau memperingati saat-saat kematian
orang yang kita sayangi, saat-saat wafat orang yang kita cintai sesungguhnya
telah dimulai sejak jaman Sang Buddha. Tentu saja bukan hanya dengan mengirim
makanan, mengirim pakaian kepada orang tua atau almarhum. Ada beberapa hal yang
memang diajarkan oleh Sang Buddha dalam upacara peringatan kematian seperti
hari ini. Ada dua cerita yang berkembang dalam masyarakat Buddhis. Cerita yang
pertama telah sering kita dengar yaitu cerita seorang murid Sang Buddha yang
paling sakti, yang paling hebat, bernama Bhante Moggalana. Dalam bahasa
Mandarin, cerita ini dikenal sebagai Mu Lien Ciu Mu (Y.M. Moggalana menolong
ibunya). Cerita inilah yang paling dikenal masyarakat luas. Padahal cerita itu
tidak terdapat dalam Tripitaka. Menurut cerita ini, pada waktu sedang
bermeditasi, Bhante Moggalana mempergunakan kemampuan batinnya untuk melihat
alam-alam lain selain alam manusia. Memang bagi kita yang sudah biasa melatih
meditasi, sebetulnya melihat alam lain bukanlah sesuatu hal yang luar biasa.
Melihat alam surga, melihat alam neraka bukanlah sesuatu yang sulit. Surga 26
tingkat pun bisa dilihat satu demi satu. Tidak ada masalah. Pada waktu itu
Bhante Moggalana melihat surga, tempat para dewa dan dewi yang lebih dikenal
orang dengan istilah 'malaikat'. Selain itu, beliau juga melihat ke alam-alam
menderita, alam setan, setan raksasa yang kita sebut Asura, setan kelaparan
atau alam peta dan juga alam neraka. Bhante Moggalana dengan prihatin melihat
alam-alam menderita yang sangat menyedihkan ini. Di salah satu alam setan
kelaparan, Bhante Moggalana melihat ibunya terlahir di situ. Di sana, terlihat
ibunya dalam keadaan kurus kering dan telanjang bulat. Bhante Moggalana merasa
sangat kasihan sekali kepada ibunya. Beliau berusaha menolong ibunya. Beliau
mencoba memberikan makanan dan minuman kepada ibunya. Namun, segala pemberian
beliau bukannya menolong ibunya; pemberiannya justru menambah penderitaan
ibunya. Karena kebingungan atas kegagalannya menolong sang ibu, Bhante
Moggalana menghadap Sang Buddha. Bhante Moggalana bertanya kepada Sang Buddha
tentang sebab musabab kegagalan usaha pertolongannya kepada ibunya. Sang Buddha
menjelaskan bahwa bila akan menolong makhluk di alam menderita hendaknya orang
melakukannya dengan cara pelimpahan jasa. Pelimpahan jasa adalah melakukan
suatu perbuatan baik atas nama orang yang telah meninggal yang akan ditolong.
Oleh
karena itu, Bhante Moggalana kemudian disarankan oleh Sang Buddha untuk
memberikan persembahan jubah dan makanan kepada pada bhikkhu Sangha atas nama
ibunya. Nasehat Sang Buddha ini diikuti oleh Bhante Moggalana. Beberapa waktu
kemudian Bhante Moggalana mengundang para bhikkhu, mempersembahkan dana makan,
mempersembahkan jubah, kemudian melakukan pelimpahan jasa atas nama ibunya.
Setelah melaksanakan upacara pelimpahan jasa, Bhante Moggalana bermeditasi
lagi. Dengan mata batinnya beliau mencari ibunya di alam peta. Ketika bertemu,
keadaan ibunya jauh berbeda. Ibunya kini kelihatan segar, sehat, awet muda,
pakaiannya bagus, rapi dan bersih. Melihat hal itu, Bhante Moggalana
berbahagia. Berdasarkan cerita itulah orang mengenal upacara pelimpahan jasa.
Upacara pelimpahan jasa iini juga sering dihubungkan dengan tradisi mendoakan
para makhluk menderita yang dilaksanakan setiap tanggal 15 di bulan 7 menurut
penanggalan Imlek. Itulah cerita tradisi.
Bila
cerita di atas adalah merupakan cerita yang berkembang dalam tradisi masyarakat
tertentu, maka ada cerita lain yang memang terdapat dalam kitab suci Tri
Pitaka. Kitab Suci Tri Pitaka memberikan cerita dengan versi lain tentang
upacara pelimpahan jasa. Cerita ini berhubungan dengan raja Bimbisara. Raja
Bimbisara suatu ketika mengundang Sang Buddha dan seluruh bhikkhu ke istana.
Raja dalam kesempatan itu mempersembahkan dana makan serta jubah. Setelah
berdana, raja merasakan kebahagiaan. Para bhikkhu pun lalu pulang ke vihara
bersama dengan Sang Buddha. Raja Bimbisara sangat berbahagia pada hati itu,
karena dia punya kesempatan mengundang Sang Buddha ke istana. Akan tetapi pada
malam harinya raja memperoleh banyak gangguan dari para makhluk tak tampak. Ia
banyak mendengar jeritan dan tangisan dari makhluk tak tampak. Raja akhirnya
tidak dapat tidur semalaman. Pada pagi keesokan harinya raja Bimbisara segera
pergi ke vihara, bertemu dengan Sang Buddha. Sang raja bertanya kepada Sang
Buddha tentang gangguan yang dialaminya, padahal ia baru saja melakukan
perbuatan baik.
Sang
Buddha menerangkan bahwa para makhluk yang mengganggu itu sebenarnya adalah
sanak keluarga raja sendiri dari banyak kehidupan yang lalu. Namun, karena
mereka telah melakukan kesalahan, mereka kemudian terlahir di alam menderita,
alam setan kelaparan. Oleh karena itu, Sang Buddha kemudian menyarankan kepada
raja agar ia sekali lagi mengundang para bhikkhu ke istana. Bila para bhikkhu
telah sampai di istana, raja hendaknya mempersembahkan dana makanan dan jubah
atas nama para makhluk menderita yang pernah menjadi saudaranya itu. Keesokan
harinya, raja Bimbisara mengundang para bhikkhu dan Sang Buddha untuk menerima
persembahan dana makan dan jubah. Kemudian jasa kebaikannya dilimpahkan kepada
mereka. Para makhluk menderita itu merasakan pula kebahagiaan yang luar biasa.
Kebahagiaan inilah yang menyebabkan mereka mati dari alam menderita dan
terlahir kembali di alam bahagia.
Dalam
kesempatan itulah Sang Buddha membabarkan Tirokuddha Sutta. Sang Buddha
bersabda bahwa di dinding-dinding, di gerbang-gerbang, di
persimpangan-persimpangan jalan banyak keluarga kita yang terlahir di alam
menderita menunggu kebaikan hati kita. Mereka menanti pelimpahan jasa kita
dengan penuh kesedihan. Ketika sanak keluarganya berpesta pora dan menikmati
kebahagiaan, tidak ada satu pun di antara mereka yang diingat. Padahal di sana
tidak ada perdagangan, tidak ada warung dan restoran. Lalu bagaimana caranya
kita menolong mereka? Kita bisa menolong mereka dengan melakukan kebaikan, dan
melimpahkan jasanya kepada mereka.
Dalam
masyarakat, pelimpahan jasa kadang-kadang dihubungkan dengan tradisi melakukan
upacara tertentu pada bulan tujuh menurut penanggalan Imlek. Padahal menurut
agama Buddha sebetulnya pelimpahan jasa tidak harus menunggu bulan tujuh.
Sebab, belum tentu pada bulan tujuh nanti kita masih tetap hidup! Kalau kita
juga ikut meninggal, justru malahan kitalah yang menerima pelimpahan jasa!
Sebetulnya pelimpahan jasa bisa dilaksanakan setiap saat, bahkan setiap malam
pun kita bisa merenung. 'Semoga dengan semua kebaikan yang telah saya lakukan
sampai malam hari ini, almarhum papa dan mama memperoleh kebahagiaan sesuai
dengan kondisi karmanya saat ini.' Kenapa dipilih 'bulan tujuh', ini tentu ada
sebabnya. Dasar pemilihan ini dari kebiasaan Tiongkok. Bulan tujuh adalah bulan
pergantian musim. Kita pun dapat melihat di Indonesia kalau pada Bulan Tujuh
udara sangatlah dingin, bulan menggigil! Oleh karena itu, dalam bulan ini cukup
banyak orang yang sakit. Karena banyaknya orang sakit maka para orang tua jaman
dahulu menganggapnya sebagai banyaknya gangguan setan. Setan yang mengganggu
berasal dari neraka yang, katanya, sedang 'dibuka'. Oleh sebab itu, para
leluhur kita dahulu kemudian melakukan upacara tertentu agar tidak memperoleh
bencana karena gangguan para setan tadi. Itulah, secara singkat, awal munculnya
tradisi upacara di bulan tujuh tanggal lima belas. Secara Agama Buddha, sekali
lagi, pelimpahan jasa dapat dilakukan setiap saat, tanpa harus menunggu
bulan-bulan tertentu.
Apakah
pelimpahan jasa itu masih bermanfaat bila dilakukan di jaman sekarang ini?
Masih! Ada kisah nyata. Ada seorang samanera yang ibunya meninggal dunia.
Karena dia Buddhis, dia mengerti bagaimana caranya berbuat baik. Dia mengundang
seorang bhikkhu dengan satu samanera yang lain lagi untuk membacakan Paritta.
Setelah selesai dia mempersembahkan dana. Di sini ada baiknya disebutkan
jumlahnya karena jumlahnya ini berhubungan dengan cerita ini. Mereka
masing-masing mendapatkan selembar amplop yang berisi Rp. 5000,00. Beberapa
hari kemudian samanera yang mengadakan pelimpahan jasa itu menceritakan bahwa
ibunya telah mendatanginya lewat mimpi. Dalam mimpi, ibunya mengatakan kini ia
telah mempunyai uang. Ibunya, dalam mimpi, menunjukkan uang dua lembar @ Rp.
5000,00!
Ada
cerita yang lain lagi. Ada seorang ibu yang sudah lama menjadi janda. Suatu
malam suaminya datang dalam mimpi dan meminta selembar baju. Setelah bangun,
sang istri kemudian pergi ke pasar untuk membeli kain yang seukuran suaminya,
juga yang warna dan motifnya yang disenangi suaminya. Si istri kemudian
meletakkan semuanya itu di meja penghormatan yang ada foto almarhum di atasnya.
Dia kemudian membaca Paritta. Selesai ber-Paritta dia mengatakan: 'Niat saya
hari ini mau berdana, atas nama suami saya, semoga dengan kekuatan kebaikan ini
suami saya memperoleh kebahagiaan sesuai dengan kondisi karmanya saat ini.'
Sesudah selesai, kainnya ini tidak dibakar, tetapi didanakan kepada salah
seorang pengurus Vihara atas nama almarhum suaminya. Seminggu kemudian ibu ini
mimpi lagi suaminya datang. Suaminya puas dengan pemberian bajunya, hanya saja
ia mengeluh kalau ukuran bajunya tidak sesuai, kekecilan. Ibu ini terbangun,
kemudian merenungkan arti mimpinya. Dia teringat bahwa ketika membeli kain
ukurannya sama dengan ukuran suaminya, padahal orang yang menerima dana
badannya lebih besar daripada suaminya. Pantas kekecilan! Keesokan harinya,
istri yang setia ini pergi ke pasar lagi untuk membeli kain kekurangannya, dan
dia berikan kepada penjaga vihara itu. Penjaga vihara itu justru heran atas
pengertian si ibu. Ia baru saja akan menghubungi si ibu karena kainnya memang
kurang ukurannya.
Dari
cerita ini jelas kelihatan bahwa sebetulnya pelimpahan jasa secara Buddhis itu
dapat diterima oleh para makhluk yang kita kirimi. Hanya saja, syaratnya
makhluk itu harus terlahir di alam Paradatupajivika Peta. Kalau dia tidak
terlahir di alam itu, kalau dia terlahir di salah satu dari 26 alam surga, atau
terlahir di alam neraka, maka makhluk ini tidak bisa menerima pelimpahan jasa
kita. Kalau demikian, apakah manfaat bagi kita membacakan Paritta untuk makhluk
yang tidak terlahir di alam peta tersebut? Apabila orang yang meninggal itu
tidak terlahir di alam Peta tersebut, minimal selama kita membacakan Paritta
seperti hari ini, selama itu pula pikiran, ucapan serta perbuatan kita dipupuk
untuk sesuatu yang baik, mendoakan agar almarhum berbahagia. Kenal atau pun
tidak kenal kepadanya kita tetap mendoakan semoga almarhum berbahagia. Maka
selama setengah jam itu, pikiran, ucapan dan perbuatan kita telah melaksanakan
kebaikan. Bayangkan kalau pagi setengah jam, malam setengah jam lagi, berarti
hari ini kita punya satu jam yang berisi pikiran, ucapan, dan perbuatan kita
baik. Kalau tiap pagi dan malam kita bisa membaca Paritta setengah jam, maka
dalam satu bulan kita dapat mengumpulkan sekitar 30 jam untuk berpikir dan
berbuat yang baik. Luar biasa, begitu besar kesempatan melakukan perbuatan
baik. Hanya dengan membaca Paritta saja! Cobalah bila kita duduk selama satu
jam. Pikiran dengan mudah mengembara kemana-mana. Kadang timbul pikiran baik,
tetapi tidak jarang muncul pikiran jahat. Tetapi dengan diisi kegiatan membaca
Paritta, maka pikiran, ucapan serta perbuatan kita otomatis terisi pula dengan
kebaikan. Satu jam setiap hari, 30 jam satu bulannya kita berkesempatan mengembangkan
kebaikan hanya dengan membaca Paritta. Oleh karena itu, seringlah membaca
Paritta, apalagi pada upacara-upacara semacam ini. Bagus. Dalam upacara ini,
selain kita telah melaksanakan kebaikan dengan membaca Paritta, kita juga dapat
melimpahkan jasa kebaikan itu kepada almarhum. Bukankah kita dengan mambaca
Paritta berarti tealh berbuat baik? Datang dari tempat yang jauh khusus untuk
membacakan Paritta. Kita pun juga bisa melimpahkan jasa itu kepada
sanak-keluarga kita sendiri yang sudah meninggal. Sanak keluarga kita yang
terdiri dari kakek-nenek, orang tua maupun para leluhur dan kerabat kita
lainnya. Mereka juga perlu kita berikan pelimpahan jasa agar mereka berbahagia.
Jadi, pelimpahan jasa dapat dilaksanakan oleh siapa pun dan kapan pun juga. Karena
pelimpahan jasa ini akan membawa manfaat baik bagi yang meninggal maupun kita
yang hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar