Sumber: http://wirajhana-eka.blogspot.com/
Buddhism
tidak memegang pandangan adanya Jiwa/roh di dalam makluk hidup. Mahluk hidup
menurut Buddhism adalah Panca khanda atau Nama/rupa.
·
Pancakhanda terdiri dari Vinnana(Kesadaran), Vedana
(perasaan), Sanna (persepsi, ingatan, sumber, gagasan), Sankhara (bentukan-bentukan),
Rupa (Materi).
·
Nama rupa (Vedana, Sanna, Cetana (kehendak), Phasa (kontak),
Manosikaro (bentuk pikiran) dan Rupa).
Vinnana
yang tidak disebutkan dalam nama rupa ada di phassa (kontak).
Dengan
6 Indriya [mata, telinga,.., pikiran] dan objek-objeknya [bentukan, suara,..,
(ingatan, sumber, persepsi, gagasan)] sebagai kondisi, muncul kesadaran [mata,
teling,..]. Pertemuan ketiganya disebut Kontak.
-> [juga dapat seperti ini: "MentalMateri mengondisikan kesadaran
dan kesadaran mengondisikan MentalMateri, MentalMateri mengondisikan
kontak" [DN 15/Mahānidāna Sutta];
Dengan kontak sebagai kondisi, muncul perasaan[vedana];
-> [perasaan itu ada 3: Dukkha, Sukkha, a-dukkham a-sukkam; atau dengan kata
lain: SUKACITA [somanassaṭṭhāniyaṁ], DUKACITA
[domanassaṭṭhāniyaṁ], NETRAL
[upekkhaṭṭhāniyaṁ]; ato kata lain lagi: menyenangkan
[manāpaṃ], tidak menyenangkan [amanāpaṃ], menyenangkan
dan tidak menyenangkan [manāpāmanāpaṃ] -> masing-masing
dari 3 perasaan dibagi menjadi 2 lagi yaitu perasaan: "tertentu" dan
"yang lain" (MN.70/Kīṭāgiri Sutta] maksudnya
perasaan-perasan yang menambah kusala = "yang lain"; yang menambah
akusala = "tertentu". Penangan pada muncul perasaan-perasan jenis "yang
lain" ->‘Masuk dan berdiamlah dalam perasaan itu', jika muncul perasaan
jenis "tertentu" -> ‘Tinggalkan perasaan itu']
Apa yang dirasakan, itulah yang dikenali [sañjānāti];
Apa
yang dikenali, itulah yang dipikirkan [vitakketi];
Apa
yang dipikirkan, itulah yang dikembangbiakkan [papañceti] pikiran;
Dengan apa yang dikembangbiakkan dipikirannya sebagai: sumber, persepsi dan
gagasan [papañca-saññā-saṅkhā], melanda seseorang melalui
objek-objek [bentukan, suara,..] masa: lalu, sekarang dan depan yang dikenali 6
Indriya [mata, telinga,.., pikiran]. [MN 18/Madhupiṇḍikasutta]
Materi (rupa) membentuk Indriya, yang merupakan kontak dan juga tempat
kesadaran. Saat kontak ada persaan dan persepsi serta pikiran dan
bentukan-bentukan pikiran. Inilah mengapa kesadaran tersebut ada di seluruh
bagian mahluk hidup.
"Perasaan, persepsi, dan kesadaran, teman - kondisi-kondisi ini adalah
tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak mungkin untuk memisahkan
kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara
ketiganya. Karena apa yang seseorang rasakan, itulah yang ia persepsikan; dan
apa yang ia persepsikan, itulah yang ia sadari. Itulah mengapa kondisi-kondisi
ini adalah tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak mungkin untuk memisahkan
kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara
ketiganya." [MN.43, Mahāvedalla Sutta]
"Saññā ca vedanā ca cetasikā ete dhammā
cittapaṭibaddhā. Tasmā saññā ca vedanā ca
cittasaṅkhāroti" (Persepsi dan perasaan adalah fenomena mental,
kondisi-kondisi ini terikat dengan pikiran; itulah sebabnya mengapa persepsi
dan perasaan adalah juga bentukan pikiran)[MN.44, Cūḷavedalla Sutta]
Itulah sebabnya Buddhism mengatakan tidak ada jiwa (an-atta), yang ada adalah
bauran dari hal tersebut di atas.
Cuplikan VINA SUTTA, Samyutta Nikaya 35.205:
[..]
Misalkan ada seorang raja atau menteri kerajaan yang belum pernah mendengar
suara musik kecapi. Kemudian pada suatu hari ia mendengarkannya dan
berkata,"Orang baik beritahukanlah kepadaku , suara apakah itu, yang
begitu mempesona, begitu menyenangkan, begitu memabukkan, begitu menggairahkan,
dengan kekuatan yang begitu mengikat?"
Lalu mereka berkata kepadanya,"Paduka, itu adalah suara musik
kecapi."
Maka
ia berkata,"Pergilah, bawakan aku kecapi itu!"
Lalu mereka membawakan kecapi itu kepadanya tetapi ia berkata,"Cukup sudah
dengan kecapi ini. Bawakan saja aku musiknya!"
Mereka lalu berujar,"Paduka, kecapi ini terdiri dari berbagai dan banyak
bagian: perut, kulit, tangkai, kerangka, senar, kuda-kuda, dan upaya pemain.
Dan kecapi itu bersuara karena mereka. Kecapi itu bersuara karena banyak
bagian".
Lalu raja tersebut memecahkan kecapi itu menjadi ratusan bagian, memecah dan
memecahnya lagi, membakarnya, menaruh abunya dalam sebuah timbunan, dan
menampinya dalam sebuah tong atau mencucinya dengan air agar dapat menemukan
suara musiknya.
Setelah melakukan hal ini, ia berkata, "Kecapi merupakan benda yang
sungguh jelek; apapun gerangan sebuah kecapi itu, dunia telah terbawa sesat
oleh benda itu".
Demikian pula, pada seseorang yang menyelidiki badan JASMANI sejauh apapun
badan jasmani mengada dan berubah, menyelidiki PERASAAN..., menyelidiki
PERSEPSI (pencerapan)..., menyelidiki BENTUK-BENTUK BATIN/PIKIRAN...,
menyelidiki KESADARAN sejauh apapun kesadaran mengada dan berubah, tidak akan
ditemukan atau muncul gagasan atau pandangan mengenai "Diriku, Milikku,
Aku".
Cuplikan Vaijira Sutta, Samyuta Nikaya 5.10:
Bertempat
di Sāvatthi.
Bhikkhunī Vajirā pagi-pagi sekali setelah mengenakan jubahnya,
membawa jubah luar dan mangkuknya memasuki kota Sāvatthi untuk
mengumpulkan dana makanan. Setelah kembali mengumpulkan dana makanan dan setelah
menyantap makanannya, beliau masuk ke hutan Andhavana , kemudian beliau duduk
di salah satu akar pohon untuk berdiam selama siang hari.
Kemudian datang Mara penggoda yang senang menimbulkan ketakutan yang
menggetarkan dan mendirikan bulu roma guna menjatuhkan Sang Bhikkhuni dari
samādhi datang menghampiri beliau, setelah mendekat dia berkata padanya
dalam bentuk syair (gāthā)
“Makhluk dibuat oleh siapa?,
Dimanakah si pencipta makhluk?
Dimanakah
makhluk muncul?,
Dimanakah makhluk lenyap?”
Kemudian Bhikkhunī Vajirā berkata:
“Siapakah
kamu sesungguhnya yang mengucapkan syair ini, manusiakah atau bukan?
Inilah Māra penggoda yang mengucapkan syair yang bertujuan menjatuhkan aku
dari samādhi, yang senang menimbulkan ketakutan yang menggetarkan dan
mendirikan bulu roma.”
Kemudian setelah mengetahui ‘Inilah Māra si penggoda’ maka Bhikkhunī
Vajirā menjawab Māra si penggoda dengan syair:
“Apa
“sesosok makhluk’?,
O
Māra kamu diliputi pandangan keliru
Ini
hanyalah tumpukan perpaduan, disini tidak diketemukan ‘makhluk’
Sebagaimana tersusun dari pelbagai komponen, demikianlah muncul sebutan
‘kereta’
Demikianlah keberadaan ‘kelompok kehidupan’ maka muncullah sebutan ‘makhluk’
secara kesepakatan.
Dukkhalah
sesungguhnya yang muncul ,
Dukkha
pula yang menjelma
Tiada
yang lain kecuali dukkhalah yang muncul,
Tiada
yang lain kecuali dukkhalah lenyap.”
Māra si penggoda berpikir:
“Bhikkhunī Vajirā telah mengenali aku”
Kemudian dia menghilang dengan sedih dan kecewa.
note:
Mara pāpimā, kerap di terjemahkan Mara 'the evil one' dan
diterjemahkan ke Indonesia Mara "si jahat". Saya ubah menjadi Mara si
penggoda dengan alasan arti Papima diterjemahkan malicious
[jahat, dendam, dengki]. Kata ini sulit di artikan dan bisa jadi berasal dari
kata papma
mrtyuh [Salah satu brahmana (penjelasan utk Veda), lihat cat kaki no.2 atau
di
sini]. Kemudian, papau
[no.523], di mana penterjemahan beberapa kata selalu berhubungan dengan
"mabuk". Ia berasal dari kata "papa" [Misery
(kesengsaraan), calamity (kesusahan); ketidakberuntungan, dll]. Poinnya adalah
Mara selalu berusaha menyeret mahluk menuju kelahiran kembali sehingga menurut
saya, lebih tepat diterjemahkan sebagai si penggoda.
Cuplikan Milinda Panha Bab I:
Milinda
Pañha merupakan buku Pali yang ditulis kira-kira pada Abad Pertama Sebelum
Masehi. Raja Milinda, seorang raja Bactria [Afganistan Utara] yang memerintah
di tenggara India, menemui seorang bhikkhu pandai yang bernama Nagasena. Raja
Milinda melontarkan sejumlah pertanyaan mengenai filsafat, psikologi dan etika
Buddhisme.
[..]
Raja Milinda pergi menemui Bhikkhu Nagasena. Setelah saling mengucapkan salam
persahabatan secara sopan, raja duduk dengan hormat di satu sisi. Milinda mulai
bertanya:
"Apa
sebutan Yang Mulia dan siapakah nama Anda?"
"Baginda,
saya disebut Nagasena. Namun itu hanyalah rujukan dalam penggunaan umum, karena
sebenarnya tidak ada individu permanen yang dapat ditemukan."
Mendengar
itu, Milinda mengundang orang-orang Yunani Bactria serta para bhikkhu untuk
menjadi saksi: "Nagasena ini berkata bahwa tidak ada individu permanen
yang tersirat di dalam namanya. Mungkinkah hal seperti itu diterima?"
Kemudian
dia berbalik kepada Nagasena dan berkata, "Yang Mulia Nagasena, jika hal
tersebut benar, lalu siapakah yang memberi Anda jubah, makanan dan tempat
tinggal? Siapakah yang menjalani kehidupan dengan benar? Atau juga, siapakah
yang membunuh makhluk hidup, mencuri, berzinah, berbohong dan mabuk-mabukan?
Jika apa yang Anda katakan itu benar, maka tidak ada perbuatan yang bajik atau
perbuatan yang tercela, tidak ada pelaku kebajikan atau pelaku kejahatan, dan
tidak ada hasil karma. Yang Mulia, seandainya saja seseorang membunuh Anda,
maka tidak akan ada pembunuh. Dan itu juga berarti tidak ada master atau guru
di dalam Sangha anda [sangha = kumpulan para Bikkhu]. Anda katakan bahwa Anda
disebut Nagasena. Nah, apa itu Nagasena? Apakah rambutnya?"
"Saya
tidak mengatakan demikian, raja yang agung."
"Kalau
begitu, apakah kukunya, giginya, kulitnya atau bagian tubuh lainnya?"
"Tentu saja tidak."
"Atau apakah tubuhnya, atau perasaannya, atau pencerapannya, atau
bentuk-bentuk pikirannya, atau kesadarannya?1 Ataukah gabungan dari itu semua? Ataukah sesuatu di luar
semua itu yang disebut Nagasena?"
Masih
saja Nagasena menjawab: "Bukan semuanya itu."
"Kalau
begitu, dapat dikatakan bahwa aku tidak dapat menemukan Nagasena itu. Nagasena
hanyalah omong kosong. Lalu siapakah yang kami lihat di depan mata ini? Yang
Mulia telah berdusta."
"Baginda, tuan telah dibesarkan di dalam kemewahan sejak dilahirkan.
Bagaimana tadi baginda datang kemari, berjalan kaki atau naik kereta?"
"Naik
kereta, Yang Mulia."
"Kalau
begitu, tolong jelaskan apakah kereta itu? Apakah porosnya? Apakah rodanya,
atau sasisnya, atau kendalinya, atau kuknya, yang disebut kereta? Ataukah
gabungan dari itu semua, ataukah sesuatu di luar semua itu?"
"Bukan
semuanya itu, Yang Mulia."
"Kalau
begitu, baginda, kereta ini hanyalah omong kosong. Baginda berdusta ketika
berkata datang kemari naik kereta. Baginda adalah raja yang besar di India.
Siapa yang baginda takuti sehingga baginda berdusta?"
Kemudian Nagasena memanggil orang-orang Yunani Bactria dan para bhikkhu
untuk menjadi saksi: "Raja Milinda ini telah berkata bahwa beliau datang
kemari naik kereta, tetapi ketika ditanya, 'Apakah kereta itu?' beliau tidak
dapat menunjukkannya. Dapatkah hal ini diterima?"
Maka
secara serempak ke-500 orang Yunani Bactria itu berteriak bersama-sama kepada
raja, "Jawablah bila baginda bisa!"
"Yang
Mulia, aku telah berkata benar. Karena mempunyai semua bagian itulah maka ia
disebut kereta."
"Bagus sekali. Baginda akhirnya dapat menangkap artinya dengan benar.
Demikian pula, karena adanya tiga puluh dua jenis materi organik2 di dalam
tubuh manusia beserta lima unsur makhluklah maka saya disebut Nagasena. Seperti
yang telah dikatakan oleh Bhikkhuni Vajira di hadapan Sang Buddha yang Agung,
'Seperti halnya karena memiliki berbagai bagian itu maka kata 'kereta'
digunakan, demikian juga bila ada unsur-unsur makhluk maka kata 'makhluk'
digunakan.'"3
"Sangat indah Nagasena, sungguh luar biasa teka-teki ini telah Anda
pecahkan, meskipun sulit. Seandainya Sang Buddha berada di sini pun Beliau
pasti akan menyetujui jawaban Anda."
[..]
Penolakan Nagasena bahwa roh (jiwa] ada di dalam pernafasan.
Penolakan
ini diungkapkan oleh beliau kepada seorang menteri utusan Raja Milinda yang
bernama Anantakâya. "Siapa sih gerangan Nâgasena itu," tanya
Anantakâya untuk memancing perdebatan.
Nâgasena Thera tidak menjawab pertanyaan ini secara langsung, tetapi justru
balik bertanya: "Dalam pengertian Anda, siapakah Nâgasena itu?"
Mulailah
Anantakâya menyajikan pandangan sesatnya, "Roh, pernafasan masuk dan
keluar, itulah yang saya maksud sebagai Nâgasena."
Nâgasena bertanya lebih lanjut: "Bagaimana seandainya nafas yang
keluar dari tubuh tidak masuk kembali; apakah orang itu akan mati atau masih
hidup?"
Anantakâya menjawab, "Jika nafas yang keluar dari tubuh tidak masuk
kembali, orang itu niscaya akan mati."
Nâgasena Thera menyanggah pendapat ini dengan membuat suatu perumpamaan
yang gamblang: "Para peniup sangkalala atau terompet –yang sewaktu meniup
sangkalala atau terompet, nafas yang terhembuskan tidak masuk kembali ke dalam
tubuh–; mengapa mereka tidak mati?"
Anantakâya
berdiam diri karena tidak mampu menjawab pertanyaan ini. Nâgasena Thera
kemudian mewejangkan:
"Tidak
ada roh dalam pernafasan. Nafas keluar dan nafas masuk semata-mata hanyalah
salah satu bagian dari kegiatan jasmaniah (kâyasaõkhâra). Pernafasan adalah
unsur udara (vâyodhâtu) yang menghidupi tubuh jasmaniah; bukan kehidupan itu
sendiri. Kehidupan itu terdiri atas lima kelompok, yakni: materi/bentuk,
perasaan, ingatan, corak-corak batiniah, dan kesadaran. Pernafasan hanyalah
salah satu bagian dari materi/bentuk (rûpa)."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar