Senin, 20 Mei 2013

Seputar "Roh" dan "Pancakhanda"

Sumber: http://wirajhana-eka.blogspot.com/


Buddhism tidak memegang pandangan adanya Jiwa/roh di dalam makluk hidup. Mahluk hidup menurut Buddhism adalah Panca khanda atau Nama/rupa.

·      Pancakhanda terdiri dari Vinnana(Kesadaran), Vedana (perasaan), Sanna (persepsi, ingatan, sumber, gagasan), Sankhara (bentukan-bentukan), Rupa (Materi).

·      Nama rupa (Vedana, Sanna, Cetana (kehendak), Phasa (kontak), Manosikaro (bentuk pikiran) dan Rupa).

Vinnana yang tidak disebutkan dalam nama rupa ada di phassa (kontak).

Dengan 6 Indriya [mata, telinga,.., pikiran] dan objek-objeknya [bentukan, suara,.., (ingatan, sumber, persepsi, gagasan)] sebagai kondisi, muncul kesadaran [mata, teling,..]. Pertemuan ketiganya disebut Kontak.

-> [juga dapat seperti ini: "MentalMateri mengondisikan kesadaran dan kesadaran mengondisikan MentalMateri, MentalMateri mengondisikan kontak" [DN 15/Mahānidāna Sutta];

Dengan kontak sebagai kondisi, muncul perasaan[vedana];
-> [perasaan itu ada 3: Dukkha, Sukkha, a-dukkham a-sukkam; atau dengan kata lain: SUKACITA [somanassaṭṭhāniyaṁ], DUKACITA [domanassaṭṭhāniyaṁ], NETRAL [upekkhaṭṭhāniyaṁ]; ato kata lain lagi: menyenangkan [manāpaṃ], tidak menyenangkan [amanāpaṃ], menyenangkan dan tidak menyenangkan [manāpāmanāpaṃ] -> masing-masing dari 3 perasaan dibagi menjadi 2 lagi yaitu perasaan: "tertentu" dan "yang lain" (MN.70/Kīṭāgiri Sutta] maksudnya perasaan-perasan yang menambah kusala = "yang lain"; yang menambah akusala = "tertentu".
Penangan pada muncul perasaan-perasan jenis "yang lain" ->‘Masuk dan berdiamlah dalam perasaan itu', jika muncul perasaan jenis "tertentu" -> ‘Tinggalkan perasaan itu']

Apa yang dirasakan, itulah yang dikenali [sañjānāti];

Apa yang dikenali, itulah yang dipikirkan [vitakketi];

Apa yang dipikirkan, itulah yang dikembangbiakkan [papañceti] pikiran;

Dengan apa yang dikembangbiakkan dipikirannya sebagai: sumber, persepsi dan gagasan [papañca-saññā-saṅkhā], melanda seseorang melalui objek-objek [bentukan, suara,..] masa: lalu, sekarang dan depan yang dikenali 6 Indriya [mata, telinga,.., pikiran]. [MN 18/Madhupiṇḍikasutta]

Materi (rupa) membentuk Indriya, yang merupakan kontak dan juga tempat kesadaran. Saat kontak ada persaan dan persepsi serta pikiran dan bentukan-bentukan pikiran. Inilah mengapa kesadaran tersebut ada di seluruh bagian mahluk hidup.


"Perasaan, persepsi, dan kesadaran, teman - kondisi-kondisi ini adalah tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak mungkin untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara ketiganya. Karena apa yang seseorang rasakan, itulah yang ia persepsikan; dan apa yang ia persepsikan, itulah yang ia sadari. Itulah mengapa kondisi-kondisi ini adalah tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak mungkin untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara ketiganya." [MN.43, Mahāvedalla Sutta]


"Saññā ca vedanā ca cetasikā ete dhammā cittapaṭibaddhā. Tasmā saññā ca vedanā ca cittasaṅkhāroti" (Persepsi dan perasaan adalah fenomena mental, kondisi-kondisi ini terikat dengan pikiran; itulah sebabnya mengapa persepsi dan perasaan adalah juga bentukan pikiran)[MN.44, Cūḷavedalla Sutta]


Itulah sebabnya Buddhism mengatakan tidak ada jiwa (an-atta), yang ada adalah bauran dari hal tersebut di atas.

 

Cuplikan VINA SUTTA, Samyutta Nikaya 35.205:

[..] Misalkan ada seorang raja atau menteri kerajaan yang belum pernah mendengar suara musik kecapi. Kemudian pada suatu hari ia mendengarkannya dan berkata,"Orang baik beritahukanlah kepadaku , suara apakah itu, yang begitu mempesona, begitu menyenangkan, begitu memabukkan, begitu menggairahkan, dengan kekuatan yang begitu mengikat?"


Lalu mereka berkata kepadanya,"Paduka, itu adalah suara musik kecapi."

 

Maka ia berkata,"Pergilah, bawakan aku kecapi itu!"


Lalu mereka membawakan kecapi itu kepadanya tetapi ia berkata,"Cukup sudah dengan kecapi ini. Bawakan saja aku musiknya!"


Mereka lalu berujar,"Paduka, kecapi ini terdiri dari berbagai dan banyak bagian: perut, kulit, tangkai, kerangka, senar, kuda-kuda, dan upaya pemain. Dan kecapi itu bersuara karena mereka. Kecapi itu bersuara karena banyak bagian".


Lalu raja tersebut memecahkan kecapi itu menjadi ratusan bagian, memecah dan memecahnya lagi, membakarnya, menaruh abunya dalam sebuah timbunan, dan menampinya dalam sebuah tong atau mencucinya dengan air agar dapat menemukan suara musiknya.


Setelah melakukan hal ini, ia berkata, "Kecapi merupakan benda yang sungguh jelek; apapun gerangan sebuah kecapi itu, dunia telah terbawa sesat oleh benda itu".


Demikian pula, pada seseorang yang menyelidiki badan JASMANI sejauh apapun badan jasmani mengada dan berubah, menyelidiki PERASAAN..., menyelidiki PERSEPSI (pencerapan)..., menyelidiki BENTUK-BENTUK BATIN/PIKIRAN..., menyelidiki KESADARAN sejauh apapun kesadaran mengada dan berubah, tidak akan ditemukan atau muncul gagasan atau pandangan mengenai "Diriku, Milikku, Aku".

 


Cuplikan Vaijira Sutta, Samyuta Nikaya 5.10:

Bertempat di Sāvatthi.

Bhikkhunī Vajirā pagi-pagi sekali setelah mengenakan jubahnya, membawa jubah luar dan mangkuknya memasuki kota Sāvatthi untuk mengumpulkan dana makanan. Setelah kembali mengumpulkan dana makanan dan setelah menyantap makanannya, beliau masuk ke hutan Andhavana , kemudian beliau duduk di salah satu akar pohon untuk berdiam selama siang hari.


Kemudian datang Mara penggoda yang senang menimbulkan ketakutan yang menggetarkan dan mendirikan bulu roma guna menjatuhkan Sang Bhikkhuni dari samādhi datang menghampiri beliau, setelah mendekat dia berkata padanya dalam bentuk syair (gāthā)


“Makhluk dibuat oleh siapa?,

Dimanakah si pencipta makhluk?

Dimanakah makhluk muncul?,

Dimanakah makhluk lenyap?”


Kemudian Bhikkhunī Vajirā berkata:

“Siapakah kamu sesungguhnya yang mengucapkan syair ini, manusiakah atau bukan?
Inilah Māra penggoda yang mengucapkan syair yang bertujuan menjatuhkan aku dari samādhi, yang senang menimbulkan ketakutan yang menggetarkan dan mendirikan bulu roma.”


Kemudian setelah mengetahui ‘Inilah Māra si penggoda’ maka Bhikkhunī Vajirā menjawab Māra si penggoda dengan syair:

“Apa “sesosok makhluk’?,

O Māra kamu diliputi pandangan keliru

Ini hanyalah tumpukan perpaduan, disini tidak diketemukan ‘makhluk’

Sebagaimana tersusun dari pelbagai komponen, demikianlah muncul sebutan ‘kereta’
Demikianlah keberadaan ‘kelompok kehidupan’ maka muncullah sebutan ‘makhluk’ secara kesepakatan.

Dukkhalah sesungguhnya yang muncul ,

Dukkha pula yang menjelma

Tiada yang lain kecuali dukkhalah yang muncul,

Tiada yang lain kecuali dukkhalah lenyap.”


Māra si penggoda berpikir:

“Bhikkhunī Vajirā telah mengenali aku”

Kemudian dia menghilang dengan sedih dan kecewa.

note:
Mara pāpimā, kerap di terjemahkan Mara 'the evil one' dan diterjemahkan ke Indonesia Mara "si jahat". Saya ubah menjadi Mara si penggoda dengan alasan arti Papima diterjemahkan malicious [jahat, dendam, dengki]. Kata ini sulit di artikan dan bisa jadi berasal dari kata papma mrtyuh [Salah satu brahmana (penjelasan utk Veda), lihat cat kaki no.2 atau di sini]. Kemudian, papau [no.523], di mana penterjemahan beberapa kata selalu berhubungan dengan "mabuk". Ia berasal dari kata "papa" [Misery (kesengsaraan), calamity (kesusahan); ketidakberuntungan, dll]. Poinnya adalah Mara selalu berusaha menyeret mahluk menuju kelahiran kembali sehingga menurut saya, lebih tepat diterjemahkan sebagai si penggoda.

 


Cuplikan
Milinda Panha Bab I:

Milinda Pañha merupakan buku Pali yang ditulis kira-kira pada Abad Pertama Sebelum Masehi. Raja Milinda, seorang raja Bactria [Afganistan Utara] yang memerintah di tenggara India, menemui seorang bhikkhu pandai yang bernama Nagasena. Raja Milinda melontarkan sejumlah pertanyaan mengenai filsafat, psikologi dan etika Buddhisme.

 

[..]
Raja Milinda pergi menemui Bhikkhu Nagasena. Setelah saling mengucapkan salam persahabatan secara sopan, raja duduk dengan hormat di satu sisi. Milinda mulai bertanya:

"Apa sebutan Yang Mulia dan siapakah nama Anda?"

"Baginda, saya disebut Nagasena. Namun itu hanyalah rujukan dalam penggunaan umum, karena sebenarnya tidak ada individu permanen yang dapat ditemukan."

Mendengar itu, Milinda mengundang orang-orang Yunani Bactria serta para bhikkhu untuk menjadi saksi: "Nagasena ini berkata bahwa tidak ada individu permanen yang tersirat di dalam namanya. Mungkinkah hal seperti itu diterima?"

Kemudian dia berbalik kepada Nagasena dan berkata, "Yang Mulia Nagasena, jika hal tersebut benar, lalu siapakah yang memberi Anda jubah, makanan dan tempat tinggal? Siapakah yang menjalani kehidupan dengan benar? Atau juga, siapakah yang membunuh makhluk hidup, mencuri, berzinah, berbohong dan mabuk-mabukan? Jika apa yang Anda katakan itu benar, maka tidak ada perbuatan yang bajik atau perbuatan yang tercela, tidak ada pelaku kebajikan atau pelaku kejahatan, dan tidak ada hasil karma. Yang Mulia, seandainya saja seseorang membunuh Anda, maka tidak akan ada pembunuh. Dan itu juga berarti tidak ada master atau guru di dalam Sangha anda [sangha = kumpulan para Bikkhu]. Anda katakan bahwa Anda disebut Nagasena. Nah, apa itu Nagasena? Apakah rambutnya?"

"Saya tidak mengatakan demikian, raja yang agung."

"Kalau begitu, apakah kukunya, giginya, kulitnya atau bagian tubuh lainnya?"

"Tentu saja tidak."

"Atau apakah tubuhnya, atau perasaannya, atau pencerapannya, atau bentuk-bentuk pikirannya, atau kesadarannya?1 Ataukah gabungan dari itu semua? Ataukah sesuatu di luar semua itu yang disebut Nagasena?"

Masih saja Nagasena menjawab: "Bukan semuanya itu."

"Kalau begitu, dapat dikatakan bahwa aku tidak dapat menemukan Nagasena itu. Nagasena hanyalah omong kosong. Lalu siapakah yang kami lihat di depan mata ini? Yang Mulia telah berdusta."
"Baginda, tuan telah dibesarkan di dalam kemewahan sejak dilahirkan. Bagaimana tadi baginda datang kemari, berjalan kaki atau naik kereta?"

"Naik kereta, Yang Mulia."

"Kalau begitu, tolong jelaskan apakah kereta itu? Apakah porosnya? Apakah rodanya, atau sasisnya, atau kendalinya, atau kuknya, yang disebut kereta? Ataukah gabungan dari itu semua, ataukah sesuatu di luar semua itu?"

"Bukan semuanya itu, Yang Mulia."

"Kalau begitu, baginda, kereta ini hanyalah omong kosong. Baginda berdusta ketika berkata datang kemari naik kereta. Baginda adalah raja yang besar di India. Siapa yang baginda takuti sehingga baginda berdusta?"

Kemudian Nagasena memanggil orang-orang Yunani Bactria dan para bhikkhu untuk menjadi saksi: "Raja Milinda ini telah berkata bahwa beliau datang kemari naik kereta, tetapi ketika ditanya, 'Apakah kereta itu?' beliau tidak dapat menunjukkannya. Dapatkah hal ini diterima?"

Maka secara serempak ke-500 orang Yunani Bactria itu berteriak bersama-sama kepada raja, "Jawablah bila baginda bisa!"

"Yang Mulia, aku telah berkata benar. Karena mempunyai semua bagian itulah maka ia disebut kereta."
"Bagus sekali. Baginda akhirnya dapat menangkap artinya dengan benar. Demikian pula, karena adanya tiga puluh dua jenis materi organik2 di dalam tubuh manusia beserta lima unsur makhluklah maka saya disebut Nagasena. Seperti yang telah dikatakan oleh Bhikkhuni Vajira di hadapan Sang Buddha yang Agung, 'Seperti halnya karena memiliki berbagai bagian itu maka kata 'kereta' digunakan, demikian juga bila ada unsur-unsur makhluk maka kata 'makhluk' digunakan.'"3
"Sangat indah Nagasena, sungguh luar biasa teka-teki ini telah Anda pecahkan, meskipun sulit. Seandainya Sang Buddha berada di sini pun Beliau pasti akan menyetujui jawaban Anda."


[..]
Penolakan Nagasena bahwa roh (jiwa] ada di dalam pernafasan.

Penolakan ini diungkapkan oleh beliau kepada seorang menteri utusan Raja Milinda yang bernama Anantakâya. "Siapa sih gerangan Nâgasena itu," tanya Anantakâya untuk memancing perdebatan.
Nâgasena Thera tidak menjawab pertanyaan ini secara langsung, tetapi justru balik bertanya: "Dalam pengertian Anda, siapakah Nâgasena itu?"

Mulailah Anantakâya menyajikan pandangan sesatnya, "Roh, pernafasan masuk dan keluar, itulah yang saya maksud sebagai Nâgasena."

Nâgasena bertanya lebih lanjut: "Bagaimana seandainya nafas yang keluar dari tubuh tidak masuk kembali; apakah orang itu akan mati atau masih hidup?"

Anantakâya menjawab, "Jika nafas yang keluar dari tubuh tidak masuk kembali, orang itu niscaya akan mati."

Nâgasena Thera menyanggah pendapat ini dengan membuat suatu perumpamaan yang gamblang: "Para peniup sangkalala atau terompet –yang sewaktu meniup sangkalala atau terompet, nafas yang terhembuskan tidak masuk kembali ke dalam tubuh–; mengapa mereka tidak mati?"

Anantakâya berdiam diri karena tidak mampu menjawab pertanyaan ini. Nâgasena Thera kemudian mewejangkan:

"Tidak ada roh dalam pernafasan. Nafas keluar dan nafas masuk semata-mata hanyalah salah satu bagian dari kegiatan jasmaniah (kâyasaõkhâra). Pernafasan adalah unsur udara (vâyodhâtu) yang menghidupi tubuh jasmaniah; bukan kehidupan itu sendiri. Kehidupan itu terdiri atas lima kelompok, yakni: materi/bentuk, perasaan, ingatan, corak-corak batiniah, dan kesadaran. Pernafasan hanyalah salah satu bagian dari materi/bentuk (rûpa)."

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Pengikut