Sumber: MAHĀ-BODHI-JĀTAKA
“Apa arti dari benda-benda ini,” dan
seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana,
tentang kesempurnaan dalam kebijaksanaan. Kisahnya berhubungan di dalam
Mahāummagga-Jātaka. Sekarang dalam kisah ini, Sang Guru berkata,
“Bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau, Tathāgata adalah yang
bijaksana dan mengalahkan para penganut pandangan salah (pembantah),” dan
dengan kata-kata ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala, pada masa pemerintahan
Brahmadatta, Bodhisatta terlahir di Benares dalam Kerajaan Kasi, di keluarga seorang
brahmana yang kaya raya, yang memiliki kekayaan sebesar delapan ratus juta, dan
mereka memberinya nama Bodhi. Ketika dewasa, ia diajari semua cabang ilmu
pengetahuan di Takkasilā, dan sekembalinya ke rumah, ia hidup dalam lingkungan
kehidupan rumah tangga. Seiring berjalannya waktu, dengan tujuan untuk
melenyapkan kesenangan indriawi yang buruk, ia pergi ke daerah pegunungan
Himalaya dan menjalani kehidupan suci dari seorang petapa pengembara, tinggal
di sana untuk waktu yang lama, bertahan hidup dengan memakan akar-akaran dan
buah-buahan (yang tumbuh liar).
Pada musim hujan, ia turun gunung dan
dengan berkeliling untuk mendapatkan derma makanan, akhirnya ia tiba di
Benares. Di sana ia mengambil tempat tinggalnya di dalam taman kerajaan. Keesokan
harinya, sewaktu berkeliling untuk mendapatkan derma makanan, dengan
penampilannya sebagai seorang petapa pengembara, ia menghampiri gerbang istana.
Raja yang sedang berdiri dekat jendela melihat dirinya, dan karena merasa senang
dengan kelakuannya yang tenang, raja mempersilakan ia masuk ke dalam istananya
dan duduk di dipan raja. Setelah perbincangan kecil yang ramah, raja
mendengarkan pemaparan kebenaran dan kemudian mempersembahkan kepadanya berbagai
jenis makanan lezat. Sang Mahasatwa menerima makanan tersebut dan berpikir,
“Sesungguhnya istana raja ini penuh dengan kebencian dan terdapat musuh yang
berlimpah ruah. Saya bertanya-tanya siapa gerangan yang akan menghilangkan rasa
takut yang muncul dalam pikiranku?”
Dan sewaktu melihat seekor anjing
pemburu yang berwarna kuning kecoklatan, hewan kesayangan raja, yang berdiri di
dekatnya, ia mengambil segenggam makanan dan membuat gerakan yang menunjukkan
ia ingin untuk memberikannya kepada anjing itu. Raja yang menyadari ini meminta
pengawal untuk membawakan piring anjing itu dan memintanya untuk mengambil
makanan itu kemudian memberikannya kepada anjing tersebut. Demikian Sang
Mahasatwa memberikannya dan kemudian selesai bersantap. Setelah mendapatkan
persetujuan darinya atas satu perencanaan, raja meminta anak buahnya untuk
membangun sebuah gubuk daun untuknya di taman kerajaan di dalam kota, dan raja
memintanya untuk tinggal di sana setelah memberikan kepadanya semua barang
perlengkapan petapa. Dua atau tiga kali setiap harinya, raja datang untuk
memberikan penghormatan kepadanya. Dan pada saat makan, Sang Mahasatwa tetap
duduk di dipan raja dan saling berbagi makanan. Dengan keadaan demikian, dua
belas tahun berlalu. Ketika itu, raja memiliki lima orang penasihat yang
memberinya nasihat dalam masalah pemerintahan dan spiritual. Salah satu dari
mereka membantah adanya akar penyebab (ahetukavāda). Yang kedua percaya bahwa
segala hal adalah atas keinginan dari satu makhluk yang mahatinggi (issarakatavāda).
Yang ketiga percaya dalam perbuatan telah terjadi sebelumnya
(pubbekatavāda). Yang keempat percaya dalam pemusnahan setelah kematian (ucchedavāda).
Yang kelima percaya dalam doktrin Kesatria (khattavijjavāda). Ia yang
membantah adanya akar penyebab, mengajarkan orang-orang bahwa makhluk di dunia
ini menjadi suci/bersih kembali oleh kelahiran kembali. Ia yang percaya dalam
segala hal adalah atas keinginan dari satu makhluk mahatinggi, mengajarkan
bahwa dunia ini diciptakan oleh dirinya. Ia yang percaya dalam perbuatan masa
lampau mengajarkan bahwa penderitaan atau kebahagiaan yang terjadi pada diri manusia
di dunia ini adalah hasil dari perbuatan masa lampau. Yang percaya dalam
pemusnahan setelah kematian mengajarkan bahwa tidak ada seorang pun yang
terlahir kembali di alam manapun, melainkan kehidupan di dunia ini mengalami pemusnahan.
Ia yang percaya dalam doktrin Kesatria mengajarkan bahwa keinginan seseorang
harus dipenuhi meskipun harus dengan membunuh orang tuanya. Orang-orang ini
ditunjuk untuk menduduki jabatan di pengadilan kerajaan, dan dikarenakan
keserakahan akan uang suap, mereka merampas harta benda milik orang yang sah.
Suatu hari ada seorang laki-laki, yang
disalahkan dalam tindakan yang tidak benar dalam hukum, melihat Sang Mahasatwa
masuk ke dalam istana untuk berpindapata, ia memberi hormat kepadanya dan memberitahukan
penderitaannya dengan berkata, “Bhante, mengapa Anda, yang mengambil makananmu
di dalam istana raja, menanggapi dengan ketidakpedulian atas tindakan dari para
pejabat pengadilan yang dengan menerima uang suap menghancurkan kehidupan
orang-orang? Baru saja kelima penasihat raja ini, setelah menerima suap dari
seorang laki-laki yang melakukan perbuatan tidak benar, telah merampas harta benda
milikku.” Maka Sang Mahasatwa, yang tergerak oleh rasa belas kasihan terhadap
dirinya, pergi ke pengadilan dan dengan memberikan keputusan yang benar
mengembalikan harta benda miliknya seperti sediakala. Orang-orang serempak
bertepuk tangan dengan meriah atas tindakannya tersebut. Raja yang mendengar
suara ribut itu menanyakan apa maksudnya itu, dan ketika diberitahukan
jawabannya, ketika Sang Mahasatwa telah selesai bersantap, raja mengambil
tempat duduk di sampingnya dan bertanya, “Apakah benar, Bhante, seperti yang
mereka katakan, bahwasannya Anda telah memutuskan suatu perkara di pengadilan?”
“Benar, Paduka.” Raja berkata, “Akan menjadi suatu keuntungan bagi banyak orang
jika Anda yang memutuskan perkara. Mulai saat ini, Anda harus menduduki jabatan
di pengadilan.” “Paduka,” jawabnya, “Kami adalah para petapa. Ini bukanlah
urusan kami.” “Bhante, Anda harus melakukannya atas dasar rasa belas kasihan
terhadap orang-orang. Anda tidak perlu menjadi hakim sepanjang hari, tetapi
ketika Anda datang ke sini dari taman, pergilah sewaktu fajar pagi ke
pengadilan dan adili empat perkara, kemudian kembali ke taman dan setelah
selesai bersantap, adili empat perkara lagi; Dengan cara ini orang-orang akan
memperoleh keuntungan.”
Setelah secara berulang-ulang diminta
kesediaannya, ia pun menyetujuinya dan sejak saat itu ia bertindak dengan
benar. Mereka yang melakukan perbuatan yang tidak benar, tidak menemukan
peluang lebih lanjut lagi, dan para penasihat yang tidak lagi mendapatkan uang
suap berada dalam keadaan yang buruk dan berpikir, “Sejak si Petapa Pengembara
Bodhi ini menduduki jabatan di pengadilan, kita tidak mendapatkan apa pun sama
sekali.” Dan dengan menyebutnya sebagai musuh raja, mereka berkata, “Ayo, mari
kita rusak nama baiknya di hadapan raja dan menyebabkan kematiannya.” Maka dengan
menghampiri raja, mereka berkata, “Paduka, Petapa Pengembara Bodhi ingin
mencelakaimu.” Raja tidak memercayai mereka dan berkata, “Tidak, ia adalah
seorang yang baik dan terpelajar. Ia tidak akan melakukan hal yang demikian.” “Paduka,”
mereka membalas, “semua penduduk menjadi pengikutnya. Tinggal kami berlima yang
tidak dapat ia kendalikan. Jika Anda tidak memercayai kami, di saat ia datang nanti,
perhatikanlah pengikutnya.” Raja setuju untuk melakukan demikian, dan dengan
berdiri di jendelanya, raja mengawasi kedatangannya dan ketika melihat
kerumunan penuntut yang mengikuti Bodhi tanpa sepengetahuannya, raja berpikir
bahwa mereka itu adalah rombongannya, dan dengan memiliki prasangka buruk
terhadap dirinya, raja memanggil para penasihatnya dan bertanya, “Apa yang
harus kita lakukan sekarang?” “Tangkap ia, Paduka,” kata mereka. “Jika kita
tidak melihat pelanggaran buruk yang dilakukannya,” kata raja, “Bagaimana kita
dapat menahan dirinya?” “Baiklah kalau begitu, kurangi kehormatan yang biasa
diberikan kepadanya, dan ketika melihat kurangnya kehormatan ini, dikarenakan
menjadi seorang petapa yang bijaksana, ia akan pergi dengan sendirinya tanpa berkata
apa pun kepada siapa pun.” Raja setuju dengan saran ini dan secara
berangsur-angsur mengurangi kehormatan yang diberikan kepadanya. Pada hari
pertama, mereka memberikannya dipan tanpa alas. Ia memperhatikannya dan segera
mengetahui bahwa ia telah difitnah terhadap raja, dan sekembalinya ke taman, ia
berpikir untuk pergi pada hari itu juga, tetapi kemudian ia berpikir, “Di saat
saya mengetahui kepastian ini, baru saya akan pergi,” dan ia pun tidak jadi
pergi. Maka keesokan harinya ketika ia duduk di dipan tanpa alas, mereka datang
dengan membawa makanan (yang disiapkan) untuk raja dan makanan yang lainnya
juga, dan memberikan kepadanya campuran dari kedua jenis makanan tersebut. Pada
hari ketiga mereka tidak membolehkannya mendekati dipan, tetapi menempatkan
dirinya di ujung tangga dan mempersembahkan kepadanya makanan campuran
tersebut. Ia mengambilnya dan pulang kembali ke taman untuk menyantap
makanannya di sana. Pada hari keempat, mereka menempatkan dirinya di bawah, teras,
dan memberikan kepadanya bubur yang tercampur dengan sekam, dan ini juga
dibawanya ke taman dan membuat makanannya di sana. Raja berkata, “Walaupun
kehormatan yang diberikan kepadanya telah dikurangi, tetapi Petapa Bodhi tidak juga
pergi. Apa yang harus kita lakukan?” “Paduka,” kata mereka, “Ia datang ke sini
bukanlah untuk mendapatkan derma makanan, tetapi untuk mendapatkan kekuasaan.
Jika ia memang datang hanya untuk memperoleh derma makanan, ia pasti sudah pergi
pada hari di saat ia tidak dihormati.” “Kalau begitu apa yang harus kita
lakukan?” “Perintahkanlah kami untuk membunuhnya, Paduka.” Raja berkata,
“Baiklah,” dan dengan menempatkan pedang di tangan orang-orang itu raja
berkata, “Besok, di saat ia datang dan berdiri di pintu, penggal kepalanya dan
hancurkan ia berkeping-keping, dan tanpa mengatakan apa pun kepada siapa pun
buanglah jasadnya di tempat tumpukan kotoran, kemudian mandilah dan kembali ke
sini.”
Mereka langsung menyetujuinya dan
berkata, “Besok kami akan datang dan melakukan demikian,” dan setelah menyusun
semua hal satu sama lain, mereka kembali ke rumah masing-masing. Raja juga
setelah menyantap makan malam, berbaring di tempat tidur kerajaan dan teringat
akan kebajikan dari Sang Mahasatwa. Segera kesedihan melandanya dan keringat
bercucuran keluar dari tubuhnya, dan karena tidak mendapatkan kenyamanan di
tempat tidurnya, ia berbaring ke sana dan ke sini dari satu sisi ke sisi yang
lain. Kala itu, permaisuri tidur di sampingnya, tetapi ia tidak mengatakan sepatah
kata pun kepadanya. Maka permaisuri bertanya kepadanya, “Bagaimana bisa,
Paduka, Anda tidak berbicara sepatah kata pun kepadaku? Apakah saya telah
berbuat kesalahan kepadamu secara tidak disengaja?” “Tidak, Ratu,” katanya,
“tetapi mereka mengatakan kepadaku bahwa si Petapa Bodhi telah menjadi seorang
musuh kita. Saya telah memerintahkan lima penasihatku untuk membunuhnya besok.
Setelah membunuhnya, mereka akan memotongnya menjadi hancur berkeping-keping
dan membuangnya di tempat tumpukan kotoran. Tetapi selama dua belas tahun ia
telah mengajarkan kepada kita tentang banyak kebenaran. Tidak ada satu kesalahan
pun dalam dirinya yang benar-benar saya lihat dengan jelas sebelumnya,
melainkan karena omongan dari orang lain saya telah menurunkan perintah untuk
membunuhnya, dan inilah alasan mengapa saya bersedih.” Kemudian ratu menghibur dirinya
dengan berkata, “Paduka, jika ia adalah musuhmu, mengapa Anda bersedih untuk membunuhnya?
Keselamatanmu harus dijaga, meskipun musuh yang Anda harus bunuh itu adalah
putramu sendiri. Jangan terlalu memikirkannya.”
Raja menjadi yakin kembali dengan
perkataan ratu dan kemudian tidur. Pada waktu itu, anjing pemburu yang berwarna
kuning kecoklatan tersebut mendengar pembicaraan mereka dan berpikir, “Besok
dengan kekuatan diriku sendiri, saya harus menyelamatkan nyawa orang ini.” Maka
pagi-pagi keesokan harinya, anjing itu turun dari teras, menuju ke pintu utama
dan berbaring dengan kepalanya di ambang pintu sambil memperhatikan jalan yang
akan dilalui oleh Sang Mahasatwa. Sedangkan para penasihat, dengan pedang di
tangan mereka, datang pada pagi-pagi sekali dan mengambil posisi di balik pintu
itu. Dan Bodhi yang datang tepat waktu dari taman mendekat ke arah pintu istana
tersebut. Kemudian anjing pemburu itu yang melihat dirinya, membuka mulutnya
dan menunjukkan empat gigi besarnya dan berpikir, “Mengapa, Bhante, Anda tidak
berkeliling untuk mencari derma makanan di tempat yang lain di India? Raja kami
telah menempatkan lima penasihat yang dipersenjatai dengan pedang di balik
pintu ini untuk membunuhmu. Janganlah datang untuk menerima kematian sebagai
nasibmu, tetapi cepat pergilah,” dan ia menyalak dengan keras. Dari
pengetahuannya atas arti dari semua jenis suara, Bodhi mengerti akan permasalahannya
dan kembali ke taman dan mengambil semua
yang diperlukan untuk perjalanannya. Raja yang berdiri di jendelanya, ketika ia
mengetahui Bodhi tidak datang, berpikir, “Jika orang ini adalah musuhku, ia
akan kembali ke taman dan mengumpulkan semua kekuatan pasukannya dan akan
bersiap untuk bertempur. Tetapi jika sebaliknya, ia pasti akan mengambil semua
yang ia perlukan dan bersiap untuk pergi. Saya akan mencari tahu apa yang ia
kerjakan.” Dan setelah pergi ke taman, raja menemukan Sang Mahasatwa keluar
dari gubuk daunnya dan dengan semua barang perlengkapannya di ujung beranda, bersiap
untuk pergi, dan setelah memberi hormat, raja berdiri di satu sisi dan
mengucapkan bait pertama berikut:
Apa arti dari benda-benda ini, tongkat,
jubah kulit
(antelop), payung, sandal, galah,
patta, dan jubah luar
(sangghati)?
Saya ingin untuk dapat mengerti mengapa
dengan
tergesa-gesa Anda akan pergi dan ke
mana.
Ketika mendengar ini, Sang Mahasatwa
berpikir, “Saya rasa ia tidak mengerti apa yang telah dilakukannya. Saya akan membuatnya
mengerti.” Dan ia mengucapkan dua bait kalimat berikutnya:
Selama dua belas tahun yang panjang ini
saya telah
tinggal, wahai raja, di dalam taman
kerajaanmu;
Tidak pernah sekalipun sebelumnya
anjing pemburu ini
menyalak.
Hari ini ia menunjukkan giginya yang
begitu putih,
bersifat menantang dan angkuh, dan
karena telah
mendengar apa yang Anda bicarakan
dengan ratu, untuk
memperingatkan diriku, ia menyalak
dengan keras.
Kemudian raja mengakui kesalahannya,
dan meminta maaf, mengucapkan bait keempat berikut:
Saya telah melakukan perbuatan buruk:
Tujuanku adalah untuk membunuhmu.
Tetapi sekarang saya memohon kepadamu
sekali lagi,
dan ingin sekali untuk memintamu tetap
tinggal di sini.
Mendengar ini, Sang Mahasatwa berkata,
“Sebenarnya, Paduka, orang bijak tidak tinggal dengan seseorang yang tanpa melihat
sesuatu dengan matanya sendiri langsung memercayai omongan orang lainnya,” dan
setelah berkata demikian, ia memaparkan perbuatan buruknya dan berkata
demikian:
Mulanya makananku berwarna putih
bersih, berikutnya
beraneka ragam warna, kemudian berwarna
merah;
Sudah
seharusnya lah saya pergi di saat seperti ini.
Mulanya di dipan (atas), berikutnya di
tangga (tengah),
kemudian di teras (bawah);
Sebelum saya diseret keluar dengan
ditarik pada bagian
leher dan dipenggal, saya akan
mengundurkan diri.
Jangan berteman dengan seorang yang tak
setia: ia itu
seperti sebuah sumur kering; Betapa
dalamnya pun
seseorang menggali, air yang
dikeluarkannya tetap kotor
(berlumpur).
Bersahabatlah dengan teman yang setia,
jauhilah teman
yang tak setia; seperti orang kehausan
yang bergegas ke
sebuah kolam, demikianlah seharusnya
kita mengejar
seorang teman yang setia.
Eratlah dengan teman yang setia padamu,
balaslah cinta
kasihnya dengan cinta kasih juga;
Orang yang meninggalkan seorang teman
setia adalah
orang yang menyedihkan.
Barang siapa yang tidak bersahabat erat
dengan
seorang teman setia, juga tidak
membalas cinta kasihnya
dengan cinta kasih, maka ia adalah
orang yang paling
buruk, bahkan tidak berada di atas
peringkat dari
bangsa kera.
Terlalu sering berjumpa sama buruknya
dengan sama
sekali tidak pernah berjumpa;
Meminta hadiah kecil terlalu awal—ini
juga dapat
menyebabkan hilangnya cinta kasih.
Kunjungilah teman, tetapi jangan
terlalu sering, jangan
pula tinggal terlalu lama;
Pada waktu tepat meminta hadiah:
demikian cinta kasih
tidak akan hilang.
Barang siapa yang tinggal terlalu lama
(bersama teman)
sering kali mendapatkan kawan berubah
menjadi lawan;
Demikianlah sebelumnya saya kehilangan
persahabatanmu, saya akan berangkat dan
pergi.
Raja berkata:
Meskipun dengan tangan terlipat (sikap
anjali) saya
memohon, Anda tidak akan
mendengarkanku, Anda
tidak mempunyai kata-kata lagi bagi
kami yang
menghargai jasamu,
Saya memohon satu hal, datanglah lagi
dan berkunjung ke sini.
Bodhisatta berkata:
Jika tidak ada yang mengambil kehidupan
kita, wahai
raja, jika saya dan Anda masih hidup,
wahai pemimpin
kerajaan, mungkin saya akan datang ke
sini, dan kita
dapat berjumpa kembali, seperti siang
dan malam yang
datang
silih berganti.
Demikianlah Sang Mahasatwa
mengkhotbahkan kebenaran kepada raja, ditambah dengan berkata, “Waspadalah (jangan
lengah), Paduka.” Setelah meninggalkan taman dan berkeliling untuk mendapatkan
derma makanan, ia pun meninggalkan Benares dan secara berangsur-angsur akhirnya
tiba di suatu tempat di daerah Himalaya. Setelah tinggal beberapa lama di sana,
ia turun gunung dan berdiam di dalam hutan dekat suatu desa perbatasan. Segera
setelah ia pergi, para penasihat tersebut kembali menduduki pengadilan, merampas
penduduk, dan mereka berpikir, “Jika Petapa Pengembara Mahābodhi
(Mahabodhi) datang kembali, kita akan kehilangan mata pencaharian kita. Apa
yang harus dilakukan untuk mencegah kedatangannya kembali?” Kemudian ini muncul
di dalam pikiran mereka, “Orang-orang demikian ini tidak bisa meninggalkan
benda yang memikat hatinya. Apa kira-kira yang mungkin menjadi benda itu di
sini yang dapat memikat hatinya?” Kemudian dengan merasa yakin bahwa benda itu
adalah permaisuri raja, mereka berpikir, “Ini adalah alasannya mengapa ia akan
datang kembali ke sini. Kita akan mendahului mereka dan membunuh ratu.” Dan
mereka mengatakan ini kepada raja, dengan berkata, “Paduka, hari ini ada satu
berita hangat yang tersebar di kota.” “Berita apa?” katanya. “Petapa Pengembara
Mahabodhi dan permaisuri saling mengirim pesan.” “Atas masalah apa?” “Pesan
darinya kepada ratu, dikatakan, adalah ini, ‘Apakah Anda mampu membunuh raja
dengan kekuatanmu sendiri dan memberikan payung putih kepadaku?’ Pesan dari permaisuri
kepadanya adalah, ‘Serahkanlah tugas kematian raja padaku. Anda cepat datang ke
sini.’ ” Mereka secara terus menerus mengulangi ini sampai raja memercayainya
dan bertanya, “Kalau begitu apa yang harus dilakukan?” Mereka menjawab, “Kita
harus membunuh permaisuri.” Dan tanpa menyelidiki kebenaran masalahnya, raja
berkata, “Baiklah kalau begitu, bunuh permaisuri. Setelah memotong tubuhnya
menjadi hancur berkeping-keping, buanglah di tempat tumpukan kotoran.” Mereka
pun melakukan demikian, dan berita kematian ratu tersebar luas di seluruh kota.
Kemudian keempat putra ratu berkata, “Meskipun tidak bersalah, tetapi ibu kita
dibunuh oleh orang ini,” mereka pun menjadi musuh raja. Dan raja menjadi amat
cemas. Seiring berjalannya waktu, Sang Mahasatwa mendengar apa yang telah
terjadi dan berpikir, “Selain diriku, tidak ada orang lain yang dapat
menenangkan pangeran-pangeran ini dan membujuk mereka untuk memaafkan ayah mereka.
Saya akan menyelamatkan nyawa raja dan membebaskan pangeran-pangeran muda ini
dari niat mereka melakukan perbuatan buruk.” Maka pada keesokan harinya, ia masuk
ke sebuah desa perbatasan dan setelah memakan daging kera yang diberikan
kepadanya oleh para penduduk desa tesebut, ia meminta kulit kera tersebut yang
kemudian dikeringkan di dalam gubuknya sampai hilang bau-nya dan dijadikan
sebagai satu jubah dalam dan satu jubah luar yang disampirkan pada bahunya.
Mengapa ia melakukan hal demikian? Ia berkata, “Ini sangatlah berguna bagiku.”
Dengan membawa kulit itu bersamanya, secara berangsur-angsur ia menuju ke
Benares dan setelah menghampiri para pangeran muda tersebut, ia berkata kepada
mereka, “Membunuh ayah (kandung) adalah suatu pelanggaran berat. Kalian tidak
boleh melakukan ini. Tidak ada manusia yang terbebas dari usia tua dan
kematian. Saya datang ke sini untuk mendamaikan kalian. Di saat saya mengirim
pesan nanti, kalian harus datang kepadaku.” Setelah demikian menasihati para
pangeran muda itu, ia masuk ke taman kerajaan dan duduk pada satu papan batu,
dengan terlebih dahulu membentangkan kulit kera tersebut di atasnya.
Ketika penjaga taman melihatnya, ia
bergegas pergi untuk memberitahu raja. Mendengar ini, raja diliputi oleh kegembiraan
dan dengan membawa serta para penasihat tersebut bersamanya, ia pergi memberi
hormat kepada Sang Mahasatwa dan setelah duduk, ia mulai untuk berbincang dengan
bahagianya kepadanya. Tanpa membalas salam yang diberikan kepadanya, Sang
Mahasatwa hanya mengelus-elus kulit kera tersebut. Raja berkata, “Bhante, tanpa
mengucapkan sepatah kata, Anda cuma mengelus kulit kera itu. Apakah ini lebih
berharga bagimu dibandingkan diriku?” “Ya, Paduka, kera ini memberikan
pelayanan terbesar kepada diriku. Saya bepergian dengan duduk pada punggungnya.
Ia membawakan kendi airku. Ia membersihkan tempat tinggalku. Ia melakukan berbagai
pekerjaan kecil untukku. Dikarenakan kepolosannya, saya (dapat) memakan
dagingnya dan setelah mengeringkan kulitnya, saya membentangkannya dan duduk
serta berbaring di atasnya. Jadi ia sangatlah berguna bagiku.” Demikianlah
untuk membantah ajaran (pandangan) para penganut pandangan salah itu, ia
mempersalahkan perbuatan seekor kera sehingga menjadi kulit kera, dan ia
berbicara dengan objek ini seolah-olah seperti ia sendiri yang melakukannya.
Dikarenakan perbuatannya yang mengenakan kulit kera itu, ia berkata, “Saya
bepergian dengan duduk pada punggung kera ini.” Dikarenakan perbuatannya yang menyampirkan
kulit kera itu pada bahunya dan dengan cara demikian membawa kendi airnya, ia
berkata, “Kera ini membawakan kendi airku.” Dikarenakan ia membersihkan lantai dengan
kulit kera itu, ia berkata, “Kera ini membersihkan tempat tinggalku.” Karena
punggungnya tersentuh oleh kulit kera itu di saat ia berbaring, dan karena
kulit kera itu menyentuh kakinya di saat ia berdiri, ia berkata, “Kera ini
melakukan berbagai pekerjaan kecil ini untukku.” Dikarenakan ia memakan daging kera
itu di saat ia merasa lapar, ia berkata, “Karena ia adalah satu makhluk yang
demikian polos, maka saya memakan dagingnya.” Ketika mendengar hal ini, para
penasihat tersebut berpikir, “Orang ini melakukan pembunuhan. Coba pikirkan perbuatan
dari pabbajita ini: ia mengatakan ia membunuh seekor kera, memakan dagingnya
dan pergi ke sana dan ke sini dengan kulitnya,” dan sambil bertepuk tangan,
mereka mengolok-olok dirinya. Ketika melihat mereka melakukan ini, Sang
Mahasatwa berkata, “Orang-orang ini tidak tahu bahwa saya datang dengan kulit
kera ini untuk membuktikan kesalahan pandangan mereka. Saya tidak akan
memberitahu mereka.” Dan untuk menyapa ia yang membantah adanya akar penyebab,
pabbajita itu berkata, “Āvuso, mengapa Anda menyalahkan saya?” “Karena
Anda telah bersalah atas suatu tindakan pengkhianatan terhadap seorang teman,
dan atas pembunuhan.” Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Jika seseorang percaya
kepadamu dan ajaranmu, kemudian bertindak sesuai dengan itu, perbuatan buruk
apa yang telah dilakukannya?” Dan untuk membuktikan kesalahan ajarannya, ia
berkata:
Jika ini adalah ajaranmu, ‘Semua
perbuatan manusia,
yang baik maupun yang buruk, muncul
secara alamiah,’
Di manakah perbuatan buruk dapat
menemukan
tempatnya dalam hal perbuatan yang
buruk?
Jika demikian ini yang Anda anut dan
ini benar, maka
perbuatanku juga tidak salah di saat
saya membunuh
kera itu.
Jika Anda dapat melihat betapa salahnya
pandanganmu,
Anda tidak akan lagi menyalahkan
perbuatanku dengan
alasan itu.
Demikianlah Sang Mahasatwa mengecamnya
dan membuatnya membisu. Raja, yang menjadi galau atas kecaman di hadapan banyak
orang, jatuh tidak berdaya dan terduduk. Setelah membuktikan kesalahan
pandangan yang pertama, Sang Mahasatwa menyapa ia yang percaya bahwa segala hal
adalah atas keinginan dari satu makhluk yang mahatinggi, dan berkata, “Āvuso,
mengapa Anda menyalahkan diriku jika Anda benar-benar berpegangan pada
pandangan yang mengatakan bahwa segala hal adalah atas keinginan dari satu
makhluk yang mahatinggi?” Dan ia mengucapkan bait berikut:
Jika benar ada seorang makhluk kuat
yang mahakuasa
untuk memberikan, dalam kehidupan semua
makhluk,
kebahagiaan atau penderitaan, dan
perbuatan baik atau
buruk, maka Tuan itu telah ternoda oleh
perbuatan buruk;
Manusia hanya berbuat atas (sesuai
dengan) keinginannya.
Jika demikian ini yang Anda anut dan
ini benar, maka
perbuatanku juga tidak salah di saat
saya membunuh
kera itu.
Jika Anda dapat melihat betapa salahnya
pandanganmu,
Anda tidak akan lagi menyalahkan
perbuatanku dengan
alasan itu.
Demikianlah, seperti seseorang yang
menyodok jatuh buah mangga dengan batang kayu yang diambil dari pohon mangga
itu sendiri, ia membuktikan kesalahan pandangan orang tersebut, yang percaya
dalam segala hal adalah atas keinginan suatu makhluk mahatinggi, dengan ajaran
dari orang itu sendiri. Dan kemudian ia demikian menyapa orang yang percaya
dalam hal-hal yang telah terjadi sebelumnya, dengan berkata, “Āvuso, mengapa
Anda menyalahkan diriku jika Anda percaya dalam kebenaran dari ajaran bahwa
semuanya telah terjadi sebelumnya?” Dan ia mengucapkan bait berikut:
Hal-hal yang telah terjadi sebelumnya
menimbulkan
kebahagiaan dan penderitaan; Kera ini
membayar
utangnya, untuk melunasi perbuatan
buruk terdahulunya:
Setiap perbuatan melunasi utangnya.
Kalau begitu, dari
mana kesalahan itu datang?
Jika demikian ini yang Anda anut dan
ini benar, maka
perbuatanku juga tidak salah di saat
saya membunuh
kera itu.
Jika Anda dapat melihat betapa salahnya
pandanganmu,
Anda tidak akan lagi menyalahkan
perbuatanku dengan
alasan itu.
Setelah demikian membuktikan kesalahan
pandangan dari orang tersebut, kemudian ia beralih kepada orang yang percaya
dalam pemusnahan dan berkata, “Āvuso, Anda menganut pandangan bahwa tidak
ada ganjaran dan sebagainya, dengan percaya bahwa semua makhluk hidup mengalami
pemusnahan di kehidupan ini, dan bahwa tidak ada seorang pun yang terlahir
kembali di kehidupan berikutnya. Kalau begitu, mengapa Anda menyalahkan
diriku?” Dan untuk mengecamnya, ia berkata:
Makhluk hidup terdiri atas empat unsur;
Setiap bagian dari elemen ini akan
lenyap di saat badan
jasmani hancur terurai.
Orang yang meninggal tidak akan
terlahir lagi dan orang
yang hidup masih menjalankan
kehidupannya;
Jika dunia ini (kehidupan ini) hancur,
baik orang-orang
bijak maupun orang-orang dungu akan
musnah:
Di tengah-tengah kehidupan yang akan
hancur ini (tidak
ada kehidupan berikutnya), noda
kesalahan dari
perbuatan buruk tak akan mengotori apa
pun.
Jika demikian ini yang Anda anut dan
ini benar, maka
perbuatanku juga tidak salah di saat
saya membunuh
kera itu.
Jika Anda dapat melihat betapa salahnya
pandanganmu,
Anda tidak akan lagi menyalahkan
perbuatanku dengan
alasan itu.
Demikianlah ia membuktikan kesalahan
pandangan dari orang ini juga, dan kemudian untuk menyapa orang yang percaya
dalam doktrin Kesatria, ia berkata, “Āvuso, Anda mengajarkan bahwa
seseorang harus dapat memenuhi keinginannya sendiri, bahkan meskipun ia harus
membunuh ayah dan ibunya sendiri. Jika Anda mengajarkan pandangan ini, mengapa
Anda menyalahkan diriku?” Dan ia mengucapkan syair berikut:
Para penganut doktrin kesatria, orang
dungu yang
merasa dirinya cendekia, mengatakan
seseorang boleh
saja membunuh kedua orang tuanya, atau
saudara-saudaranya,
anak,
istri, jika hal itu memang diperlukan.
Demikianlah ia menentang pandangan dari
orang ini juga, dan memaklumkan pandangannya, ia melanjutkan berkata:
‘Di bawah satu pohon rindang seseorang
duduk berteduh
dan beristirahat; Adalah merupakan
suatu tindak
pengkhianatan bila ia mematahkan satu
cabangnya.
Kita tidak menyukai teman yang tidak
setia.
Tetapi kemudian ketika keadaan lain
muncul, pohon itu
dicabut (ditebang sampai ke akarnya).’
Kera tersebut juga mati disembelih,
untuk memenuhi
kebutuhanku.
Jika demikian ini yang Anda anut dan
ini benar, maka
perbuatanku juga tidak salah di saat
saya membunuh
kera itu.
Jika Anda dapat melihat betapa salahnya
pandanganmu,
Anda tidak akan lagi menyalahkan
perbuatanku dengan
alasan itu.
Demikianlah ia membuktikan kesalahan
pandangan dari orang ini juga, dan di saat kelima penganut pandangan salah ini
tercengang bingung dan duduk membisu, untuk menyapa sang raja, ia berkata,
“Paduka, orang-orang ini yang selalu bersamamu adalah pencuri besar yang
menjarah kerajaanmu. Oh, Anda adalah orang dungu, orang yang bergaul dengan orang-orang
yang seperti ini baik dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan berikutnya
akan memperoleh penderitaan yang besar,” dan setelah berkata demikian, ia
memaparkan kebenaran kepada raja dan berkata:
Orang yang ini menganut tidak ada akar
penyebab, yang
lain menganut adanya makhluk mahatinggi,
yang lainnya
menganut hal-hal yang telah terjadi
sebelumnya,
berikutnya menganut semuanya akan
musnah dalam
satu kehidupan ini, yang terakhir
menganut doktrin
Kesatria.
Orang-orang demikian ini adalah
orang-orang dungu
yang berpikir bahwa mereka itu cendekia;
Mereka adalah orang-orang jahat yang
melakukan
perbuatan buruk terhadap diri sendiri
dan orang lain,
pandangan salah menyebabkan penderitaan
dan
hukuman berat.
Kemudian dengan perumpamaan, untuk
menambah uraian kebenarannya, ia berkata:
Seekor serigala menyamar sebagai domba
jantan di
masa lampau, mendekati kawanan domba
tanpa
dicurigai. Kawanan domba yang menjadi
panik dibunuhnya,
kemudian berlari cepat ke padang rumput
yang baru.
Demikian juga para petapa dan brahmana
yang sering
menggunakan pakaian (penampilannya)
untuk
mengelabui orang-orang yang mudah
percaya.
Sebagian berbaring tanpa alas di tanah
yang kotor,
sebagian berpantang makan, sebagian
lagi menahan
sakit lainnya.
Sebagian tidak minum, sebagian makan
dengan
peraturan, masing-masing bersikap
seperti orang suci,
orang dungu yang kejam itu.
Orang-orang demikian ini adalah
orang-orang dungu
yang berpikir bahwa mereka itu
cendekia;
Mereka adalah orang-orang jahat yang
melakukan
perbuatan buruk terhadap diri sendiri
dan orang lain,
pandangan salah menyebabkan penderitaan
dan
hukuman berat.
Ia yang mengatakan, ‘Tidak ada yang
muncul dalam hal
apa pun,’ membantah adanya akar
penyebab,
menganggap perbuatan mereka sendiri dan
orang lain
sebagai
hal yang tidak ada hasilnya, wahai raja,
Orang-orang demikian ini adalah
orang-orang dungu
yang berpikir bahwa mereka itu
cendekia;
Mereka adalah orang-orang jahat yang
melakukan
perbuatan buruk terhadap diri sendiri
dan orang lain,
pandangan salah menyebabkan penderitaan
dan
hukuman berat.
Jika tidak ada yang muncul dalam hal
(perbuatan) apa
pun, yang baik atau yang buruk, mengapa
seorang raja
harus mempekerjakan para tukang untuk
mendapatkan
keuntungan dari keahlian mereka?
Dikarenakan ada yang muncul dan
perbuatan itu ada
yang baik dan yang buruk, maka raja
mempekerjakan
para tukang dan mendapatkan keuntungan
dari keahlian
mereka.
Jika selama ratusan tahun tidak ada
hujan atau salju
yang turun, maka kita, di tengah satu
kehidupan yang
akan hancur, akan musnah selamanya.
Tetapi karena adanya hujan dan salju
yang turun,
memastikan tahun yang terus berganti,
sehingga hasil
panen dan tanah bertahan untuk waktu
yang lama dan
panjang.
Sapi yang mengambil jalan berliku-liku
di dalam banjir,
dan seterusnya.
Barang siapa yang memetik buah sebelum
buah itu
matang di pohon, akan membuat benihnya
hancur dan
tidak akan pernah tahu bagaimana
manisnya buah
tersebut.
Demikianlah ia, yang dengan menggunakan
aturan yang
tidak benar, telah menghancurkan
buah-buah manis
yang muncul dari kebenaran yang tidak
pernah dinikmati
sekalipun.
Tetapi barang siapa yang membiarkan
buah itu matang
di pohonnya sebelum dipetik, akan
melindungi benihnya
dan mengetahui dengan amat baik
bagaimana manisnya
buah tersebut.
Demikian juga ia, yang dengan
menggunakan aturan
yang benar, telah melindungi
kerajaannya, dapat
memahami dengan benar bagaimana
manisnya buah
dari kebenaran.
Raja yang memerintah kerajaannya dengan
tidak benar
tidak
akan memiliki dan menderita kerugian pada
tanaman dan herba, atau apa pun yang
tanah (kerajaan)
itu hasilkan.
Demikianlah jika ia menghancurkan
rakyatnya dengan
merampas, maka satu sumber pendapatan
yang tidak
benar akan menyebabkan keuangannya
habis.
Dan jika ia menyalahkan pasukannya yang
gagah berani,
yang demikian ahli dalam pertempuran, maka
pasukannya akan berpaling darinya dan
menggulingkan
kekuasaannya.
Demikianlah jika melukai resi atau
orang-orang yang
menapaki kehidupan suci, maka ia akan
mendapatkan
ganjaran yang sesuai:
Dan dikarenakan perbuatan buruknya itu,
ia akan
terhalang untuk masuk ke alam surga,
betapa pun
tingginya status kelahiran dirinya.
Dan jika seorang istri, meskipun tidak
bersalah, dibunuh
oleh raja yang kejam, maka ia akan
menimbulkan
penderitaan bagi anak-anaknya dan
tersiksa kesakitan di
alam neraka.
Berikanlah perlakuan benar kepada
penduduk kota dan
desa, dan perlakukan para pasukanmu
dengan baik,
bersikaplah yang baik kepada anak dan
istri, dan
janganlah
melukai para resi (petapa suci).
Seorang pemimpin kerajaan yang demikian
ini, wahai
raja, jika bebas dari semua nafsu
keinginan, seperti
Dewa Indra, pemimpin para asura, akan
memerangi
keburukan di mana saja.
Setelah demikian memaparkan kebenaran
kepada raja, Sang Mahasatwa memanggil keempat pangeran muda tersebut dan
menasihati mereka, dengan menjelaskan perbuatan raja kepada mereka, dan
berkata, “Minta maaflah kepada raja,” dan setelah membujuk raja untuk memaafkan
mereka, ia berkata, “Paduka, mulai saat ini, jangan menerima pernyataan dari
para penghasut tanpa menyelidiki perkataan mereka, dan jangan melakukan
kesalahan atas perbuatan buruk yang sama lagi. Dan kepada kalian, Para Pangeran
Muda, jangan melakukan tindak pengkhianatan terhadap raja,” dan demikianlah ia
menasihati mereka semuanya. Kemudian raja berkata kepadanya, “Bhante,
dikarenakan orang-orang ini saya telah melakukan perbuatan buruk terhadap Anda
dan permaisuri, dan karena menerima hasutan mereka, saya melakukan perbuatan buruk
ini. Saya akan membunuh mereka berlima.” “Paduka, Anda tidak boleh melakukan
ini.” “Kalau begitu, saya akan memerintahkan untuk memotong kaki dan tangan
mereka.” “Anda juga tidak boleh melakukan ini.” Raja menyetujuinya dengan
berkata, “Baiklah,” dan ia mengambil semua harta benda mereka dan membuat
mereka malu dengan cara yang beraneka ragam, dengan membuat rambut mereka
menjadi berkucir dengan mengikat mereka menggunakan belenggu dan rantai, dan
dengan menyiramkan kotoran sapi pada mereka, ia mengusir mereka keluar dari
kerajaannya. Setelah tinggal selama beberapa hari di sana, memberikan wejangan
kepada raja, dengan memintanya untuk tetap waspada, Bodhisatta berangkat ke
pegunungan Himalaya dan mengembangkan kesaktian yang timbul dari meditasi
jhana, dan hidup dengan mengembangkan kediaman luhur (brahmavihāra), ia
pun menjadi penghuni alam brahma.
Sang Guru mengakhiri uraian-Nya di sini
dan setelah berkata, “Bukan hanya kali ini, Para Bhikkhu, tetapi juga di masa lampau,
Tathāgata adalah yang bijaksana dan mengalahkan para pembantah,” demikian
Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, kelima penganut
pandangan salah itu adalah Purāṇa Kassapa , Makkhali Gosāla ,
Pakudha Kaccāna, Ajita Kesakambalī, Nigaṇṭha
Nāthaputta , anjing kuning kecoklatan itu adalah Ānanda, dan Petapa
Pengembara Mahabodhi (Mahābodhi) adalah saya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar