Sumber: Sasa-Jataka
“Tujuh ekor ikan merah,” dan seterusnya
. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang pemberian
derma yang mencakup semua. Dikatakan, seorang tuan tanah di Savatthi,
menyediakan semua keperluan bagi para Saṅgha (Sangha) yang dipimpin oleh
Sang Buddha. Ia membangun sebuah paviliun di depan rumahnya dan mengundang
semua rombongan anggota Sangha dan Sang Buddha sebagai pemimpin mereka. Ia
memberikan tempat duduk yang elegan dan menyajikan pelbagai makanan lezat dan
pilihan. Dan dengan berkata, “Datanglah kembali esok hari,” ia melayani mereka
selama satu minggu penuh, dan pada hari ketujuh ia mempersembahkan semua
keperluan kepada Sang Buddha dan kelima ratus bhikkhu yang mengikuti-Nya. Pada
akhir persembahan tersebut, sebagai ucapan terima kasih, Beliau berkata,
“Upasaka, Anda telah bertindak benar dalam memberikan kebahagiaan dan
kenyamanan batin dengan pemberian derma ini. Karena ini juga merupakan
kebiasaan dari orang bijak di masa lampau, yang mengorbankan dirinya sendiri untuk
pengemis yang mereka jumpai, bahkan ia juga memberikan dagingnya sendiri
kepadanya untuk dimakan.” Dan atas permintaan tuan tanah itu, Beliau
menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta
memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir menjadi seekor kelinci dan tinggal
di dalam hutan. Pada salah satu sisi hutan itu terdapat kaki gunung, pada sisi
yang lain terdapat sebuah sungai, dan pada sisi yang ketiga terdapat sebuah
desa perbatasan. Kelinci itu mempunyai tiga sahabat—seekor kera, seekor
serigala dan seekor berangberang.
Keempat makhluk bijak ini tinggal
bersama dan mereka masing-masing mencari makan di lahan mereka sendiri, dan
berkumpul pada petang hari. Kelinci, dengan kebijaksanaannya, memberi wejangan
berupa pemaparan kebenaran kepada ketiga sahabatnya, mengajari mereka untuk memberi
derma (berdana), menjalankan latihan moralitas (sila), dan memperingati
hari-hari suci. Sahabat-sahabatnya menerima wejangannya dan masing-masing
pulang kembali ke tempat tinggal mereka di sisi-sisi hutan itu. Pada suatu
hari, Bodhisatta meninjau langit dan memandang bulan, mengetahui bahwa keesokan
harinya adalah hari Uposatha. Kemudian ia berkata kepada para sahabatnya, “Besok
adalah hari Uposatha. Marilah kita menjalankan sila dan laku Uposatha. Ia yang
memberi derma disertai dengan menjalankan sila tentulah mendapatkan hasil
perbuatan yang amat mulia. Oleh karena itu, berikanlah makanan kepada orang yang
datang meminta kepada kalian dengan makanan dari tempat kalian sendiri. Mereka
semua menyetujuinya dan kembali ke tempat tinggal masing-masing.
Pada keesokan paginya, berang-berang
berangkat untuk mencari makanannya di tepi Sungai Gangga. Kala itu, seorang nelayan
telah menangkap tujuh ekor ikan merah, mengikat ikanikan itu dengan tali pada
satu ranting, menguburnya di dalam tanah di tepi sungai. Kemudian ia kembali
mengarungi sungai ke bagian hilir untuk mendapatkan lebih banyak ikan.
Berangberang yang mencium bau ikan di dalam tanah, menggali tanah dan
menemukannya. Ia menarik keluar ikan-ikan itu dan berkata dengan keras,
sebanyak tiga kali, “Siapakah empunya ikan-ikan ini?” Karena tidak melihat
siapa pun sebagai pemiliknya, berangberang, dengan menggigit ranting tersebut,
membawa ikan-ikan itu ke hutan tempat ia tinggal dengan niat untuk memakannya pada
waktu yang tepat, kemudian ia berbaring dan memikirkan tentang latihan
moralnya.
Demikian halnya dengan serigala, ia
juga berangkat untuk mencari makanan dan menemukan dua besi pemanggang, seekor
kadal besar dan satu kendi dadih43 di dalam pondok seorang penjaga ladang.
Setelah tiga kali berkata dengan keras, “Siapakah yang empunya benda-benda
ini?” ia pun melingkarkan tali di lehernya untuk mengangkat kendi, membawa
kadal dan besi pemanggang dengan cara menggigitnya. Ia membawa mereka ke sarangnya
dan berpikir, “Saya akan memakan inipada waktu yang tepat,” kemudian berbaring,
memikirkan tentang latihan moralnya.
Demikian halnya juga dengan kera, ia
pergi ke dalam hutan belantara dan mengumpulkan buah-buah mangga, kemudian membawanya
kembali ke dalam hutan tempat ia tinggal dengan niat untuk memakannya pada
waktu yang tepat. Ia pun berbaring sambil memikirkan tentang latihan moralnya.
Sedangkan Bodhisatta pada waktu yang
sama keluar dari tempat tinggalnya, dengan tujuan untuk mendapatkan rumput
kusa. Ketika ia berbaring di dalam hutan (tempat ia tinggal), pemikiran ini
terlintas dalam benaknya, “Tidaklah mungkin bagiku untuk menawarkan rumput
kepada orang yang datang meminta kepadaku nanti, dan saya juga tidak mempunyai
minyak (wijen) atau beras, dan sebagainya. Jika ada orang yang datang meminta
makanan kepadaku nanti, akan kuberikan dagingku sendiri kepadanya untuk
dimakan.” Dikarenakan kekuatan kebajikannya ini, takhta marmer kuning Dewa
Sakka menjadi panas. Sakka, dengan kekuatannya memindai, menemukan penyebabnya
dan berniat untuk menguji si kelinci. Pertama-tama, ia pergi ke kediaman
berang-berang, dalam samarannya sebagai seorang brahmana (petapa). Ketika
ditanya mengapa ia berdiri di sana, ia menjawab, “Tuan yang bijak, jika saya bisa
mendapatkan sesuatu untuk makan, maka saya akan dapat menjalankan laku
Uposatha.” Berang-berang berkata, “Baiklah, saya akan memberikanmu makanan,”
dan pada saat ia berbicara dengannya, ia mengulangi bait pertama berikut:
Tujuh ekor ikan merah yang kubawa
pulang
ke daratan dari Sungai Gangga,
wahai brahmana, makanlah ini sepuasnya,
dan tinggallah di hutan ini.
Brahmana itu berkata, “Tunggulah sampai
besok, saya akan mengambilnya.” Berikutnya, ia pergi ke kediaman serigala, ketika
ditanya dengan pertanyaan yang sama, ia pun menjawab dengan jawaban yang sama.
Serigala juga bersedia memberikannya makanan, dan pada saat berbicara
dengannya, ia mengulangi bait kedua berikut:
Seekor kadal dan satu kendi dadih,
makan malam
si penjaga, dua besi pemanggang untuk
memanggang
daging yang kudapatkan ini: Akan
kuberikan kepadamu:
Wahai brahmana, makanlah ini sepuasnya,
dan tinggallah di hutan ini.
Brahmana itu berkata, “Tunggulah sampai
besok, saya akan mengambilnya.” Kemudian, ia pergi ke kediaman kera, dan ketika
ditanya dengan pertanyaan yang sama, ia pun menjawab dengan jawaban yang sama.
Kera menawarkan makanan untuknya, dan pada saat berbicara dengannya, ia
mengulangi bait ketiga berikut:
Aliran sungai yang dingin, buah mangga
yang ranum,
tempat teduh yang menyenangkan di
hutan,
wahai Brahmana, makanlah ini sepuasnya,
dan tinggallah di hutan ini
Brahmana itu berkata, “Tunggulah sampai
besok, saya akan mengambilnya.” Kemudian ia pergi ke kediaman si kelinci bijak,
dan ketika ditanya mengapa ia berdiri di sana, ia pun menjawab dengan jawaban
yang sama seperti sebelumnya. Bodhisatta merasa sangat gembira mendengar apa
yang ia inginkan, dan berkata, “Brahmana, Anda telah melakukan hal yang benar
dengan datang meminta makanan kepadaku. Hari ini akan kuberikan kepadamu
persembahan yang belum pernah kuberikan sebelumnya, tetapi Anda tidak akan
melanggar sila dengan mengambil nyawa hewan. Teman, pergilah dan sesudah Anda
mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan api, datanglah kembali ke sini dan beri
tahu saya, saya akan mengorbankan diriku sendiri dengan melompat ke dalam api. Bilamana
dagingku telah terpanggang (cukup matang), makanlah sesukamu dan jalankanlah
kewajibanmu sebagai seorang petapa.” Demikian si kelinci berbicara kepadanya
dan mengucapkan bait keempat berikut:
Bukan wijen, bukan kacang-kacangan,
bukan pula beras
yang kumiliki sebagai makanan untuk
didermakan,
melainkan kukorbankan dagingku sendiri
untuk
dipanggang dalam api, jika Anda ingin
tinggal
di hutan ini bersama kami.
Setelah mendengar apa yang dikatakannya,
dengan kesaktiannya, Sakka memunculkan satu tumpukan bara api yang berkobar-kobar
dan memberi tahu Bodhisatta. Setelah bangkit dari ranjang rumput kusanya dan
datang ke tempat itu, kelinci mengibas-ngibaskan tubuhnya tiga kali agar
serangga-serangga kecil atau kutu-kutu di tubuhnya tidak mati, ikut terbakar. Kemudian
untuk mempersembahkan seluruh tubuhnya sebagai derma, ia melompat masuk ke
dalam tumpukan bara api dalam kegembiraannya, seperti seekor angsa yang terbang
turun ke tumpukan terata. Tetapi kobaran api itu tidak mampu membakarnya,
bahkan tak sehelai rambutnya pun terbakar, dan ia seolah-olah seperti masuk ke
dalam sebuah tempat yang sangat dingin. Kemudian ia menyapa Sakka dengan
kata-kata berikut: “Brahmana, api yang Anda nyalakan ini sedingin es: api ini
tidak membakar tubuhku, bahkan tak sehelai rambutku pun terbakar. Apa arti
semua ini?” “Tuan yang bijak,” jawabnya, “saya bukanlah seorang brahmana, saya
adalah Dewa Sakka dan saya datang untuk menguji kebajikanmu.” Kemudian Bodhisatta
berkata, “Sakka, bukan hanya dirimu, jika seluruh penghuni dunia ini mengujiku
dalam hal berdana, mereka tidak akan menemukan keengganan dalam diriku untuk
memberi,” dan setelah mengucapkan kata-kata ini, Bodhisatta mengeluarkan
jeritan kebahagiaan seperti auman seekor singa. Kemudian Sakka berkata
Bodhisatta, “Wahai kelinci bijak, biarlah kebajikanmu ini dikenal selama waktu
yang tak terhitung lamanya.” Setelah meremas sebuah gunung dan mengambil
sarinya, Sakka membuat gambar seekor kelinci di bagian tengah bulan. Kemudian
setelah mengembalikan kelinci pada ranjang rumput kusa, ia pun kembali ke
kediamannya di alam dewa. Keempat makhluk bijak itu tinggal bersama dengan
bahagia dan harmonis, menjalankan sila dan memperingati hari-hari suci, sampai akhirnya
mereka terpisah untuk menuai hasil sesuai perbuatan mereka masing-masing.
Sang Guru, setelah selesai menyampaikan
uraian-Nya, memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran ini:—Di
akhir kebenarannya, tuan tanah yang berdana semua keperluan itu mencapai
tingkat kesucian Sotāpanna (Sotapanna):— Pada masa itu, Ānanda adalah
berang-berang, Mogallāna adalah serigala, Sāriputta adalah kera, dan
saya sendiri adalah si kelinci bijak.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar