Oleh BHIKKHU DHAMMAVUDDHO MAHA THERA
Namo
Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa
PENDAHULUAN
Makan
daging merupakan topik yang sangat sensitif. Ada beragam pandangan tentang
makan daging dan setiap pandangan mungkin benar pada batas tertentu, tetapi
pandangan-pandangan tersebut mungkin saja tidak bijaksana. Dalam hal ini, kita
harus mengesampingkan pandangan pribadi kita dan
bersikap
lebih terbuka untuk melihat pandangan Sang Buddha. Hal ini penting sekali
karena Beliau adalah Tathagata yang mengetahui dan melihat.
Sutta
dan Vinaya akan menjadi sumber referensi kita karena di AN 4.180, Sang Buddha berkata
bahwa jika bhikkhu tertentu mengatakan sesuatu, yang diklaim sebagai sabda Sang
Buddha, maka perkataan tersebut haruslah dibandingkan dengan Sutta (kumpulan
khotbah) dan Vinaya (disiplin kebhikkhuan). Jika perkataan tersebut sesuai
dengan Sutta dan Vinaya, maka kita dapat menerimanya sebagai sabda Sang Buddha.
Pertimbangan
selanjutnya adalah Sutta dan Vinaya mana yang menjadi acuan kita? Walaupun berbagai
mazhab Buddhis mempunyai penafsiran yang berbeda tentang ajaran Sang Buddha, umumnya
semua setuju bahwa empat Nikaya (Kumpulan-kumpulan), yaitu, Digha Nikaya,
Majjhima Nikaya, Samyutta Nikaya, dan Anguttara Nikaya, dan beberapa buku dari
Khuddhaka Nikaya, adalah khotbah-khotbah tertua otentik Sang Buddha. Lebih
lanjut, buku-buku kumpulan tertua ini konsisten secara keseluruhannya,
mengandung rasa pembebasan, sementara buku-buku belakangan terkadang berisikan
ajaran yang kontradiktif.
Buku-buku
Vinaya dari berbagai mazhab Buddhis semuanya cukup serupa dengan Vinaya Theravada.
Untuk alasan ini, Sutta-sutta kumpulan tertua dan Vinaya Theravada akan menjadi
sumber referensi kita.
REFERENSI
SUTTA
Majjhima
Nikaya 55
Khotbah
ini penting sekali karena disini Sang Buddha menyatakan dengan jelas pendapat
Beliau tentang makan daging. Tabib Raja, Jivaka Komarabhacca, datang
mengunjungi Sang Buddha. Setelah memberi penghormatan, dia berkata: “Yang
Mulia, saya telah mendengar hal ini: ‘Mereka menyembelih makhluk hidup untuk
Samana Gotama (yaitu Sang Buddha); Samana Gotama dengan sadar memakan daging
yang dipersiapkan kepadanya dari binatang yang dibunuh untuk dirinya’…”; dan
bertanya apakah hal ini memang benar.
Sang
Buddha menyangkali hal ini, menambahkan “Jivaka, saya nyatakan bahwa dalam tiga
hal daging
tidak
diijinkankan untuk dimakan: apabila dilihat, didengar atau dicurigai (bahwa
makhluk hidup tersebut telah secara khusus disembelih untuk dirinya) … Saya
nyatakan bahwa dalam tiga hal daging
diijinkan
untuk dimakan: ketika tidak dilihat, didengar, atau dicurigai (bahwa makhluk
hidup tersebut
telah
secara khusus disembelih untuk dirinya) ….”
Lebih
lanjut, Sang Buddha menambahkan: “Jika seseorang menyembelih suatu makhluk
hidup untuk Tathagata (yaitu Sang Buddha) atau para siswanya, dia menimbun
banyak kamma buruk dalam lima hal … (i) Ketika dia berkata: ‘Pergi dan giring
makhluk hidup itu’ ... (ii) Ketika makhluk hidup itu menderita kesakitan dan
kesedihan ketika dijerat dengan lehernya yang terikat … (iii) Ketika dia berkata:
‘Pergi dan sembelihlah makhluk hidup itu’ … (iv) Ketika makhluk hidup itu
mengalami kesakitan dan kesedihan karena disembelih … (v) Ketika dia
mempersembahkan kepada Tathagata atau para siswanya dengan makanan yang tidak
diijinkan …. ”
Jadi
kita dapat menyimpulkan bahwa Sang Buddha membedakan antara daging yang diijinkan
(dengan pengecualian dari sepuluh
jenis daging yang dilarang untuk para bhikkhu: manusia, gajah, kuda, anjing,
hyena, ular, beruang, singa, harimau, dan macan tutul) dengan tiga kondisi dan
daging yang tidak diijinkan. Ini adalah kriteria yang paling penting sehubungan
dengan makan daging.
Anguttara
Nikaya 8.12
Jendral
Siha, seorang pengikut Nigantha, beralih ke ajaran Buddha setelah dia belajar
Dhamma dari Sang Buddha. Dia mengundang Sang Buddha dan rombongan bhikkhu ke
rumahnya hari berikutnya untuk bersantap, dan menyediakan daging dan makanan
lainnya. Para Nigantha, yang cemburu karena
seorang
umat awam yang terkemuka dan berpengaruh telah pergi ke perkemahan Buddha, menyebarkan
rumor bahwa Jendral Siha telah membunuh seekor binatang besar dan memasaknya untuk
samana Gotama, “… dan samana Gotama akan memakan daging tersebut, mengetahui
bahwa daging itu memang dimaksudkan untuk dirinya, perbuatan itu dilakukan
untuk kepentingannya.’
Ketika
berita ini sampai ke telinga Jendral, dia menolak tuduhan mereka, berkata: “ …
Sudah lama tuan–tuan yang terhormat ini (Nigantha) sudah berniat untuk
meremehkan Buddha … Dhamma … Sangha: tetapi mereka tidak dapat mengganggu Yang
Terberkahi dengan fitnahan kejam, kosong, bohong, yang tak benar. Tidaklah demi
menopang hidup, kita dengan sengaja merampas hidup makhluk manapun.
Ini
adalah salah satu khotbah yang dengan jelas menunjukkan bahwa Sang Buddha dan bhikkhunya
makan daging. Juga, kita lihat bahwa daging dari binatang yang sudah mati
ketika dibeli, diijinkan untuk dimakan, tetapi tidak diijinkan apabila
binatangnya masih hidup.
Anguttara
Nikaya 5.44
Ini
tentang seorang umat awam, Ugga, yang mempersembahkan beberapa pilihan makanan
yang baik
untuk
Sang Buddha: di antaranya adalah daging babi yang dimasak dengan buah jujube
yang diterima
oleh
Sang Buddha. Sekali lagi, ini jelas bahwa Sang Buddha dan para siswanya makan
daging.
Sutta
Nipata 2.2
Disini
Sang Buddha mengingat kembali suatu peristiwa pada kehidupannya yang lampau
pada masa Buddha Kassapa. Buddha Kassapa adalah gurunya saat itu. Pada suatu
ketika saat seorang petapa sekte luar bertemu dengan Buddha Kassapa dan mencacinya
karena makan daging, yang dikatakannya sebagai noda dibandingkan dengan
konsumsi makanan vegetarian.
Buddha
Kassapa membalas: “Membunuh … melukai …. mencuri, berbohong, menipu …berzinah;
inilah noda. Bukan makan daging. … Mereka yang kasar, sombong, memfitnah,
curang, jahat … kikir … inilah noda. Bukan makan daging. … Kemarahan,
keangkuhan, sifat keras kepala, kebencian, penipuan, keirihatian, pembualan …
inilah noda. Bukan makan daging.… Mereka yang bermoral buruk, …. dengki …
congkak … menjadi orang yang paling keji,melakukan perbuatan demikian, inilah
noda. Bukan makan daging.”
REFERENSI
VINAYA
Patimokkha:
Pacittiya 39
Dalam
disiplin kebhikkhuan, seorang bhikkhu tidak diijinkan untuk meminta makanan
khusus tertentu.
Tetapi,
sebuah pengecualian diijinkan di Patimokkha (peraturan kebhikkhuan) ketika
bhikkhu itu sakit.
Dalam
keadaan ini, bhikkhu diijinkan untuk meminta produk dari susu, minyak makan,
madu, gula, ikan, daging … Dengan jelas, ikan dan daging diijinkan untuk para
bhikkhu.
Buku
Kedisiplinan: Buku Keempat
Dalam
Mahavagga, sepuluh jenis daging dilarang bagi para bhikkhu: manusia, gajah,
kuda, anjing, hyena, ular, beruang, singa, harimau, dan macan tutul. Kita dapat
menyimpulkan dari sini bahwa daging dari binatang lain diijinkan, dengan
terpenuhinya tiga kondisi untuk ‘daging yang diijinkan’, misalnya daging babi,
daging sapi, ayam, dan lain sebagainya.
Buku
Kedisiplinan : Buku Keempat
Sup
daging yang jernih diijinkan bagi bhikhhu yang sakit.
Buku
Kedisiplinan : Buku Pertama
Beberapa
bhikkhu menuruni lereng dari Puncak Burung Nasar. Mereka melihat sisa hewan
yang mati terbunuh oleh singa, menyuruh umat memasaknya dan memakannya. Di lain
waktu, bhikkhu yang lain melihat sisa hewan yang mati terbunuh oleh harimau …
sisa hewan yang mati terbunuh oleh macan tutul … dan lain sebagainya … menyuruh
umat memasaknya dan memakannya.
Kemudian
para bhikkhu ragu apakah itu sudah termasuk mencuri. Sang Buddha memberikan pengecualian
kepada mereka dengan mengatakan tidak ada pelanggaran dalam mengambil apa yang menjadi
milik binatang. Sekali lagi, di sini kita melihat bahwa para bhikkhu makan
daging dan Sang Buddha tidak mengkritik atau melarang hal itu.
Buku
Kedisiplinan : Buku Kedua
Ini
adalah kejadian ketika Arahat bhikkhuni Uppalavanna ditawarkan sebagian daging
matang. Keesokan paginya, setelah mempersiapkan daging di biara wanita, dia
pergi ketempat dimana Sang Buddha sedang tinggal untuk mempersembahkan
kepadanya. Seorang bhikkhu, mewakili Sang Buddha, menerima persembahan itu dan
mengatakan bahwa Uppalavanna telah menyenangkan Sang Buddha. Jelaslah bahwa
Sang Buddha memakan daging; apabila tidak, Arahat bhikkhuni Uppalavanna tidak
akan mempersembahkannya.
Buku
Kedisiplinan : Buku Kelima
Bhikkhu
Devadatta merencanakan untuk memecah-belah komunitas para bhikkhu dengan
meminta Sang Buddha untuk menetapkan lima aturan, salah satunya adalah para
bhikkhu tidak diijinkan makan
ikan
dan daging. Sang Buddha menolak, dengan berkata : “Ikan dan daging sepenuhnya
murni berdasarkan tiga hal: jika tidak dilihat, didengar atau dicurigai (telah
dibunuh secara khusus untuk seseorang).”
Sang
Buddha bersabda bahwa seorang bhikkhu harus mudah disokong. Jika seorang
bhikkhu menolak untuk memakan jenis makanan tertentu (baik daging maupun
sayuran) maka dia tidak mudah disokong.
BERBAGAI
ALASAN SANG BUDDHA MENGIJINKAN MAKAN DAGING
Tidak
Ada Kamma Langsung dari Pembunuhan
Sang
Buddha berkata: “Ikan dan daging sepenuhnya murni (parisuddha) ….” artinya
tidak ada kamma langsung (perbuatan yang disertai kehendak) dari pembunuhan
jika binatang itu tidak dilihat, didengar atau dicurigai telah dibunuh secara
khusus untuk seseorang.
Tanpa
tiga kondisi ini, ada unsur kamma tak bajik dan, oleh karenanya, daging jenis
itu tidak diijinkan.
Walaupun
Sang Buddha mengijinkan makan daging, Beliau berkata di AN 4.261 bahwa kita menciptakan
kamma tak bajik jika kita secara langsung mendorong terjadinya pembunuhan, menyetujui
dan berbicara dengan bangga akan hal itu. Karena itu di AN 5.177 Sang Buddha
berkata bahwa seorang umat awam tidak boleh berdagang daging, yang dijelaskan
di kitab komentar sebagai pengembangbiakan dan menjual babi, ternak, ayam dan
lain sebagainya untuk disembelih. Demikian pula, tidak diijinkan untuk memesan,
misalnya sepuluh ekor ayam untuk keesokan harinya jika sejumlah binatang
tersebut dimaksudkan disembelih untuk seseorang.
Vegetarian
Tidak Cocok dengan Cara Hidup Para Bhikkhu Buddhis
Seorang
bhikkhu seyogianya pergi meminta sedekah (mengemis) untuk makanannya kecuali
dia (i) diundang untuk bersantap, (ii) makanan itu dibawa ke Vihara, atau (iii)
makanan itu dimasak di Vihara. Dia tidak diijinkan untuk memasak makanan,
menyimpan makanan untuk keesokan harinya, atau melibatkan diri dalam kegiatan
bercocok tanam untuk menyokong dirinya sendiri. Dengan begitu,
mengemis
adalah salah satu dari dasar /landasan dari cara hidup para bhikkhu Buddhis.
Hal
ini dapat dilihat di suatu negara Buddhis (misalnya Thailand) dimana seorang
bhikkhu mempunyai kebebasan dan dukungan untuk sepenuhnya berlatih sesuai
dengan ajaran Sang Buddha. Di sana kita melihat bukan hanya para bhikkhu
tradisi kehutanan yang pergi meminta sedekah tetapi juga para bhikkhu dari kota
kecil dan besar mengemis makanan setiap hari. Karena seorang pengemis tidak
pantas memilih-milih, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, vegetarianisme
tidak cocok dengan cara hidup para bhikkhu Buddhis - - yang mungkin merupakan
alasan lain mengapa Sang Buddha menolak permintaan Devadatta seperti yang
disebutkan sebelumnya.
Argumentasi
Permintaan dan Penyediaan
Beberapa
orang beragumen bahwa walaupun dengan tiga kondisi yang disebutkan sebelumnya, seseorang
pantas dicela karena makan daging menyebabkan adanya permintaan yang harus
diimbangi
dengan
penyediaan dengan pembunuhan binatang. Dengan kata lain, makan daging dalam
keadaan apapun mendorong pembunuhan binatang.
Kita
harus paham bahwa ada dua jenis sebab dan akibat : (i) sebab dan akibat duniawi,
di mana kehendak tidak dilibatkan, dan (ii) kamma-vipaka Buddhis, atau tindakan
yang disertai kehendak/kesengajaan dan akibatnya. Makan daging yang diijinkan
dengan tiga kondisi melibatkan hanya sebab dan akibat duniawi, dan tidak ada
kamma dari membunuh. Makan daging yang tidak diijinkan melibatkan kamma tak
bajik dan, karenanya, juga vipakanya. Oleh karena itu, makan daging
harus
dibagi dengan jelas menjadi dua bagian.
Argumentasi
permintaan dan penyediaan tidaklah berlaku. Di bumi ini, sejumlah besar manusia
dan binatang-binatang yang tidak terhitung jumlahnya terbunuh oleh kendaraan
bermotor setiap hari. Hanya dengan mengendarai kendaraan atau bahkan duduk di
atasnya, kita mendorong industri motor untuk membuat lebih banyak kendaraan
bermotor. Jika kita menggunakan argumentasi permintaan dan penyediaan, maka
hanya dengan menggunakan kendaraan bermotor kita mendukung pembunuhan
binatang-binatang yang tak terhitung jumlahnya dan sejumlah besar manusia di
jalanan setiap hari - - yang lebih buruk daripada makan daging!
Memang
benar bahwa kita secara tidak langsung terlibat dalam pembunuhan
binatang-binatang tetapi, seperti yang dijelaskan sebelumnya, tidak ada
kamma-vipaka dari membunuh. Keterlibatan tidak langsung dalam pembunuhan adalah
benar, jika kita makan daging maupun tidak, dan merupakan sesuatu yang tidak
terelakkan. Kita akan mendiskusikannya dibawah.
Vegetarianisme
juga Mendorong Pembunuhan.
Kita
mendorong pembunuhan walau sekalipun kita berpola makan vegetarian. Setiap hari
monyet, tupai, rubah, kumbang, dan hama perusak lainnya dibunuh karena mereka
makan dari pohon buah yang ditanam petani. Petani sayuran juga membunuh ulat
bulu, keong, cacing, belalang, semut, dan serangga lainnya, dll.. Seperti di
Australia contohnya, kangguru dan kelinci dibunuh setiap hari karena mereka
memakan hasil panen.
Banyak
barang yang umumnya dimanfaatkan setiap orang dengan mengorbankan nyawa berbagai
makhluk hidup. Sebagai contoh, sutera dibuat dengan pengorbanan ulat sutera
yang tidak terhitung jumlahnya, dan lapisan lak putih dari serangga lak yang
tidak terhitung jumlahnya.
Kosmetik
mengandung sejumlah besar unsur pokok hewani. Banyak zat tambahan makanan, seperti:
pewarna, penyedap, pemanis, juga menggunakan unsur pokok hewani. Produk keju menggunakan
dadih susu yang diekstrak dari perut anak sapi untuk mengentalkan susu.
Produk
kulit dan bulu tentunya terbuat dari kulit binatang yang dibunuh untuk tujuan
ini. Film fotografis menggunakan gelatin yang diperoleh dengan mendidihkan
kulit, urat daging dan tulang dari
binatang.
Bahkan
pupuk untuk sayur-sayuran dan pohon buah sering menggunakan tulang ikan kering yang
digiling, dan sisa potongan ikan lainnya. Penggunaan susu sapi dan madu juga
melibatkan banyak kekejaman terhadap binatang dan serangga terkait.
Semua
ini menunjukkan bahwa sungguh sulit untuk tidak terlibat dalam satu cara atau
yang lain dalam kekejaman yang terjadi pada binatang-binatang. Jadi seandainya
seseorang menjadi vegetarian, seseorang hendaknya merenungi hal di atas dan menghindari
kritik yang berlebihan terhadap mereka yang makan daging.
Binatang
Tetaplah Dibunuh Walaupun Semua Manusia Menjadi Vegetarian.
Walaupun
semua manusia menjadi vegetarian, binatang masih saja akan dibunuh. Ini karena
binatang
berkembang
biak sangat cepat daripada manusia sehingga mereka dengan mudah menjadi ancaman
bagi kelangsungan hidup manusia.
Sebagai
contoh beberapa tahun yang lalu, dibeberapa daerah Afrika, gajah adalah
binatang yang dilindungi. Akan tetapi, sekarang mereka telah berkembang-biak
dengan cepat dan menjadi ancaman, dan hukum perlindungan harus dilonggarkan
untuk mengurangi jumlah mereka.
Di
beberapa negara, anjing yang tidak terdaftar dibunuh agar tidak menjadi rabies
dan menyerang manusia. Bahkan kelompok perlindungan terhadap kekejaman binatang
membunuh jutaan anjing dan kucing dalam kandang setiap tahun karena akomodasi
yang tidak memadai. – di Amerika Serikat, setiap tahunnya 14 juta dibinasakan
dalam waktu seminggu setelah diselamatkan oleh kelompok kemanusiaan.
Pada
akhirnya, pendapat bahwa vegetarianisme mencegah pembunuhan binatang adalah
tidak benar. Meskipun demikian, adalah terpuji untuk berlatih vegetarianisme
atas belas kasih, tetapi tidak sampai menjadi ekstrim akan hal itu.
Setiap
Orang secara Tidak Langsung Terlibat dalam Pembunuhan Binatang
Apakah
kita vegetarian atau sebaliknya, kita semua secara tidak langsung terlibat
dalam pembunuhan binatang. Area hutan yang luas harus digunduli untuk perumahan
karena kita ingin tinggal di dalam rumah. Ini mengakibatkan kematian sejumlah
besar binatang. Karena kita ingin menggunakan peralatan rumah tangga dan
peralatan serba canggih lainnya, lagi, area hutan yang luas digunduli untuk
lokasi-lokasi pabrik dan industri. Karena kita ingin menggunakan listrik,
sungai-sungai dibendung untuk pemanfaatan listrik tenaga air. Ini mengakibatkan
banjir di area hutan yang luas dengan mengorbankan hidup binatang.
Karena
kita mengendarai kendaraan bermotor, binatang yang tak terhitung jumlahnya dan sejumlah
besar manusia terbunuh di jalanan setiap harinya. Lagi, demi keselamatan kita,
anjing liar dibunuh agar tidak menjadi rabies. Dalam produksi berbagai produk
yang kita gunakan setiap hari, seperti: makanan, obat-obatan, sutera, kosmetik,
film, dan lain sebagainya., unsur pokok hewani digunakan dengan mengorbankan
hidup binatang.
Jika
kita menggunakan argumentasi permintaan dan penyediaan seperti yang dijelaskan sebelumnya
maka kita tidak seharusnya tinggal dalam rumah, atau menggunakan barang-barang rumah
tangga yang diproduksi pabrik, atau menggunakan tenaga listrik, atau
mengendarai mobil, dsbnya.
Perumpamaan
Pembunuhan Berseri
Andaikan
ada kasus pembunuhan berseri di suatu kota, dengan adanya sejumlah wanita yang
telah diperkosa kemudian dibunuh sehingga tidak ada wanita yang berani
mengambil resiko keluar malam. Seisi kota gempar dan penduduk menuntut agar
pihak berwenang menjalankan tugas mereka dan menangkap pembunuhnya. Jadi
polisi, setelah beberapa bulan berusaha keras, akhirnya menangkap dalangnya.
Setelah pemeriksaan panjang, hakim menjatuhkan hukuman mati pada dirinya. Pada
hari yang ditentukan, pembunuh dibawa ke ruang eksekusi dimana petugas eksekusi
menarik pengungkil untuk menghabisi nyawa si pembunuh.
Cerita
ini menimbulkan pertanyaan: “Siapa yang terlibat dalam kamma buruk dari pembunuhan
manusia (yakni si pembunuh berseri)?” Menurut hukum kamma-vipaka, petugas eksekusi
melakukan pelanggaran yang paling berat karena dia secara sengaja melakukan
pembunuhan. Berikutnya adalah hakim yang mengumumkan hukuman mati. Kedua orang
ini secara langsung terlibat dalam kamma pembunuhan atas eksekusi dari pembunuh
berseri. Polisi hanya terlibat secara tidak langsung dan tidak bertanggung
jawab atas eksekusinya. Bagaimana dengan penduduk? Pada dasarnya pembunuh
berseri dieksekusi untuk melindungi penduduk, yakni dieksekusi atas kebaikan penduduk,
atau dengan kata lain, penduduk adalah orang-orang yang diuntungkan atas
eksekusi tersebut. Jadi apakah penduduk bertanggung jawab atas keterlibatan
kamma pembunuhan? Tidak, karena mereka tidak meminta eksekusi atas pembunuh
berseri. Tetapi mereka turut terlibat apabila mereka meminta si pembunuh untuk
dieksekusi.
Skenario
di atas serupa dengan penyembelihan binatang untuk makanan. Orang yang menyembelih
binatang tersebut menanggung kamma pembunuhan yang paling berat. Orang yang membiakkan
binatang untuk disembelih juga terlibat dalam kamma pembunuhan. Mereka serupa dengan
hakim yang menjatuhkan hukuman pada orang tersebut untuk dieksekusi. Tetapi
orang yang membeli daging dari binatang yang sudah disembelih tidak terlibat
dalam kamma pembunuhan walaupun, serupa dengan penduduk kota diatas, mereka
adalah orang-orang yang diuntungkan. Akan tetapi jika seseorang memesan daging
dari binatang yang hidup untuk disembelih, maka ada keterlibatan dalam
pembunuhan.
’Chi
Zhai’, bukan ’Chi Su’
Banyak
umat Buddhis Tionghoa beranggapan salah bahwa Buddhisme Mahayana mengajari
praktik vegetarian, dan bingung akan ’Chi Su’ (Vegetarianisme) dengan ’Chi Zai’
(tidak makan setelah petang hari sampai keesokan subuh). Dalam Sutta kumpulan
tertua, ’Chi Su’ disebutkan sebagai praktek petapa sekte luar yang tidak
bermanfaat. ’Chi Su’ dijalankan oleh Han Chuan (Buddhisme Tionghoa), bukan Bei
Chuan (Buddhisme Mahayana), karena Buddhisme di Tibet dan di Jepang bukan vegetarian.
Kaisar Liang Wu Di memerintahkan bhikshu dan bhikshuni Buddhis untuk berpola
makan vegetarian.
Kata
’Zhai’ berarti tidak makan pada jam-jam tertentu, yakni berpuasa. Itu sebabnya
bulan puasa umat Muslim disebut ’Kai Zhai’. Sang Buddha mengajari muridnya
untuk ’Chi Zai’, yakni tidak makan (dengan pengecualian obat-obatan) setelah
petang sampai keesokan subuh (jam 1 siang sampai
7
pagi di Malaysia). Di Han Chuan, makna dari ’Chi Zhai’ ini menjadi sinonim
dengan ’Chi Su’.
KESIMPULAN
Sang
Buddha tidak mendorong kita untuk makan daging atau menjadi vegetarian. Pilihan
ini sepenuhnya tergantung kepada kita. Pokok pentingnya adalah memperhatikan
dengan baik petunjuk dari Sang Buddha dalam MN 55 atas tiga kondisi untuk
daging yang tidak diijinkan dan yang diijinkan.
Seorang
Bhikkhu tidak diijinkan untuk memasak dan harus sepenuhnya tergantung pada persembahan
dari para penyokong (umat awam). Bhikkhu juga diharuskan agar mudah disokong
dan dirawat. Karena bhikkhu tidak diijinkan untuk meminta makanan tertentu
(kecuali selama ia sakit), maka bhikkhu tidak dapat memilih makanannya. Dia
harus menerima apapun yang dipersembahkan.
Umat
awam mempunyai lebih banyak kebebasan untuk memilih makanan mereka, dan untuk umat
awam adalah sepenuhnya tergantung pada pilihan pribadi masing-masing untuk
makan daging atau menjadi vegetarian. Untuk alasan-alasan yang sudah dijelaskan
sebelumnya, adalah penting untuk tidak terlalu kritis terhadap orang lain
terkait dengan apapun yang menjadi pilihan kita.
Cara
yang paling efektif untuk mengurangi pembunuhan dan kekejaman di dunia adalah pemahaman
akan ajaran Sang Buddha. Pada akhirnya, penderitaan (dukkha) adalah
karateristik dari kehidupan, dan cara untuk mengakhiri penderitaan adalah
dengan melatih Jalan Mulia Berunsur Delapan ajaran Sang Buddha untuk keluar
dari lingkaran kelahiran kembali.
SELESAI
(sedikit
tambahan dari saya untuk subjudul Binatang Tetaplah Dibunuh Walaupun Semua
Manusia Menjadi Vegetarian: Nyamuk dan
lalat saja, yang tidak dikonsumsi masih juga dibunuh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar